Sabtu, 28 Juni 2008

Kalidasa

Ryan Sugiarto

Kalidasa adalah penyair Sansekerta yang termasyur pada abad ketiga Masehi. Sebagai anak kecil, ia tinggal bersama ibunya dalam sebuah gubuk tepat di hadapan istana raja. Di balik tembok istana banyak terdapat pohon mangga yang tumbuh lebat. Pada musimnya, buah-buah mangga yang harum berlimpah ruah. Jika tak ada orang di sekitar , Kalidasa akan memanjat ke atas tembok dan menikmati mangga-mangga itu.

Suatu hari ketika sedang mencuri mangga, Kalidasa tidak menyadari kahadiran raja yang melihatnya dari jendela istana. Pagi itu ketika sedang mengupas mangga, sang raja secara tidak sengaja melukai tangannya sendiri. Karena luka itu mengeluarkan darah yang amat banyak, raja segera mengumpulkan semua penasihatnya yang bijaksana beserta para tukang ramal, untuk mengungkapkan padanya apa makna luka itu.

Orang-orang bijaksana kerajaan itu berpikir sejenak, kemudian mereka bertanya apakah raja mengalami sesuatu yang tidak biasa pada hari itu. Sang Raja menjawab bahwa ia melihat seorang anak kecil mencuri buah mangga di taman istana."Celaka! Apa yang paduka lihat sungguh tidak baik. Anak itu akan membawa malapetaka bagi Paduka,"kata orang-orang bijaksana itu, "Lebih baik Paduka segera menyingkirkan anak itu."

Raja segera memerintahkan agar Kalidasa segera dibawa ke hadapannya. Dengan gemetar anak kecil itu bersujud di hadapan raja. Ia diberi tahu bahwa raja telah melihatnya mencuri mangga, dan ini akan membawa kesialan bagi Yang Mulia. Ia ditanya apakah memiliki pesan terakhir sebelum dieksekusi.

"Hamba menyesal telah membawa nasib buruk bagi Paduka,"Kata Kalidasa."Tapi tidaklah adil jika orang yang melihatku mencuri mangga pagi tadi tidak ikut dihukum. Karena ia pun membawa nasib buruk bagiku."

Jawaban ini mengejutkan sang raja, karena ia segera menyadari betapa bodoh tindakannya mengikuti anjuran tukang-tukang ramal yang menyebut diri mereka orang bijaksana. Terkesan dengan kearifan Kalidasa, raja mengambilnya sebagai anak. Di dalam istanalah Kalidasa belajar kesusateraan, dan akhirnya menjadi penyair yang termasyur di India.

Setiap hal memiliki keindahannya sendiri,Namun tak setiap orang melihatnya.[]

[280608]

Ambisi [us]

Ryan Sugiarto


Orang jawa konon katanya orang yang serba-malu-malu. Jika ditwari atau disodori sesuatu, termasuk jabatan, dia tak bisa dengan tegas lang sung menjawwab “ya saya mau” atau “ya saya siap”. Jarang katanya orang jwa yang siap blak-blak-an dalam hal seperti ini. Hanya menggangguk atau mesem-mesem saja. “Koya ditari rabi” begitu katanya.

Namun sesungguhnya ada hal lain yang bisa menyandingkan keduannya. Yaitu sikap ambisi. Hanya caranya berbeda-beda dalam mengungkapkan. Beda cara penyampaian dan penyikapan.

Ambisi penting dalam setiap tujuan hidup. Ia akan menjadi pendorong yang luar biasa untuk mendapatkan sesuatu.

Saya teringat kawan saya, seaktumasih sama-sama menjadi mahasiswa, ketika terjadi ontran-ontran, kelembagaan kami, soal pergantian luarbiasa. Kawan-ini menyatakan kesiapan paling awal untuk menduduki posisi yang sedang dipermasalahkan. “saya siap maju, jika kawan-kawan tidak ada yang memulai,” begitu dulu dia memulai pembicaraan hangat kami di sebuat bulevar kampus tepat tengah malam.

“Ya saya memang orang yang ambisius,” lanjutnya. Ayolah kawan-kawan, jangan diam saja, kayak orang jawa saja, beitu dia memberi istilah untuk ke-diam-an kami.

Begitulah sikap ambisi seharusnya dibangun. Kepercayaan diri menjadi satu bagian dari mengambil sikap ini. Agar apapun ada dalam rel yang semestinya. []

[290608]

Para “Pengrajin Buku”

Ryan Sugiarto


Seorang teman dengan lincah mencari penerbit-penerbit untuk dapat menetaskan naskah buku-bukunya. Ia bisa menulis sebuah buku hanya dalam waktu dua minggu. Berbagai jenis tulisan ia telurkan.

Juga seorang senior yang sudah malang-melintang dalam dunia penulisan dan penerbitan, bahkan mencetak buku-buknuya sendiri dengan jumlah yang relative sedikit. Belia bisa menulis buku dalam waktu satu minggu. Dan belia sudah menelurkan buku sebanyak ratusan yang beredar di toko-toko buku tentunya. Konon beliau ini ingin mencapai target 1000 buku karyanya sendiri.

Begitu mudah mereka menuliskan buku-buku mereka dan kemudian menjajakannya kepada pelahab buku. Beberapa diantaranya menjadi best seller, hanya dari proses penulisan dua mingguan ini. Tak semua orang bisa, jika tidak mau.

Senior ini bahkan dengan blka-blakan bisa, menyebut, “satu buku sahari bisa kok le” katanya. Entah pikiran apa yang ada didalamnya. Ide gila macam apa lagi yang ada dalam otaknya. Sebuah buku dalam sehari?

Mendalamkah ide itu? Segesit itukah tangan-tanga itu? Selebar itukah sumber bahsa itu tertuliskan?

Dan demikian lalu diamini oleh penerbit-penerbit yang dikejar target. “Satu bulan haruss minimal 5 naskah masuk. Dan di approve,” demikian sebuah pemimpin redaksi penerbit berujar.

Begitulah menjadi “mudah menjadi penulis” semua “pikiran “dengan mudah ditulis dengan bahsa-bahsa. Meski kadang resiko sebutan “pengrajin buku” lekat didalanya. Sebutan yang konon katanya menabrak sana-sini aturan-aturan perbukuan dan tata cara penyampaian gagsan dalam sebuah buku. “Comot sana-sini, gergaji sana-sini,” tulis seorang manajer penerbitan. Namun tetap saja jika Penulis-penulis pesanan penerbit, tak jarang melakukan hal-hal seperti ini. Karena desakan penerbit penerbit. Patoka dua minggu atau satu bulan menjadi standar penerbit untuk menarik naskah-naskah dari calon penulisnya. Sungguh ironis juga.

Pun juga menulis tak harus bertahun-tahun atau berbulan-bulan. Hanya kemauan. Dan pencitraan sebagai penulis. Tetapi menulis apapun tetaplah perlu dan harus diacungi. Tidak semua orang bisa menghasilkan buku, jika ia tidak mau. []

[230608]

Fase-Fase

Ryan Sugiarto


Dalam percakapan di pendapa belakang B21, dulu kami membicarakan tentang fase-fase idealisasi dan atau ideology manusia atau lebih tepatnya aktifis mahasiswa. Teman itu berkata begini:

“Wajar jika kita yang masih muda ini dan apa lagimenjadi mahasiswa mempunyai pandangan yang idealis. Serba tidak terima dengan pelbagai kepentingan yang menyudutkan kepentingan orang kecil. Kita juga tak jarang menolak yang namanya kapitalisme. Ini adalah fase kita”

Namun, kebanyakan yang mereka yang sudah menempuh fase ini akan berbeda dengan fase-fase selanjutnya.

Kawan itu lalu melanjutkan ucapannya:

“Setelah lepas dari dunia kemahasiwaan. Fase berikutnya adalah fase tentang bagaimana seseorang mulai memfokuskan pada cara dia memperoleh kehidupannya sendiri. Cara membiayai dirinya sendiri. Mencari pekerjaan untuk kehidupannya. Pada fase ini, sedikit demi sedikit idealisme yang dulu dimiliki pada fase mahasiwa makin redup.”

Orang tak lagi berpikir bagai mana para MNC dan perusahaan-perusahaan multinasional itu merongrong Negara. Bahkan berpikir bagaimana cara masuk kesana.

Pada fase ini juga orang tidak lagi berpikir idealisme yang muluk-muluk. Tentang duia atau Negara. Atau merubah lingkungannya.

Fase selanjutnya adalah fase berkeluarga. Yang berada pada fase ini tak lag ibis memiliki waktu untuk berpikir total tentang keadilan, kebenaran, dan kemeraaat dan lain-lain. Tetapi berpikir tentang keluarga. Bagaimana mencari gaji yang lebih baik, menghidupi keluarga. Berpikir tentang posisi aman dalam kehidupan finansialnya. Banyakcara yang kemudian dilakukan. Bahkan terkadang membabi-buta.

Kira-kira demikian dulu teman ini berpikir tentang fase-fase yang pernah dialami oleh para aktifis-aktifis gerakan, aktifis kampus, setelah menjalani fase-fase kehidpuan mereka.

sedari tiu, mematri idealisme dan mimpi-mimi mejadi begitu penting. Agar tidak ter”jerumus” pada kepentingan yang menyengsarakan kehidupan yang lebih luas.[]


[240608]

Sabtu, 21 Juni 2008

Santun (ber)religi

Ryan Sugiarto

Kita, atau tepatny saya sendiri, kadang bertanya: haruskah kita menampilkan identitas religius keagamaan kita? Secara frontal.

Religiusitas adalah relasi tripartit. Relasi antara diri, diluar diri, dan juga diluar keduanya, yang diluar keduanya, Tuhan. Begitulah hal yang alami dari relasi ketiganya. Sangat alami dan bersumber dari hal-hal yang alami. Tak perlu lah dibuat-buat dan direkayasa, sehingga menampakkan identitass yang semu. Yang menipu.

Diri dan diluar diri saling berhubungan bersifa ketrgantungan. Membutuhkan pengakuan atas eksistensi masing-masing. Maka berbagai hal dimanipulasi untuk itu. Mski pada dasarnya kduanya adalah alami.

Hubungan dengan Tuhan pun harusnya alami. Tuhan maha tahu, dan tak perlu dibuat-buata agar ia tahu. Tuhan juga tidak butuh dukungan dengan menampilkan identitas religinya. Hubungan diri, diluar diri dengan Tuhan adalah sangat personal. Tak ada manipulasi.

