Minggu, 07 Desember 2008

Pendidikan (tak) Berkarakter

Ryan Sugiarto

“Mencari orang pinter itu banyak. Tetapi menemukan yang berkarakter sungguh susah. Karena itu jadilah orang yang berkarakter”. Begitulah Bung Hatta berseru tentang apa yang dibutuhkan negeri ini menuju masa depan. Orang yang berkarakter.
Bisakah pendidikan tinggi saat ini membentuk orang-orang berkarakter? Yang ketika keluar dari jenjang akademiknya dengan optimis menatap masa depannya? Yang mampu mewarnai kebangsaannya.Yang punya harga diri, kebanggaan diri. Manusia yang mempunyai keberanian mengambil tindakan, dan memiliki visi jauh kedepan.

Saya teringat pada sebuah peristiwa ketika pembekalan upacara wisuda di fakultas. Seorang wakil dekan memberi pengarahan dan menantang kami begini; “Siapa yang berkata, bahwa selama berada dikampus ia tidak mendapatkan apapun? Majulah kemari, ambil uang limapuluh ribu ini!”

Lontaran ini adalah upayanya mencegah, mendengar kembali ungkapan seorang wisudawan periode sebelumnya: “Saya merasa tidak mendapatkan apapun dari kampus.” Saya tak bisa memahami apakah ucapan wakil dekan ini sepenuhnya tantangan, atau ia berujud kesedihan, melihat wajah-wajah mahasiswanya yang hampir meninggalkan gelanggang kampus dengan pandangan kosong? Suaranya menyirat ambiguitas makna. Kesedihan yang berbalut kemarahan. Dan, aku menyimpulkan ini bukan suatu keprihatinan. Melainkan suatu kemarahan, tak ingin ia dengar kembali pernyataan serupa dari periode wisuda sebelumnya.

Seorang kawan, dipilih untuk memberikan ucapan terakhir, pidato perpisahan mahasiswa, dihadapan para orangtua wali dan sivitas akademika, mengatakan bahwa dirinya merasa tidak mendapatkan apapun di kampus ini. Ia adalah salah satu aktivis mahasiswa di kampus yang merasa bahwa kampus tidak memberikan pendidikan yang lebih dalam kepadanya. Kampus tidak mengajarkan kepribadian yang dibutuhkan untuk menangkap masa depan. Menurutnya, kampus lebih berkutat pada cara agar mahasiswa dapat menyelesaikan jumlah minimal sks nya dan selesai pada waktu yang ditentukan. Menurutnya lagi, kampus, melupakan fungsi bahwa pendidikan harus membentuk watak berkarakter.

Saya pikir sebuah tindakan berani, mungkin juga jujur, dari teman tadi. Jujur disaat, perkuliahan yang dialami sepanjang empat tahunan, hanya mendapatkan teori, tak membentuk berkarakter. Berani karena mahasiswa pilihan ini, tidak serta merta tertunduk pada birokrasi dan tata krama yang meniadakan rasa kebenaran. Ia berani untuk tidak munduk-munduk, berucap terimakasih yang berlebihan dan berbusa-busa kepada kampusnya, kepada birokrasi kampusnya, juga dosen-dosennya. Ia mungkin tidak menyiapkan teks pidato tertulis, yang biasa dibaca para mahasiswa “pilihan” lain ketika menyampaikan pidato perpisahan, yang berisi rentetan ucapan terimakasih dan permohonan maaf dari A-Z. “Kebanyakan orang dinegara ini memang memilih ketenangan dari pada kebenaran,” begitu tulis Ayu Utami dalam Bilangan Fu.

Saya menangkap ungkapan teman ini adalah kesungguhan. Kesungguhan, ketika memandang bahwa masa kuliahnya selesai. Kini ia memandang ruang kosong didepannya. Kebingungan dengan apa yang akan dilakukanya. Tak ada alat pun yang ia peroleh dari kampus. Tak ada senjata pun yang dibekali kampus, selain teori-teori yang tumpul untuk membentuk realitas. Tidakkah hampir semua calon sarjana dan sarjana baru mengalami kondisi psikologis yang demikian?

Namun, paling tidak kawan yang satu ini tersadar atas apa yang telah ia alami dalam kampus. Yang, memang, tak membentuk diri berkarakter. Karena menurutnya, mustahil. Pembentukan karakter tidak disediakan diruang kelas. Justru diluar ia tersedia untuk direngkuh.