“Tuhan tak perlu di bela” demikian sebuah judul buku menulisnya. Maka seorang tak usahlah menganiaya, melakukan kekerasan atas mana Tuhan.

Kesalehan umat tidak (hanya) diukur dengan apakah dia sering pake baju gamis atau tidak. Tidak (hanya) diukur dengan jambang lebat atau tidak. Kpercayaan yang imanen ada dalam hati manusia. Dan hanya Tuhan yang akan mengukur seberapa besar tingkat kesalehan religi kepada tuhannya.

Beragama secara bijak butuh bacaan yang bijak pula. Butuh renungan yang panjang tentang relasi manusia dan Tuhannya. Beragama secara santun, dan tidak perlu cari-cari perhatian.[]

[180608]

Sebuah Blog

Ryan Sugiarto

Diary yang dulu adalah privasi paling nomor satu, yang tidak boleh disentuh oleh manusia manapun selain diri sendiri, kini beralih bentuk. Menjadi Blog. Sseperti laiknya diary, ia bisa diisi oleh apapun dalam diri manusiannya. Apapun. Mulai dari hal-hal yang syahdu mendayu, sampai darty talks pornografi.

Peralihan ini adalah hal yang sangat wajar terjadi. Pun juga perubahan dalam sifat privasi ini. Menjadi Blog berarti, catatan yang siap launch untuk yang lain. Tidak menjadi sangat privat lagi.

Bahkan menjadi blok adalah cara tercepat untuk “terkenal”. Begtu memang yang sering dilakukan para blogger. Mengguakan diary blog ini untuk menlauch- perasaan, pikiran, atau bahkan cerita-cerita paling privat dalam dirinya. Banyak pertanyaan dari blogger tentang “Bagaimana agar cepat terkenal dengan blognya?” Ndorokakung, bloger wartawan tempo, menjawabnya dengan santai “isilah dengan hal-hal porno,” begitu katanya.

Belakangan yang terjadi, ada Blook, sebuah isi blog yang kemudian dituangkan menjadi buku. Dan konon ini menjadi best seller. Penerbit mulai berbondong-bondong, mencari bibit, laiknya pemandu bakat mencari calon-calon bintang sepak bola masadepan.

Beginilah revolusi curhat dan segala macamnya melanda umat manusia. Curhat yang kemudian bisa dan makin bisa di crack orang lain. Dan begitulah blog ini berusaha mengambil alih daya cipta Guttenberg, atau bahkan penemuan paling tua soal kertas tulis.

Tapi tak selamanya ngeblok mencari popularitas. “No comment, no cry!” begitu seorang teman saya dibaris-baris akhir ketika memberikan alamat bloknya.

No Coment, No cry. Orang tak harus meninggalakan jejak-jekan katanya ketika berkunjung di alamat blog seseorang. Sekedar membaca dan melintaspun boleh saja. Karena untuk satu hal tertentu blog menjadi katarsis yang sesungguhnya. Bagi yang tak lagi berhubungan, atau menjaga jarak, dengan pena dan kertas.

Saling menyapa dan bertukar kata mungkin juga menjadi bagian dari blog ini. Jika jarak geografis membentang didepan. Cara bertutut dan berkomentar, mencari jalan mengetahui perkemnagan siapa dan bagaimana kita dan juga orang lain. []

[170608]

Seri Menang Keri

Ryan Sugiarto

Perhelatan Uero selalu menghadirkan hal-hal yang mmberi kita banyak pelajaran. Tersingkirnya finalis piala dunia 2006, Perancis, dan tertatihnya juara piala dunia 2006 Italia adalah sebuah pelajaran bahwa tak selalu yang menang akan menang, dan yang tertinggal akan tertinggal. Belanda diawal-awal uero 2008 menunjukkan performa yang kuar biasa dengan mengemas nilai penuh. Pun Kroasia.

Justru tim-tim besar pada akhir penyisihan berada di posisi kedua, Jerman, Italia. Tak ada yang tidak mungkin dalam sebuah pertandingan. Selalu ada kekecewaan. Selalu ada kejutan-kejutan. Demikianlah dengan kehidupan. Ada riak-riak kekecewaan dan letupan-letupan kebahagiaan atas kejutan-kejutan luar biasa.

Tertatih diawal tak selamanya tertatih dalam perjalanan kedepan. Ketika kecil kami menyebutnya dengan “seri menang keri”. Juara akan berbahagia (menang) ditahab-tahab perhelatan selanjutnya, kira-kira begitu terjemanan bebasnya.

Tetapi seperti halnya kehidupan. Selalu ada antitesa, selalu ada beda kata. Yang tertatih dan kalah diawal pertandingan dianggap sebagai “bukan juara sejati” jika pada akhirnya ia mengungguli. Begitulah selalu ada dua kutub yang berbelakangan.

Tetapi ia tetaplah juara. Juara bagi dirinya sendiri. Menang dari mengalahkan mental yang rapuh dalam dirinya. Berhasil mengatasi tekanan-tekanan hebat yang menderanya. Mengatasi beban atas harapan dan keinginan orang lain. Mengatasi dan menang atas setiap harapan-harapan, menuju pencapaian yang tinggi.

Dengan begitu awal yang buruk pada langkah selanjutnya bagi “seri” adalah langkah kedepan yang membahagiakan.[]

[190608]

Metafora

Ryan Sugiarto

Metafora adalah hidup kita. Ia akan memberi arti kehidupan yang berbeda-beda dalam hidup kita. Metafora selalu menunjukkan kondisi kita yang sebenarnya.

Seseorang kadang mempunyai ungkapan dalam dirinya “air mata abadi”, maka tak ajrang dalam memandang hidpu, dirinya selalu diliputi dnegan kesedihan. Karena air mata kerap identik dengan kesedihan. Dan ini berbeda jika ia menggunakan “mata air abadi” ia akan mengandung maksud sumber hidup yang abadi. Air adalah sumber kehidpuna.

Metafora-metafora akan mengiringi bagaimana cara kita berpandangan terhadap diri kita sendiri.

Bedakan antara ketiga ini :

Hidup itu adalah anugrah

Hidup ini adlah cobaan

Hidup ini sia-sia

Tiga ungkapan tentang hidup yang berbeda dan mengandung makna hidup yang berbeda pula bagi pemiliknya. Yang pertama cenderung memandang hidup sebagai sesuatu hal yang besar. Pantas disukuri, dan dengan demikian tak terjebak pada persoalan kekelaman hidup. Karena hidpu baginya adalah kenikmatan dan anugrah yang luar biasa yang patut di sukuri dan dinikmati. Yang ekstrim jka memandang hidpu adalah sia-sai. Ia tak punya harapan tentang kehidupan yang dijalaninya. Tamat.

Demikian sebuah ungkapan, metafora, menunjukkan bagaimana pemiliknya menyikapi kehidpuanya. Maka berhati-hatilah dalam memilih ungkapan metafora dalam diri Anda. Ungkapan adalah harapan yang ada dalam diri Anda.[]

[200608]

Kekayaan Pejabat: Parodi

Ryan Sugiarto

Yang khas dari pejabat. Setiap naik jabatan tentu naik kekayaannya. Menjadi kaya bukan dosa. Tapi menjadi kaya tidak bersama-sama itu masalahnya. Yang kaya hanya pejabatnya saja. Rakyatnya tak ada harta, alias miskin.

Yang tak punya jabatan tak akan beranjak kaya. Begitulah sketsa negeri ini. Kekayaan hanya dimiliki oleh pejabat-pejabat negri. Tak ada rakyat yang bisa menikmati.

“Ini harta bergerak. Setiap saya naik jabatan ia mengikuti saya. Ya…namanya juga harta bergerak,” kira-kira begitu kilah para pejabat-pejabat.

Bagi pejabat, ia akan berkomentar soal rakyat miskin. Begi bejabat mereka hanya salah musim saja.”Itukan salah musim saja. “Disaat musimnya pejabat bertambah kaya...kok...lha rakyat milih miskin. Ya salah milih musim saja tho,” begitu kilah-kilah selanjutnya.

Begitulah kilah pejabat-pejabat yang menumpuk kekayaan. Harta bergerak dalan musim kaya miskin.

Kekayaan memang hukan dosa. Tapi jika yang konsisiten naik kekayaan cuma pejabatnya. Itulah masalahnya. (Smartfm) []

[200608]

Bermimpilah karena Tuhan Memeluk Mimpi-Mimpi

Ryan Sugiarto

Begitu ide ketiga dari Hirata, tentang mimpi. mimpi menjadi perekat dengan Tuhan. Mimpin menjadi salah satu bagian dimana sang makhluk mendekatkan diri dengan penciptanya. Dan juga mimpi yang menjadi saranaNya untuk menggerakkan apa yang diinginkan tuhan tentang makluknya.

Mimpi juga menjadi sarana yang ampuh untuk membangun peradaban-peradapan yang lebih baik bagi manusia. Tengoklah Italia, yang terbangun karena mimpi. Tak sekadar besi dan darah, sebuah negara berdiri. Juga Soekarno, yang memimpikan negara yang besar dan berwibawa lahir dari Indonesia.

Begitulah mimpi selalu mengispirasi. Mengispirasi Famke Soomer, salah satu tokoh penting dalam perjalanan menjelajah Eropa bagi Hirata, untuk membuat pertunjukkan jalanan yang memukan banyak orang di dalamnya. “Karena mimpi-mimpi kalian telah mengispirasi kami” begitulah Soomer berujar.

Dan di waktu yang lebih panjang mimpi akan mempertemukan dengan dunia nyatanya. Dunia yang merupakan hasil dari mimpi-mimpi. []

[170608]

Sabtu, 14 Juni 2008

Sepotong La Bossa Fataka De Rameau

Ryan Sugiarto


Setidaknya 16 anggota, 8 diantaranya merupakan penari yang berkeliling membawakan sebuah tarian: La Bossa Fataka De Rameau, yang terinspirasi dari ON DANfE, namun dikemas dengan imajinasi dalam extravaganza dan kegilaan melalui alunan musik yang unik.

Dan mengantarkan pada jantung filsafat dan serta karya musikal Jean-Phillippe Rameau. Dalam karyanya ini Jose Montalvo dan Dominique Hervieu menawarkan sisi yang lebih terang dari sang kompositor. Pertunjukan ini memadukan segala jenis tari kontemporer dan tradisional (hiphop, tarian Afrika, Capoera, Tango dengan musik barok karya Rameau.

Semuanya bercampur aduk. Namun secara visual dan suara, sangat mengejutkan. Jika anda tak ingin ketinggalan (lagi), saksikan La Bossa Fataka De Rameau di TIM(19/6) seperempat malam di graha bhakti budaya *[]


[140608]

Pintu Bagi TIRANI KEIMANAN Mulai Terbuka

Ryan Sugiarto

Tangerang—Senin (9/8) kemarin pemerintah resmi mengeluarkan SKB tentang Ahmadiah. Ahmadiah dilarang menjalankan kegiatan-kegiatannya. Dengan ancaman jika itu dilanggar maka pemerintah akan membekukan kelompok ini. Dan begitulah cara terbukanya pintu tirani negara ini. Kemelut yan berlangsung lama ini akhirnya diputuskan keluarnya SKB. Jusuf kala berkomentar “SKB sudah sesuai dengan undang-undang”.

Dan saya yakin kelompok garis keras, yang terkenal “preman berjubah” tersenyum-senyum bangga. Munarman yang menyerahkan diri sebagai “ketaatan janjinya” juga tersenyum. “saya akan menyerahkan diri jika pemeerintah sudah mengeluarkan SKB” begitu komentarnya. Siapa dia yang berani tawar menawar dengan kayakinan keagamaan?

Lalu negeri ini kehilangan keseimbangan pandangan hidup bersama. Kita patut kecewa, karena tirani kekuasaan mulai dimunculkan perlahan-lahan. Mayoritas yang berkuasa, dengan mudah akan menutup seluruh ruang gerak keimanan manusia, yang dinilai tidak sesuai dengan agama besar. Agama resmi. Negar tertalu ikut campur dalam masalah kemimanan manusia.
Aliansi Keangsaan kerukunan beragama dan berkeyakinan (AKKBB), masih harus melakukan perlawanan. Dan menjawab arogansi segelintir cendekiawan muslim yang terwadahi dalam Majelis Fatwa. “Masyarakat yang tidak sependapat dengan dikeluarkan SKB silahkan mengajukan gugatan,” begitu komentar dari mereka. Merekalah, majelis fatwa ini, yang bertanggungjawab dengan kondisi kebangsaan dan keberagamaan kita yang karut marut. Berani mengklaim kesesatan keyakinan seseorang atau kelompok.

Dan negara benar-benar dalam pengaruh kelompok yang tiran ini.
Sebuah kelompok diskusi pemikiran di Yogyakarta, Sabtu Sore, dengan nada prihatin dan penyesalan yang dalam kecewa dengan SKB ini.

SKB bagi Ahmadiyah telah dikeluarkan. Akhirnya kita membuka pintu bagi TIRANI KEIMANAN!!Kita punya kesempatan untuk memutus dosa sejarah umat islam yang sudah membebani selama beratus-ratus tahun:Kolusi penguasa dengan kelompok paham keagamaan.

Tapi ternyata kita tidak melakukannya. Apakah gaung SKB juga akan menimpa kelompok-kelompok minoritas lain lokal yang jumlahnya ratusan di negeri ini?
Yang pasti tirani tidak akan berhenti sampai memangsa sebelum dirinya sendiri yang menjadi korban.
Tolak kezaliman atas nama apapun terhadap kelompok lain!!

(Forum Sabtu Sore)

Pun demikian dengan AKKBB, tentu saja tak akan diam. Dan sepatutnya kita mendukung gerakan yang menghargai kebebasan beragama dan bekeyakinan. Memperjuangkan beribu kelompok penganut kepercayaan dan keyakinan.
Bukankah kesadaran beragama lahir dari kesadaran yang sangat pribadi? Dan seyogyakan demikian. Bukankah agama adalah suatu urusan yang sangat personal bagi makhluk Tuhan?!

[]
[100608]

Pelampiasan dan Rasa Bersalah

Ryan Sugiarto


Dalam khotbah-khotbah yang disampaikan pada ustad, kiai, dai, atau sekadar mereka yang “dipaksa” mengisi ceramah tarawih dan juga bakhda subuh, sering diperingatkan:

“Janganlah menjadikan Buka Puasamu sebagai pelampiasan atas puasamu yang sehari. Ingat puasa tidak hanya menunda makan malammu.” Begitu seruan itu sering terdengar di bulan-bulan ramadan.

Dulu rasanya itu hanya seruan biasa. Dan saya kena batunya sekarang. Justru disaat-saat Tuhan hanya menyunahkan tidak makan dan minum itu. Kamis lalu, penyesalan itu terjadi. Tabung perutku kuisi dengan pelampisan. Pada sebuah warung makan dibilangan Karawaci, terlalu banyak, dalam ukuranku, makanan yang aku simpan dalam perut ini.

Dan sesudah itu rasa bersalah itu menjalar dalam benak saya. Ini yang seharusnya tidak dilakukan. Tidak dilakukan. Muhammad, sang penyampai agama, bersabda: “berhentilah makan sebelum kenyang,” Artinya jangann banyak-banyak makan.

Dan hari itu. Rasa bersalah itu menghantui. Setelah hari-hari berikutnya, tak akan diulangi.[]

[070608]

Menghidupi Mimpi

Ryan Sugiarto

Aku masih ingin menjelajahi dunia. Menjelajahi segala kemungkinan dimana aku bisa menggapainya. Menyiapkan level yang lebih untuk alamat pendidikan, menyiapkan strata yang lebih baik untu frekuensi ekonomi, dan juga social.

Aku akan menggapai dunia yang lebih baik. Dan aju juga akan berteriak “Dunia, sambutlah aku”. Tepat disini impianku segaris denga peramal olokan, temanku dulu. Waktu sedang ekstasenya dia membaca setiap gurat nasib teman-temannya, dia mendekati aku. Memberikan tangannya dan menyalamiku. Sembari dia berkata

“Aku melihatmu, dalam masa depanmu. Kamu keluar dari sebuah mobil mewah untuk memasuki sebuah ruangan yang berisi ratusan orang didalamnya. Mereka menanti kehadiranmu. Dan kamu dengan siap masuk, duduk didepan, berhadapan dengan mereka semua,” begitu seorang teman ini mendiskripsikan gambarannya tentang diriku dimasa mendatang.

Aku tersenyum. Dan sesungguhnya ini tepat sama seperti mimpi-mimpiku. Aku ingin berbicara dalam forum internasional, dihadapan dunia. Aku masih menghidupi mimpi-mimpi itu. Akan terus aku hidupi hingga waktu tak ada lagi padaku.

Sekarang, setiap kerikil kukumpulkan untuk mencapai gunung mimpi itu. Dan aku sudah memiliki separuhnya, bahkan lebih. Ia adalah sebuah mimpi. []

[090608]

Karawaci

Ryan Sugiarto


Begitulah nama untuk kota ini tampak megah dan mentereng. Dan mungkin juga keren. Tak banyak terlihat kekumuhan-kekumuhan yang menumpuk dilingkunganya. Daerah industri dan juga pemukinan yang tertata rapi.

Jalan-jalan bulevar tampak lebar dan dan menyenangkan untuk dilihat. Dan ada keramaian yang berarti. Hanya tampak bergerombol disana-sini. Mungkin baru itu yang sempat aku intip dari karawaci.

Tapi yang yang jelas, dalam ruang-ruang perumahan yang tertata rapi ini, masyarakat tampak agamis. Rumah ibadah, gereja, mendekat pada rumah masing-masing. Tak seperti rumah ibadah pada umumnya. Tempat sembahyang ini seperti rumah pada umumnya, atau bahkan seperti ruko (rumah toko). Dan mungkin orang tak akan mengira bahwa itu adalah tempat ibadah. Kecil dimuka, tapi luas didalamnya. Rumah ibadah justru mendekat disela-sela aktifitas manusia. Mendekat dilingkungan manusia.

Tampak seperti itulah, perumahan dilingkungan karawaci menyemangati religinya. Membangun rumah ibadah seperti tempat pada keseharian pada umumnya.

Tapi apalah arti kemegahan sebuah bangunan tempat ibadah. Tak perlu dengan kubah yang menjulang tinggi, tak perlu gedung tinnggi yang menunjukkan keagungan seperti katedral.

Kemegahan dalam rumah ibadah kdang justru menjadi wisata. Beberapa menyebutnya wisata religi.

Bukankah religi justru timbul dari keheningan dan juga kesederhanaan. Muhaamad menerima wahyu pertamanya di Gua Hiro, sang Budha dibawah pohon Gobi yang rindang.

Kira-kira itu yang ingin dibangun dari keinginan karawaci. Mungkin juga karena desakan dan juga rumitnya pembangunan tempat ibadah, selain masjid. Bisa jadi. Kemungkiinan Tirani semacam ini tak terjadi baru-baru saja bukan?[]

[110608]

Hari Saraswati

Ryan Sugiarto


“Selamat hari saraswati. Semoga ilmu menjadi cahaya bagi jalan hidup kita”. Hari ini (7/6) bagi umat Hindu diperingati sebagai hari saraswati. Hari dimana ilmu menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Dan begitu pemeluk agama hindu, terutama di Bali, sadar betul tentang sebuah ilmu.

Ketika ucapan itu saya haturkan pada Made, seorang teman saya yang asli darah Bali, ia membalasnya dengan jawaban yang baik pula, dan menjadi doa bagi saya.

“Makasih, semoga ilmu mu berguna untuk orang lain…” begitu jawabnya. Dan selayaknya begitu doa, bagi para pencari ilmu, bagi para pemilik, ilmu, dan juga pagi para penggali-penggali ilmu. Semoga ilmunya berguna untuk yang lain. []

[070608]

Seragam

Ryan Sugiarto


Front Pembela Islam (FPI), dan laskar islamnya, Anda pernah melihat mereka tak memakai seragam di layar TV anda? Saya sih belum pernah. Dan oleh sebab itu kemudian saya menjadi tidak tahu, saya rasa Anda juga demikian tidak tahu, seperti apa mereka tanpa seragam ini.

Seragam mereka adalah jubah putih, surban yang dipake dikepala atau kupluk biasa, juga surban yang dikalungkan dileher. Atau kadang-kadang kaos lengan panjang yang bertuliskan BESAR “FPI, FRONT PEMBELA ISLAM”. Begitulah yang mereka tampilkan dengan PeDe dilayar TV.