Ia, saya pikir, menyuarakan kebisuan dan kekosongan kawan-kawan didepannya. Mereka yang memakai toga kehormatan akademis. Dengan wajah sumringah karena baru saja memperoleh gelar kesarjanaan. Namun jauh didalam, menatap dunia dengan tatapan kosong. Tak berani berbuat.

Saya jadi teringat kembali pada sebuah film yang dibintangi Dustin Hoffman. The Graduate. Dipertontonkan disana, ben Braddon (Hoffman) pulang setelah lulus dari perguruan tinggi. Tatapi ia merasa segalanya kosong. Seperti gelembung, ruang-ruang rumahnya yang besar, rasa bangga dan ambisi bapak- ibunya, juga omongan para tamu. Si anak pulang, tapi ia hanya melayang-layang. “Hello darkness...” begitu sambutan bagi kelulusannya. Film ini bisa jadi mewakili semua lulusan perguruan tinggi kita.
Saya menyepakati, pendidikan kita secara umum tidak membentuk karakter seperti keinginan bung Hatta.Paling tidak belum sampai menghasilkan lulusan berkarakter hebat. Dari jamaknya para calon wisudawan yang pernah ada, barangkali juga saya, waktu transisi menjelang wisuda adalah waktu yang paling menggelisahkan. Oleh karena di depan, tak ada yang bisa dilakukan dengan pasti.

Kemudian terbukti ketika sekian banyak lulusan kita tidak siap berkompetisi dengan dunia pasca universiter. Data statistik negera ini menunjukkan, bahwa pemasok pengangguran terbesar adalah perguruan tinggi. Setiap tahun perguruan tinggi menambah angkatan statistik pada jumlah pengangguran dari tahun ketahun.
Saya tidak mengganggap bahwa karakter yang dibentuk selalu terkait dengan kecepatan seseorang memperoleh kerja. Lebih dari itu, insan yang berkarakter, kembali pada Bung Hatta mereka yang siap dengan percaya diri mampu membangun masa depan diri dan bangsannya.

Negeri ini akan terus membutuhkan orang-orang yang berkarakter untuk membangun. Mereka yang memiliki keberanian untuk menyuarakan. Keberanian yang ditopang data dan pemahaman realitas sosialnnya.

Anehnya, sering hal-hal seperti ini tidak ditemui diruang perkuliahan atau obrolan-obrolan seputar kuliah. Justru sebaliknya, bisa ditimba dalam kelompok-kelompok diskusi, organisasi-organisasi mahasiswa ekstra maupun intra kampus. Telah jauh-jauh hari disampaikan oleh Prof. T. Jacob, mantan Rektor UGM, mengikuti kegiatan-kegiatan diluar perkuliahan kampus, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah menyiapkan kehidupan pascauniversiter, begitu beliau tulis dalam sebuah majalah mahasiswa kampus ini.

Dan akhirnya memang wajar jika kegelisahan seperti ini menyeruak. Kegelisahan bahwa perguruan tinggi, tidak lagi menawarkan karakter kebangsaan. Melainkan profesionalisme individualis. Bahasa paling sederhana, tak ada semangat aktivisme yang muncul dalam diri mahasiswa. Kegelisahan ini pula yang muncul dalam acara Silaturahmi Antar Generasi Mantan Aktivis Mahasiswa dan Pers Mahasiswa se-UGM dari angkatan 70-an sampai 2000-an, di Gedung Granada, Universitas Paramadina, Jakarta (22/9). Dengan lontaran agak menyindir, bang Anies R.Baswedan berkata, sekarang kita bisa berkumpul di ruang yang bersahaja ini, sambil berbincang hal-hal seperti ini. Bayangkan, tahun 2028 apakah mantan-mantan aktivis, setelah kita, tidak di Hyatt? Masih menurut bang Anies Baswedan, yang Rektor Universitas Paramadina, penyebabnya adalah rekruitmen universitas telah berubah. Hampir seluruhnya berasal dari kalangan menengah keatas, yang dituntut lulus cepat karena desakan biaya tinggi.

Lalu, mungkin, tak ada lagi teriakan-teriakan keras, seperti dalam pidato perpisahan fakultas, teman saya tadi.

Maka, ketika kawan tadi berucap: aku merasa tak mendapatkan apapun dari kampus, justru ia telah mendapatkannya. Mendapatkan keberanian, dan kejujuran yang terungkapkan. Tidak semua sarjana pada waktu itu berani berkata dan melakukannya. Ia mendapatkannya, walaupun ia usahakan sendiri diluar urusan perkuliahan.[]


[220808]


Majalah Kagama, November 2008