Dan begitulah kaitan psikologis, saya pikir, antara seragam dan kondisi Psikologis pemakainya. “Rasanya yang demikian belum pernah menjadi bahan skripisi atau tesis psikologi kan?” selidik teman saya.

Asumsi kami sementara adalah, seragam berkorelasi positif terhadap waham kebesaran seseorang. Siapapun mereka. Tapi dalam hal ini kita sedang bicara soal seragamm FPI dan juga waham kebesaran para pemakai seragam itu. “Mereka dengan PeDe lhoh, melakukan tindakan-tindakan yang mereka lakukan yang sempat di tangkap TV.” Mereka merasa sangat besar dan orang lain menjadi kecil. Merasa sangat besar dan mengecilkan orang lain. Merasa sangat besar dan juga merasa berkuasa. Itulah kewahaman mereka yang besar.

Dengan kewahaman yang besar dan meluap-luap seperti ini tentu para pemakainya tak ingin merasa kalah, atau mengalah. Dan mereka bisa melakukan apapun, ingat apapun yang mereka anggap benar, mempertahankan seragam mereka. Termasuk petentang-petenteng dengan Penthungan kesana-kemari.

Begitulah korelasi positif dari seragam dan waham kebesaran bagi para pemakainya. Juga korelasi positif lainnya, sebagai ekses lanjutan, adalah waham kebesaran dan korelasiya dengan sikap (dan juga sifat) semau gue, tak mau kalah, dan atau memaksakan kehendak. Korelasinya juga postif.

Bagi Anda yang sedang mencari ide skripsi dan atau tesis, barangkali ini menarik. Psikologi belum merambah kesana untuk itung-itungan ilmiah kualitatif maupun kuantitatif. Lumayankan?

Contoh lainnya begini, lah. Mahasiswa-mahasiswa baru, kalo sudah memakai jas almamaternya, mereka tampak sangat pede ketika masuk kampung. Semua rasanya begitu, tak terkecuali saja dulu. Meskipun lama-lama menjadi risih dan malu memakainya.

Pikiran mereka kira-kira demikian:

“ini lho aku dari universitas ***” “, “ini lho aku anak kuliahan”, atau “ini lho aku PNS”, yang paling terlihat dikeseharian masyarakat “ini lho aku POLISI”, “ini lho aku tentara (dengan baju loreng-lorengnya)”, kira-kira begitu mereka mengatakan kebanggaan dengan berlebih pada seragamnya. Anehnya masyarakat kita menaruh respek yang besar terhadap manusia manapun yang memakai seragam.

Begitulah kekuatan seragam. Menimbulkan kewahaman yang besar terhadap pemakainya, mereka berlebihan memaknai kebesaran seragam dan juga institusi yangdiseragamkan.

Bukankah pada dasarnya manusia lahir tanpa keseragaman. “individual deverences” begitu dalam istilah ilmu perilaku. Maka, seharusnya juga tak akan ada pemaksaan kehendak dan kepentingan. Apa lagi hanya soal seragam, atau “menyeragamkan kepentingan”. []

[140608]

Sejarah yang Sepi


Ryan Sugiarto


Jakarta---tak ada sejarah yang tak sepi. Sejarah tak pernah dihinggapi keramaian yang bergerombol. Museum Nasional menunjukkan hal itu.

Sabtu (14/6) tak terlihat ruakan rasa yang menginginkan menyambangi sejarah. Sementara di MN ini terhapar berbagai data dan pengalaman yang terkubur dalam benda-benda. Memasukinya Anda akan dihadapkan pada punggung kematian. Melalui dewa-dewa kematian. Dewa yang terukir dan menjelma dalam batu ini dengan jelas, menggambarkan, kekerasan juga menyejarah.

“Badannya yang tinggi besar degan baju kebesaran yang menandakan kematian, menginjak tubuh kecil yang menyatu kaku dan tubuhnya dalam lipatan. Dibwawahnya adalah kepala-kepala tanpa kulit”. Begitu yang tergambar dari simbul dewa kematian pada masa dewa-dewa, dari MN ini.

Tak cukup itu, tebaran relief-relief yang berjajar dan tak karuan didalamnya. Tentangdesa-dewa. Tak terkecuali, jika dihitung lagi ada berpasang-psang lingga dan yoni didalamnya.

Meski tampak begitu kaya dan ramai benda. Manun jauh dari keinginan untuk mengingat benda-benda ini. Hanya segelintir dari mereka yang berani mengingat dan pengalaman sejarah ini. Sejarah memang tak pernah luputdari sepi. Museum mana yang dengan semarak manusia berbondong-bondong merengkuhnya?

Tetapi memang nampak selalu demikian. “kebijaksanaan dan pengalaman-pengalaman yang kaya tampak selalu sepi”. Sulit sekali kesejaranan yang bernilai tinggi lahir dari kegemuruhan. Bahkan yang gemuruh selalu rusuh dan cethek.

Tapi tak bisaah sesekali mengobati kesepian? Dan menimba banyak pengalaman tang tertuang dalam benda-benda?Bisa! sejarah telah terhapar dengan kekayaan pengalamanya, dan tinggal kita menyambutnya. []

[140608]

Setiap Perjumpaan Melahirkan Kenangan

Ryan Sugiarto

Ada yang hilang dari setiap perjumpaan. Ada yang abadi dari setiap perpisahan. Setiap perpisahan menghamparkan berbagai kenangan. Lembar-lembar manis kenangan tak tertutup oleh perjumpaan-perjumpaan.

Setiap perpisahan melahirkan kenangan. Yang manis dari setiap perjumpaan. Perpisahan, bagaimanapun terasa sulit adalah awal dari hamparan-hamparan ingatan yang bisa jadi melegenda. Jangan pernah kita melupa apa yang menjadi kenangan. Karena kenangan selalu melukiskan pelangi warna-warni dalam perjalanan perjumpaan-perjumpaan kemudian.

Maka tak usahlah terlalu bersedih dalam setiap perjumpaan. Oleh sebab ia akan segera melahirkan ingatan kenangan dari segenap perpisahan. Semuanyab tidak untuk saling menutupi. []

[090608]

Pak Joko

Ryan Sugiarto


Saya memiliki tiga referenci tentang sebuah nama diatas. Dan masing-masing dari mereka memiliki karakteristik unik.

Pertama, Pak Joko. Yang satu ini adalah salah satu dosen eksentrik yang sempat mengajar dikelas kami, kelas pengantar filsafat. Dia lebih sering memakai jeas saat mengajar , dengan baju tali pada pundaknya. Baju yang sering dipake oleh Jojon di layar tipi. Tapi jangan salah, wataknya sanga disiplin. Ia adalah salah satu pakar etika bisnis yang ada di universitas ini.

“Begini saudara-saudara. Kita buat aturan sendiri saja dalam kelas kita. Pertama, kita masuk tepat waktu dengan toleransi sepuluh menit,” begitu dulu dia memulai perkenalan pertamanya dikelas pengantar filsafat.

“Jadi, kalo saudara-saudara merasa datang diatas batas waktu yang itu, sebaiknya saudara tidak usah masuk. Sebaliknya jika saya juga datang diatas jam itu, silahkan saudara-saudara pulang. Perkuliahan kita batalkan saja. Bagaimana? Setuju” ada tawaran laen,” begitu selanjutnya.

Dan sebagian besar dari kamu berteriak setuju. Begitu dia membuat sebuat aturan yang saling menyenangkan keduanya. Dan dia benar-benar menaatinya. Tapi beliau untuk hal-hal yang lain masih sangat toleran kepada mahasiswanya.

Pernah satu, seorang teman terpaksa harus masuk ruang kuliah dengan tanpa sepatu. Alias nyeker.

“Pak kami minta maaf, jika kami mengikuti perkuliahan ini tanpa sepatu,” begitu mahasiswa ini ijin kepada pak Joko.

“Kenapa saudara tdiak pake sepatu?” tanyanya.

“Sepatu saya hilang saat saya sedang solat di mushola bawah. Rupanya ada yang berminat dengan sepatu saya pak.” Kata mahasiswa itu member alasan.

Walah kok ya ada yang berminat dengan sepatu to mahasiswa itu. Dan ia memperbolehkan masuk.

Kedua adalah Pak Joko. Beliau yang satu ini adalah salah seorang yang saya kagumi. Seorang seniman Tulen yang punya idealisme mengajarkan seni lukis, kria kepada setiap siswanya. Beliau adalah satu dari sekian seniman yang tersohor di jwa timur. Ia mengajarkan cara melukis, tidak hanya pada kanfas dan juga kertas. Tapi melatih bagaimana seorang anak melukis jalan hidupnya sendiri. Memunculkan apa yang ada dalam pandangan sang anak didik. Ia memabantu menemukan karakter dan jati diri anak didiknya untuk diekspresikan dalam karya-karya lukis.
Beliau pelukis sekaligus guru moral yang konsisten dengan sikapnya. Menentang yang tidak benar. Sikapnya yang keras dan gigih membuatnya disegani sesama seniman dan juga pemda disana.

Rumahnya adalah tempat dimana ia menuangkan segala pandangan hidupnya dalam sebuah kanfas. Juga tempat ia memberikan pelajar lukis pepada anak didiknya. Keluarga ini adalah keluarga para pelukis. Dalam darah anaknya semua mengalir batak lukis yang luar bisa. Dimsa kecil mereka, hampir tak ada yang mengalahkan tenkin dan cara melukisnya.

Pak Joko. Pelukis dan pendidik yang memandang hidup harus dengan tangannya sendiri.

Yang ketiga adalah Pak Joko. Yang ini adalah penjuan soto ceker ayam di sebelah timur makam dosen sawit sari. Pengikut salafi tulen. Dan berkeyakina teguh pada apa yang menjadi dasar hidupnya saat ini. Dulu pak joko seorang pengusaha yang sukse. Membuka bengkel mobil dan mempunyai cabang di beberapa daerah.

Namun, penghianatan seorang teman, menyebabkan roda hidup Pak Joko saat ini berada di bwah. Taoidia mengiklaskan tindakan yang dilakukan temannya. Tidak melakukan tindakan hukum apapun. Bagi dia semuanya adalah urusan yang kuasa.

Kini pak Joko, tinggal di timur makan keluarga civitas akademika. Dan berjuang untuk menggelindingkan rodanya kembali agar berda diatas.

Dari ketiganya saya menemukan satu kesamaan. Kerasa dalam memandang hidup dan konsisiten dengan apa yang diyakininya. []

[070608]

Keriuhan dalam Perbincangan

Ryan Sugiarto

Kenapa tak ada keriuhan dalam perbincangan ini. Kenapa tak ada hal serius yang bisa diobrolkan bersama. Kenapa gayung tak saling bersambut. Yang muncul gojek kere dan intikan-intrikan yang mengenang mas lalu.
Begitu beberapa keluhan yang muncul diawal bulan Juni tahun ini, pada sebuah millis Alumni. Keluhan-keluhan dari bberapa kawan, dan kemudian disambut pula dengan kuluah dan juga sambutan-samputan sekenanya. Dan ini menjadi serius.
Sekedar mengingat. Bukankan ini memang juga terjadai dari dulu, bahkan pada hal-hal yang kita tak membutuhkan seperangkat alat teknologi untuk menyambungnya. Bahkan pada waktu kita hanya bisa mengandalkan perbincangan dari mulut ke mulutpun, tak ada keriuhan yang sama. Bahkan juga ketika kererumunnya orang-orang segenerasi.
Maka jangan aneh jika dalam dunia yang relative baru ini, keriuhan dan keseriusan belum muncul. Atau tidak muncul. Apalagi ini menghubungkan lintas generasi. Pertama, tak semua orang mempunyai kesempatan untuk meluangkan waktu membalas dan menimpali umpan-umpan yang sudah dilempar kedunia maya itu. Kedua, sama seperti ketika duduk melingkar bareng, tak muncul ketertarikan yang sama tentang sebuah perbincangan.
Sementara ini barangkali hanya mereka yang memiliki akses mudah untuk melakukan hal ini. Yang inipun terkadang tak mau untuk berbagi umpan. Yang sering memberi umpan terlalu memandang lurus segenerasi sebuah perbincangan, jadi tampak asing bagi yang lain. Dan kemudian merasa atau terasa mendominasi.
Sementara yang tak melayangkan umpan, juga, siapa tahu belum memiliki keleluasaan yang baik untuk mengakses seperangkat alat ini. Atau juga, jangan-jangan, tak mampu menulis dan menimpali setiap ide. Dan lebih gawat lagi tak punya idei. Dan lebih gwat lagi, merasa terdominasi wacananya.
Keriuhan justru akan tercipta ketika garis komunikasi sefrekuensi. Dan mungkin bagi yang belum sefrekuensi sedang dalam taraf menyiapakan kesamaan frekuensi. Frekeunsi ekonomi, frekuensi waktu luang, frekuensi keinginingan, dan frekuensi saling mendominasi.
Tak usahlah terlalu larut dalam kekecewaan tak adanya keriuhan. Dan tak tersambutnya sebuah ajakan. Sama seperti halnya untuk ajakan yang sma dalam kesempatan-kesempatan yang lebih nyata. Usaha menciptakan keriuhan patut diangkat. Dan tidak semua bisa melakukannya. []
[090608]

Bangsa yang Gemar Membanggakan Diri

Ryan Sugiarto

Kita ini bangsa yang gemar membanggakan diri. Yang baru-baru terjadi adalah meroketnya Barak Obama sebagai calon presiden Amerika paling kuat. Kenapa justru Indonesia yang bangga? Dan dari sisi mana kita membanggakannya.
Kecemerlangan Obama dalam konvensi Parta I Demokrat , mengalahkan Hillary Clinton, menjadi tanda paling mutakhir bangsa ini selalu membanggakan diri. Bahkan ketika ia tidak mempunyai apa-apa untuk dibanggakan. “Obama, anak calon presiden itu?Ia pernah sekolah di Indonesia lho. Sekolah selama dua tahun di sekolah dasar di Indonesia. Calon presiden itu pernah tinggal di Indonesia. Ya, dia bahkan sempat sekolah disini.” Bgitu kira-kira Indonesia menaruh bangga dengan pernah menjadi tempat tinggal calon presiden Obama.
Budaya ini memang sering melekat pada orang-orang ndonesi. Bapakku orang penting didesa, bapakku seorang dosen, Itu lho masku, seorang mentri, misalnya.
Bangga dengan apa yang dilakukan orang lain, tapi diri sendiri tetap jalan di tempat. Kebanggaan semu semacam ini laik untuk segera diolah untuk bangga dengan karya sendiri. Bangga karena dirinya bergerak dan menghasilkan apa yang patut dibangakan.
Kebanggaan semu, hanya meninabobokkan dan membuat besar, seperti busa. Hliang tertiup angin. Tak mantap. Maka mari mulai bangga dengan diri sendiri. Dengan cara membuat karya senyatanya. []
[100608]

Hidup adalah Beriklan

Ryan Sugiarto



Begitu kira-kira bahasa populer yang bisa menggambarkan memang demikian sebuah kehidupan. Beriklan. Esensi dari beriklan tentu mengenalkan. Dan kita sudah belajar beriklan semasa kecil. Bahkan dalam kandungan seorang ibu. Nama menjadi satu dari sekian bentuk cara beriklan yang telah turun temurun diwariskan oleh anak manusia.

Nama wati dan budi adalah langkah iklan pertama untuk mengenal seseorang. Begitulah teknik sederhana yang sebenarnya lekat dalam kehidupan kita.

Menginjak masa kecil, kitapun diajar untuk bersaing di sekolah, mendapat nilai baik. Ranking dikelas, pertasi dalam olah raga, dalam karya ilmiah, dalam lomba azan sekalipun, agar nama kita dikenal. Prestasi, kompetisi, dan segala macam pendidikan adalah bentuk dari cara mengenalkan diri. Cara mengiklankan diri.

Bagi seorang penulis, menulis adalah cara mereka mengiklankan diri kepada manusia lainnya. Seorang pekerja, bekerja dengan keras, rajin dan berpreestasi adalah bagian dari cara mengiklankan diri mereka.

Hidup, bahkan, adalah cara beriklan kita kepada yang maha konsumtif. Yang maha melakukan penilaian. Dialah yang menciptakan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh pengiklan.

Maka, tak heran manusia senantiasa mengiklankan diri mereka. Baik secara naluriah untuk hidupnya atau iklan untuk iklan dirinya. Dalam kamus politik tanah air, gaya-gaya iklan ini kemudian diadaptasi untuk tak sekedar menyiasati dirinya dalam lingkaran survei, tapi juga votting suara rakyat.

Lalu muncul padanan lainnya “tebar pesona”, “hidup adalah perbuatan”, “bersama saya save our nation”, “bersama kita bisa”, dan lainnya- dan lainnya.

“Lha yang sedang saya lakukan ini adalah juga bentuk dari pada iklan”. Memang tak luput dari hal yang demikian, iklan tentang ide dan gagasan. Karana jika tidak, gagasan akan teronggok dan menyebabkan kita tak bisa beriklan pada yang Maha lain. Mati. []

[140608]

Sabtu, 07 Juni 2008

Tiga Kali Traktir Makan, dan Menertawakan Kematian

Ryan Sugiarto

Saya masih harus membayar tiga kali makan di RM padang secara berturut-turut. Ini adalah akibat dari kesalahan analisis politik yang saya lakukan karena mengira PKS di Ibu kota bisa mrantasi koalisi partai tua yang mengusung Fauzi Bowo sebagai gubernur DKI.

Analisa saya sebenarnya tak terlalu salah, barangkali hanya meleset sedikit dari angka perkiraan. Tapi meskipun demikian itu resiko analisa politik yang saya tanggung, karena meleset.Adang kalah. Dan saya harus mengganti makan tiga kali berturt-turut kepada lawan analisa saya. Syaratnya hanya berturut-turut.

Lain kesempatan ketika mengobrol dengan seorang senior dari sebuah pergerakan mahasiswa, tentang pilihan jalan hidup dan kematian, sembari bergurau Ia mengungkapkan, “Cara kita hidup dan mati itu hanya persoalan keberanian kita untuk memilih,” Jika berani masuk ke dunia politik, mungkin hidupmu akan membaik dengan keuangan yang tak terkira naik-turunnya, tapi harus siap dengan todongan pitol untuk sebuah kematianmu, lanjutnya. Andai masuk kesana bersiaplah dengan itu: Pistol kematian bagi politikmu dan juga kematianmu mendiri. Dan persiapkan juga naik-turun perasaan kehidupanmu.

Demikian juga jika memilih jalan hidup dipertanian, maksudnya menjadi petani. Barangkali hidupnya akan sedikit nyaman, tanpa dipusingkan oleh pertentangan politik dan pertentangan kepentingan yang begitu vulgar. Tapi bersiaplah mati dalam keadaan kelaparan. Tuturnya lagi.

Semua pilihan jalan hidup penuh dengan resiko mati dan alat penyebabnya.

“Jika, tak berani dengan yang ekstrem, tak usahlah bermain-main dengan kematian” menjadilah orang biasa yang mati (tua) dengan biasa juga, seloroh kami dan sambil menertawakan kematian. []

[010608]

The Black (tentang Cahaya)

Ryan Sugiarto

Anda pernah menonton film Black. Karya keluran inggris dengan pemain-pemain India. Ada Amitya Bachan, ada juga Ayshwara Rai. Inilah salah satu film yang menceritakan tentang cara seorang anak manusia, yang lahir dengan keadaan tak sebagaimana mestinya anak yang lahir. Seorang anak perempuan yang lahir dalam keadaan buta dan tuli, maka dengan demikian ia sekalus bisu. Apa yang bisa ia pelajar dari benada-benada siekitarnya dengan demikian?

Perlakuan orang tua padanya seperti selaiknya binatang. Dibiarkan begitu saja, kana dengan mulut, berteriak-teriak tidak jelas. Tak ada satu satu gurupun yang sanggup mengajarkan pada anak yang, dengan bahasa halu khalayak menamainya dengan anak berkebutuhan khusus, anak cacat dan atau difabel sejak lahir.

Hingga suatu hari ada seorang guru yang bersedia mendidiknya dan mengajarkan bahasa manusia kepadanya. Dialah Sang Guru. Dia berpengalaman mengajar pada pendidikan inklusif, pendidikan untuk anak-anak cacat.

Sang Guru meminta perjanjian dengan keluarga anak ini untuk tidak turut campur denga caranya mengajar dan mendidiknya untuk menjadi manusia, seperti manusai pada umunya. Tan mudah memang, tpi perjuangan sang Guru bukan untuk gagal.

Innilah film yang mengajarkan kepada difabel komplek tentang arti sebuah bahasa. Semua indramnya mati. Hanya satu, ia belajar dari indra kulitnya, indra perabanya. Dan dari sana ia belajar bahasa.

Kata pertama yang berhasil dilakukannya adalah “Water” , “Air”. Setelah berminggu-minggu. Dalam dunia gelap, yang sebenar-benarnya gelap anak ini tumbuh menjadi dewasa dan belajar banyak bahasa. Hanya dari indra perabanya.

Air adalah bahasa pertama anak yang tak berindra kecual perabanya. Dan kegelapan adalah dunia dimana ia belajar tentang cahaya. Cahaya itu adalah sang Guru. Ia memberikan bahasa sebagai cahaya. Ia mengajarkan bagaimana menggunakan satu-satunya alat belajar, kulit, sebagai media mencari cahaya.

Dari terbuang, seperti binatang, ia menjadi anak yang mebahagiakan orang tuanya, membanggakan keduanya.

Film ini sejatinya juga sebuah jawaban dari perdebatan kecil di bawah beringin rindang di seputaran B21. tentang pertanyaan menggelitik seorang kawan,”Bagaimana car belajar bayi yang sejak kecil dibuang di hutan. Jika tidak mati dimangsa harimau?”

Simaklah film ini.

Tak seorangpun manusia yang tidak bisa menemukan cahaya hidupnya. Meskipun ia dalam kegelapan yang sesungguhnya. Meskipun ia cacat, meskipun ia terhalang denga kekuranganya. Namun tak ada rintangan untuk menujudkan diri menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, pada akhirnya.

Kekurangan atau bahkan kecacatan bukan halangan bagi semuanya untuk maju. Tak ada yang tidak bisa jika kita berkata bisa. Anda Lihat “Sugeng, sang motivator ulung bagi sesama penyandang cacat, dan pelaksanan gerakan kebangkitan 1000 kaki palsu yang bulan lalu populer di Kick Andi. Atau Dede peraih tiga penghargaan dari guines book recor dunia setelah berhasil mendaki tiga gunung tinggi dengan satu kakinya.

Dan tentu tiba bagi kita “lainya” saat-saat yang membahagiakan orang tua. Tak ada yang tidak bisa. []

(310508)

Tentang Banyak Pilihan

Ryan Sugiarto

Banyak pilihah bisa kita munculkan justru ketika kita merasa hampir tidak punya hal untuk dipilih

Begitu ungkapan dari teman saya. Ini membuat saya tereksima sekaligus bingung. Dua hal yang jarang terjadi pada manusia. Bagaiman bisa ada banyak pilihan ketika kita tidak mempunyai pilihan sama sekali? Bagaimana nalar yang mempertemukan pernyataan ini?

Tapi begitulah pengalamannya, dan kemudian dilontarkan kepadaku ketika sebuah pertanyaan kecil terlontar dalam percakapan kami “ingin menjadi apa kita?”

Ingin menjadi apa kita nanti adalah apa yang kita lakukan sekarang. Masa depan adalah hari ini. Lanjutnya, mengutip sebuah pernyataan umum yangs sudah terlontar ribuan kali dari ratusan atau bahkan ribuan mulut orang.

Tapi yang satu itu saya baru mendengarnya. Dan membuat dahi saya berkernyit, berpikir keras tentang nalar bertemunya. Jangan kawatir, saya akan bertanya padanya lagi.

Rasanya ini hanya persoalan religiusitas yang berbeda-beda, dan saya belum sampai pada titik itu. Atau justru Anda, yang juga tidak paham, telah melampauinya, hingga yang satu ini tertinggal dari langkah religi anda?[]

[010608]

Satu lagi Soal Demonstrasi

Oleh Ryan Sugiarto

Ada hal paling tidak logis dalam hal demonstrasi. Ada diantara teman-teman yang menyuarakn tuntutan meraka dengan aksi mogok makan. Dan lebih tragisnya lagi adalah dengan menjahit mulut mereka. Dalam pikiran saya muncul pertanyaan: “kenapa teman ini memilih aksi mogok makan?” kalo jawabannya hanya ingin menyuarakan tuntutan, tak adakah jalan lain dari itu. Demonstrasi seperti biasanya misalnya.

Kenapa saya bilang tidak logis? Ya karena tenntu saja ia bukanlah hal yang sangat tidak realistis dan efektif untuk dilakukan. Aksi mogok makan adalah aksi yang menurut saya paling konyol yang dilakukan orang konyol. Aksi bodoh, mohon maaf saya harus enggunakan kata ini, yang dilakukan oleh orang yang tahu akan keadaan yang sebenarnya. Tapi ia melakukan cara yang salah. Menyiksa diri sendiri. Ia pikir dirinya Yesus yang berani disalib untuk menebus dosa-dosa umatnya nanti? Ia pikir manusia yang berkuasa yang didemo adalah tuhan yang konon menerima kayu salib Yesus.

Bukan. Bukan seperti itu….penafsirannya. Mogok makan justru menambah persoalan pada diri sendiri, dan orang lain pada akhirnya nanti.

Sederhananya….”La wong demontrasi terang-terangan, demonstrasi besar-besaran, dan demonstrasi dengan pengerahan masa saja yang didemo tidak denger, tidak peduli. Tidak merasa didemo. Lha kok pake mogok makan segala,” pikirku dalam hati.

“La wong yang nyata-nyata kelaparan dengan cara alami saja yang didemo tidak merasa tahu. Tidak mau tahu. Dan tidak ingin tahu. Kok kelaparan dengan cara disengaja, dibuat-buat, berharap yang didemo ingin mengetahuinya,” kata otakku lagi.

Sudahlah, tinggalkan cara kuno mogok makan. Merak yang kita demo tidak akan peduli dengan kelaparan kita yang memang lapar karena tidak ada bahan makanan yang bisa dimakan.

Apa lagi aksi mogok makan. Mereka akan berpikir, “Ah, anak-anak muda ini hanya ingin membohongi saya. Wong mereka bisa kuliah. Bisa membeli baju yang mahal-mahal. Sering dugem segala,masak kelaparan,” ungkap pejabat-pejabat itu

Paling lagi mereka akan berpikir, “Biarkan mereka lapar, itu adalah bentuk pelajaran dan pendidikan bagi mereka,” tambahnya nanti.

Begitu…seterusnya kecamuk dialog yang ada dalam otakku. Itu yang selama ini membuat saya agak trenyuh dengan pilihan sikap teman-teman yang mengambil jalan mogok makan. Kawan pilih jalan lain yang anda tidak sengsara, dan anda bisa menyuarakan tuntutan yang lain yang tidak bersuara.

(310508)

Sejarah telah Mati

Ryan Sugiarto

Sejarah telah mati. Terkubur bersama lepasnya generasi kami.
Pelanjut kami mengubur kenangan sejarah panjang dalam koper besi dalam dalam.
“Kita mulai dari yang baru. Jangan sekali-kali menggali lagi sejarah lama itu”
Begitu yang saya tangkap dari bibir anak-anak belia yang mencoba mencari hal baru dan tak ingin menggali sejarah panjangnya.

Inilah titik balik. Mereka menyebutnya from Hero to Zero.
Dari pemenang menjadi pecundang.
Mereka mengubur semua baik dan buruk dalam ingatan dalam-dalam.
Menghilangkan kebanggaan dan narsistic.Mengubur narsistic yang menjadi bekal keuletan terus belajar dan menyapa sejarah.

Tapi sejarah telah mati bersama lahirnya generasi yang memoles pergaulan.
Menggaulkan kerja-kerja dan peradaban.
Dalam laporan kompas hari ini (01/06): ini bukan jamannya Tan Malaka, yang dengan sederhanya melahirkan karya-karya besar, Madilog.

Ini adalah jaman dimana parfum bertebaran menyerbak, tapi kosong otak.
Ini bukan ajakan permisif pasif.
Tapi adalah seruan untuk berangkat dari titik balik matinya sejarah.
Sebagaimana yang ditulis oleh milan kundera, mengingat adalah sebuah kerja juga. []

[010608]

Yang Abstrak, Yang Berbeda

Ryan Sugiarto

Beberapa SMS meluncur deras ke HP saya, yang hanya motorola seri C36. Isinya adalah seputar curhat tentang cinta dari teman saya. Intinya adalah, teman itu menulisnya dalam tex sms

“Saya merasa sudah menemukan pasangan yang membuat hati saya bergetar hebat. Sebuah rasa yang tidak pernah saya alami dengan beberapa pacar saya. Termasuk paar saya yang sekarang ini,” ungkapnya.

Lanjutnya,“tapi bagaimana dengan kondisi seperti ini. Pacar saya yang sekarang bahkan hanya bermain-main dalam urusan hubungan. Tidak pernah sekalibun berani saya ajak menemui orang tua saya, walau hanya bersilaturahmi.”

“Dan disaat seperti ini saya menemukan dia yang membuat hati saya berbeda dari pacar-pacar sebelumnya. Saya berjanji ini menjadi yang terakhir. Tapi justru itu saya menjadi takut, kalau dia mengetahui saya yang dulu dan kemudian dicap menjadi jelek oleh dia,” tambahnya lagi yang konon hendak memenuhi inbok saya dengan curhatan-curhatan dia.

Dan saya pun tak bisa berbalas sesuatu laiknya konsultan percintaan. Atau psikolog remaja, yang mengomentari ini itu tentang remaja (dewasa, juga keluarga) dan persoalannya.

Saya hanya menulis singkat dalam balasan sms kepadanya

Cinta itu saling mengisi tanpa harus menggurui

Cinta itu dari dua berbeda menjadi tiga.

Cinta itu tak sekadar ada bahagia tapi juga kecewa

(Konon) karena itu yang membuat cinta menjadi indah…..

Itu saja. Dan kemudian, teman saya berhenti menjejalkan sms-smsnya.

Semua orang berhak dan pasti memiliki definisi tentang yang namanya cinta. Tak terlebih saya, anda, dan semuanya manusia yang membuta organ olah rasa ini.

Karena itu ketika suatu hari sms singkat itu saya forward kepada teman yang berada di pulau dewata, dia membalasnya singkat

“Bagi saya cinta itu Abstrak” ucapnya singkat.

Begitulah. Yang abstrak dan yang berbeda

(310508

TOTTI

Ryan Sugiarto

“Pelajaran hari ini adalah, Totti. Artinya adalah….aduuuuhhhh….aduuhhhhh (sambil memegangi lututnya). Totti artinya Cengeng.” Begitu sebuah iklan dari tanyangan Liga Seri A Italia di Trans 7.

Tapi demikiankan Totti?

Dia dijuluki pangeran dalam karirnya di Associate Socer (AS) Roma. Tak hanya ketampanan, kepiawaiannya untuk menggocek bola-bola, dengan atraktif semakin meneguhkan Totti sebagai icon bagi Roma. Pangeran Roma, dalam kompetisi bergengsi Seri A di Italia. Semula dia adalah play maker, penyerang lubang. Kini Totti menjadi salah satu penyerang, attacante, berbahaya di Seri A.

Kepiaiwaiann melakukan diving, tak disangka berbuntut cidera demi cidera yang merundungnya. Diluar lapangan Ia adalah seorang putra yang begitu patuh pada sang bundanya. Bahkan keinginannya untuk pindah ke Real Madrid, tak akan kesampaian karena ia tak mendapat restu dari bundanya. Dan ia memantapkan hatinya hanya untuk Roma, satu-satunya tim yang ia bela sejak awal karirnya.

Ia tak hanya berpikiran seputar masa depan dirinya. Jauh lebih dari itu, ia berpikir tentang masa depan sepak bola di negeri spageti itu. Totti memilih melepas kesempatannya memperkuat tim nasional italia, meskipun menjadi kontroversi karena Roberto Dona-doni, bersikeran meminta totti untuk memperkuat timnas.

Tapi Totti berpikiran lain. Italia, kini diisi oleh pemain-pemain kawakan. Pemain tua yang sudah malang melintang di berbagai tim besar dunia, agar berganti dengan peremajaan pemain. Maka ia melepas kesempatanya untuk anak-anak muda bola Italia. Baginya kesempatan itu layak diberikan kepada para pemain muda untuk menambah jam terbangnya di tim nasional. “Agar italia tak dihuni oleh pemain yang kehabisan tenaga untuk bermain 90 menit di lapangan,” kira-kira begitu pandangannya, yang saya interpretasi dari sikap diamnya menolak twaran bergabung dengan tim nasional.

Memang begitu, generasi saling member. Hanya dan hanya jika berpikir yang terbaik untuk masa depan negaranya. Tapi tak semua lini bisa berpikir demikian. Tak juga dunia politik, tak juga dunia ekonomi. Tak juga lainnya.

Totti mewakili dunia bola yang berpikiran tentang pentingnya yang muda. Yang berenergi besar, yang berambisi besar, yang berpikiran besar, yang berteknik tinggi . Tak banyak pemain bola berpikiran demikian, bahkan banyak yang berambisi, merengek-rengek, masuk lagi dan ingin terus bergabung dengan timnas hingga capaian 100 lebih.

Totti berpikir generasi depan untuk bola Italia. []

[060608]

Sang Profesor

Ryan Sugiarto

Setelah beberapa waktu yang lalu, kolega saya bertanya “berapa lama kamu menyelesaikan skripsi?” katanya melalui sms pendek.

Ini cerita tentang suatu waktu dimana saya harus mempertahankan sikap ilmiah terhadap karya akhir dalam sebuah jenjang yang disebut kuliah. Ujian skripsi. Dengan sedikit bumbu dramatis…..dan perlu verifikasi daripihak lain. Tapi tidak untuk menyudutkan. Inilah reportase pribadi.

Karena harus segera menuntaskan masa kuliah, dan demi mengalihkan berbagai desakan hidup. Ekonomi, biaya perkuliahan yang tinggi, juga desakan “sosial” kok ga lulus-lulus, dari orang lain, serangkaian kegiatan ilmiah “skripsi” harus segera dituntas-paripurnakan. Dilakukanlah ujian pendadaran.

Segepok naskah jadi, sekira lima bab saya serahkan langsung ke dosen pembimbing, setelah kurang lebih satu atau dua bulanan tidak konsultasi skripsi. “Pak, ini naskah skripsi saya. Saya siap ujian,” itu kaliat pertama saya pada pertemuan jadwal siang waktu itu.

“Ya. Mana saya tandatangani,” jawab pembimbing itu sembari mengeluarkan bolpoin dari kantong sakunya. Seingsut kemudian, tanda konsultasi itupun ditandatangani sebagai bukti “mahasiswa ini sudah selesai mengerjakan skripsi dan siap untuk diuji”.

Begitu, pertemuan singkat dengan dosen pembimbing yang dengan sabar menunggu anak didiknya menyelesaikan tugas akhirnya satu persatu. Kenapa? Total waktu dari mendaftar hingga akhir sebenarnya sekitar tiga semester. Tapi secara serius dikerjakan tak lebih dari satu semester….begitu pada umumnya mahasiswa mengulur waktu kuliahnya. Dengan alasan apapun.

Lain hari berikutnya, sesi mencari dosen penguji untuk naskah ilmiah ini. Meski harus mencari penguji sendiri,tak mudah ternyat mencocok waktu untuk menguji naskah saya. Beberapa dosen terpaksa tidak bisa, karena benturan waktu dengan jadwal mereka masing-masing.

Sedangkan waktu hampir habis untuk mengejar bulam Mei.

Satu, dua dosen sudah tidak bisa. Tapi tak ada waktu lain selain hari selasa yang sudah saya buat janji dengan pembimbing saya. Biro skripsi kemudian mengusulkan mana Prof. X. “Bagaimana kalo dengan Prof. X, Yan. Berani enggak,” tanya ibu ini.

“Memangnya kenapa bu? Kok pake kata-kata berani tidak,” tanyaku menyelidik.

“Ga papa. Kalo berani langsung saya telponkan,” lanjutnya lagi.

Jawaban OK segera saya lontarkan. Tanpa memperhatikan kembali dan mengusut kembali pernyataan berani tidak itu. Dan gayung bersambut. Sang Profesor bersedia menguji naskah saja. Dan satu lagi, Ibu W , biro skripsi tadi menawarkan diri untuk menguji saya.

Lengkap sudah penguji yang saya butuhkan untuk segera mengakhiri masa kuliah yang begitu menyenangkan itu.

Dosen pembimbing saya, Profesor X dan Ibu W. Seingsut kemudian bertemu dengan dosen yang tadinya diusulkan untuk menguji saya.

“Siapa pengujimu, Yan,” tanyanya sambil menjelaskan alsan dia tidak bisa menguji nskah sapa pada hari tyang sudah ditetapkan.

Saya menjawan Profesor X. dan agak terkejutlah dia. “kenapa berani. Saya tidak mau semeja dengan dia ketika menguji, soalnya dia pasti keas dan agak kasar dalam setiap ruang persidangan akhir” tambahnya.

Hari berikutnya, pun kabar itu merebak ketelinga saya. Tentang bagaimana sepak terjang Prof. X di lapangan ujian Skripsi. Intinya sangat ganas. Dalam pikiran saya, seolah mereka berkata, “kok berani-beraninya menjadikan Prof. X sebagai penguji”. Justru itu yang kemudian mejadikan otak saya menjadi liar dan penasaran tentang bagaimana kegansan prof. X dimeja sidang akhir. Meskipun pikiran saya juga menjalar pada pertaruhan nilai yang bakai saya dapat usai ujian nanti.

Hari H siap. Saya melihat Prof X menuju ruanganny sambil menenteng naskah yang saya serahkan seminggu sebelum ujian dimulai.

Seingat saya ada sekitar sepuluhan teman yang menyaksikan sidang terbuka itu. Baik dari fakultas dari luar atau teman dari luar universitas, menjadi saksi bagi akhir perjalanan saya di universitas formal ini. Setelah ketua sidang mempersilahkan saya menjelaskan dengan singkat maskah saya, giliran Prof. X yang mendapat kesempatan pertam menguji naskah saya.

“Pertama,saya suka keliaran Anda,” ungkapnya pertama membuka pernyataan. Keliran tentang tema dan juga metodologi yang saya gunakan. Tema ini, memang agak asing ditelinga fakutas waktu itu. Tema yang tidak biasanya diangkat oleh mahasiwa tingkat sarjana ataupun mungkin juga tingat magister. Tentang multikulturalisme, dan agama. Atau tepatnya modernissi dan agama. Sebuah tema yang rsanya sangat asig dalam ranah psikologi waktu itu.

Penuturan berikutnya adalah pertanyaan demi pertanyaan, sembara nada memojokkan tentang naskah saya yang terlontar dari suara sang profesor. Bertubi-tubi. Dan untuk bertanggung jwab atas apa yang saya tuliskan tugas saya hanyalah menjawab berdsarkan apa yang saya tulis dan kerangka ilmiah metodologis yang saya pakai. Saya jawab setiap pertanyaan Prof. X.

“Anda bicara soal agama, tapi anda hanya mengambil referensi dari satu agama,”tukasnya. Pertanyaan itu saya bantah dengan menunjukkan bukti-buksi kutipan dan pustaka yang saya gunakan. Prof X hanya menunjukn Ulumul Quran, jurnal dengan nama Islam itu. Seolah-olah itulah refrensi islam.

Lainnya lagi, cap telah mendeskriditkan salah satu ormas islam besar dalam tulisan saya. Dan saya menyatakan tidak melakukan yang demikian. Pertengkaran dimeja sidang terjadi, dan munculkah kata-kata yang menurut saya sangat tidak etis untuk dilontarkan dalam forum ilmiah yang mulia itu. Kata-kata yang semestsinya tidak keluar dari mulit “suci” seorang yang dianugerahi dengan keilmuannya, hingga mencapa level Profesor. Tetapi sikap ilmiah tetap berusaha saya pertahankan, saya jawab semua pertanyaan dan saya mempertanggungjawabkan setiap kata dalam naskah saya. Tak luput kami mempertentangkan soal paradoks atas nama agama.

“Ia menutup sesinya dengan Mas, kamu inngi ngeyelan,” dari sang profesor.

Saya hanya tersenyum sembari, menahan rasa geli, mempertahankan argumen saya dari serangan bertubi-tubi Prof. X yang memang terkenal kiler di meja persidangan akhir. Dari sumber teman-teman lain, mengatakan beliau ini tipe orang yang harus mendapat jawaban “IYA” dan “Terimakasih Koreksinya, nanti saya perbaiki” dari mahasiswa yang diujinya.

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh pembimbing saya. Ia lebih banyak diam menyaksikan”pertengkaran ilmiah” saya dengan prof X. yang terlontar dari mulutnya yang saya ingta sampai sekarang adalah “Saya suka cara menjawabmu” tuturnya. Pikirku ini adalah tonjokkan Upercut dari dosen tua kepada profesor ini. Singkat tapi telak.

Ujian selesai. Prof X, langsung meninggalkan ruang ujian tanpa ada tanda perdamaian”salaman tangan”. Ruangan tinggal kami bertiga, Ibu W, pembimbing saya dan saya. Teman-teman yang menyaksikan peristiwa ini sudah keluar, berdasarkan atuaran sidang.

“Tak ada sebelumnya mahasiswa yang berani menjawab dan sekaligus dengan tenang mempertahankan argumennya, seperti kamu,” ungkap ibu W. Tapi, setelah ini berpikirlah untuk tidak sembrono ketika berhadapan dengan beliau, jika tidak ingin wisudamu terundur gara-gara ukuran standar S2 menimpamu dari profesor.

***

Itulah, watak keras dan waham yang kadang melekat pada diri orang muda yang merasa berhasil menyalip tetuanya, muda menjadi profesor dan sekaligus guru besar. Tentu tidak ingin begitu saja pendapatnya bisa dipatahkan atau paling tidak terjawab oleh bocah kemarin sore yang (hampir) baru menyelesaikan srata satu.

Tetapi demikianlah kuasa ilmu. Ketika hinggap dan tersandang pada level tertinggi menimbulkan waham kebesara? Bukankan dalam ilmu juga mengenal filosofi padi. Semakin berisi ia semakin menunduk. Tidak membusung, juga tidak mendongak.

Beberapa hari selanjutnya, santer masuk dalam pendengaran saya membicarakan tentang prof X. “Sori yang membicarakan Prof X, memalui perantara skirpsimu,” ungkat teman ketika bergerombol di kantin belakang kampus. Demikian, mereka ngerumpi tentang keganasan profesor di setiap ruang sidang, hingga menyebabkan bebeapa mahasiswa yang diujinya menangis, tak jarang gebrak meja, dan meninggalkan sidang begitu saja, tak terkecuali untuk mahasiswa yang dibimbingnya sendiri.

Terbersit dalam otak nakal saya, lumayan juga bisa terjaga dan menahan gempuran dari Prof. X dengan kepala tegak, tak ada tangis atu kecil hati. Meskipun ternyata pertaruhan nilai harus kalah. Tapi bukanlah nilai semata yang harus dikejar dalam setiap ujian, ujian akhir sekalipun, tetapi barangkali harga diri sebagai manusia dan terlebih mahasiwa tetap terjaga, dengan tidak sekadar berani berkata “IYA”, “maaf” “nanti saya perbaiki”. Bukankan pendidikan seharusnya mengajarkan untuk memberi keberanian berbicara, tidak untuk membisu dan membeo saja. Apalah arti pendidikan jika demikian. Meski tak terberi disana secar format, paling tidak kita bisa memperoleh keberanian itu sendiri.

Itulah salah satu yang bagi saya menjadi ha mendasar dalam pendidikan. “Membuat panda berkicau”, “melatih bersuara pada yang sebelumnya tidak berani bersuara”. Tidak untuk diam dan membungkam.

(310508)

Rasa Ingin Tahu adalah Induk dari Segala Kreativitas

Ryan Sugiarto

Yang perlu ditanamkan pada dunia anak, dan juga pendidikan pada umumnya adalah rasa ingin tahu. Tak sekedar itu, menumbuhkan, tetapi juga bagaimana menyuburkan rasa ingin tahu, tentang segala hal itu pada manusia terutama anak-anak. Pertama agar ia terangsang untuk berpikir. Dan kedua agar ia terangsang untuk mencari tahu.

Jika rasa ingin tahu tak akan terpenuhi dengan sepenuhnya. Keingintahuan yang terpenuhi hanya berusaha merangsang keingintahuan-keingintahuan yang lain. Dan dari sana sangat mungkin akan menghasilakn apapun sebagai produk dari rasa ingin tahu. Apapun bentuknya. Pemikiran, metode, atau alam bentuk barang fisik.

Begitulah cara kerja segala induk dari yang namanya kreatifitas manusia. “O..ini menjadi begini, dan setrusnya akan begini. Bagaimana kalo begini ya? Apa yang akan dihasilkan,” begitu pikiran itu berkata.

Ia akan sedikit terpenuhi dari belajar, membaca dan juga melakukan eksperimen-eksperiman.

Susah mengasah rasa ingin tahu. Pada diri sendiri dan juga mengajarkannya pada orang lain. Bahkan pada level gurupun, mencari tahu apa yang memang bisa diajarkan oleh mereka tentang rasa ingin tahu pda anak didiknya juga tidak tahu. []

[060608]

Question are The Creative Acts of Intelligence

Ryan Sugiarto

Tak semua orang berani untuk mengangkat jari dan kemudain mengajukan pertanyaan. Sekolah sejak mula hanya mengajarkan kepada anak-anak didik untuk sekadar berani menjawab. Tidak untuk bertanya. Bertanya kadang bahkan menjadi hal mewah, dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang “cerdas”.

Dan yang terjadi sebagai lanjutannya adalah budaya takut untuk angkat bertanya. Bisik-bisik menjadi alternatif, karena tak ada keberanian mengangkat suranya. Untuk yang bidang yang satu ini adalah kebalikan dari survei yang silakukan oleh Star time, yang menyatakan bahwa “kebanyakan orang Asia adalah orang yang senang ngobrol dan bercakap-ckap”, begitu laporan mereka. Itu untuk urusan yang santai dan tidak formal dalam lingkugan sekolah, pendidikan atau forum yang dinilai resmi. Orang Asia konon senang ngobrol dan berbincang-bincang, bertutur, dalam istilah gaulnya adalah ngerumpi kesana-kemari.

Namun dalam forum yang resmi yang menuntuk pemikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas, tak ada rumpia yang ramai. Tak ada rumpio yang gumuruh. Semua menjadi diam seribu bahasa. Padahal sebenarnya bahasa kan untuk diucapkan dan diperdengarkan menjadi bahsa tutur dan percakapan.

Keberanian untuk bertutur dan berbahasa percakapan dalam sebuah sekolah atau formun ini tak terbiasa terajar dalam ruang diskusi dan pendidikan di nergara ini. Yang nampak kemudian adalah menyurakan secra beramai-ramai, beruebut dan saling mendahului ketika bersama, sama. Maka ruang menjadi gemuruh dan justru menjadi tidak jelas apa pertanyaan. Mana pertanyaan yang bisa jadi adalah lontaran kecerdasan yang luar biasa dari seorang anak manusia. []

[050608]

Per non Domire

Ryan Sugiarto

Tidur tak akan menghasilkan apa-apa.

Salah satu ungkapan lama yang sangat mungkin berlaku untuk manusia-manusia modern. Kalimat ini sebenarnya, mungkin , akan merujuk pada sebuah kemalasan saja. Orang yang memang dalam waktu luasnya lebih banyak tidur, ia tidak akan mengasah otaknya. Dan tak menghasilkan apa-apa.

Otak yang tidur, tak beraktifitas. Otak yang tidur, tak mampu menggerakkan badannya untuk menghasilkan sebuah kerja. Dan maka dari itu ia tak menghasilkan apa-apa.

Per non domire. Mengajak kita semua untuk segera beralih dari tidur. Bergerak dan bergerak. Menghasilkan dan membuat sesuatu yang laik untuk tumbuh bersama. Membangunkan badan harus juga disertai dengan membangunkan otak kita. Karenanya orang-orang yang tetap tegap dan tak tidur diwaktu-waktu luasnya akan beani berbicara. Karena ia mempunyai informasi yang lebih dibandingkan dengan orang yang tidur diwaktu luasnya.

Berangkat dari sini sebenarnya apa yang didapat oleh orang yang tidur di waktu-waktu senggangnya? Ia akan lebih banyak mendapat, dan juga sekaligus lebih banyak menghasilkan. Karena bagi yang tidur sela-sela kesibukannya, juga akan menghasilkan energi untuk bangun dan kemudian menghasilkan yang lain.

Tidur bagi yang melakukannya disela-sela aktifitasnya, yang padat dan produktif, adalah menyimpan dan memprodukts tenaga lagi. Bedanya orang yang tidur di waktu-waktu luasnya adalah, tidur itu mengasilkan kesakitan badan yang luar biasa. Dan tidur bagi kelompok ini adalah candu. Kira-kira demikian. Lainnya? []

060608]

Paradoks yang Benar Terjadi

Ryan sugiarto

Jakarta--Tepat satu juni, yang juga diperingati sebagai hari kesaktian pancasila, kemarin kita bisa melihat dan sekaligus menganalisa tentang apa yang namanya paradox agama. Unjuk rasa damai yang digelar oleh koalisi kebangsaan (AKKBB) yang memprotes keluarnya SKB tentang pelarangan Ahmadiayah diserang oleh masa dari FPI. Peristiwa ini terjadi di Silang Monas. Sebanyak 12 orang dari koalisi kebangsaan mengalami luka-luka.

Inilah bentrokan termutakhir yang terjadi atas mana agama. “Dan satu-satunya dalam sejarah, peringatan Pancasilan dirayakan dengan adanya penyerangan satu kelompok pada kelompok lain,” demikian Gunawan Mohammad, salah satu tokoh AKKBB, melontarkan reaksinya terhadap ptragedi” Monas ini” (istilah Sutrisno Bachir).

Yang satu mendukung SKB yang dikeluarkan pemerintah dengan alsan ahmadiyah telah mencemarkan islam dan maka ia disebut organisasi terlarang dan harus dihapus. Yang lainnya memandang agama harus dimaknai sebagai rahmatalil alamin, dan agama tak perlu dibela. Agama adalah masalah hati dan keyakinan. Kira-kira demikian. Dan yang terpentingdari kelompok ini adalah negara tidak boleh ikut campur dalam urusan keimanan seseorang. Negara tidak berkuasa sedikitpun pada keyakinan yang diyakini warganya.

Seungguh paradox ini terjadi dalam lingkup dunia modern. Kenapa? Kekerasan dengan mengatasnamakan agama terjadi. Agama manapun tidak pernah mngajarkan kekerasan kepada penganutnya. Tetapi justru umat, mengadakan dan melakukan kekerasan atas namanya.

Ini hanya satu dari sekian aliran keagamaan yang menyeruak di negara ini. Masih ada banyak aliran keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam ranah keyakinan dan iman masyarakat. Lalu bagaimana? []

[020608]

Orang Kecil yang Kalah

Oleh Ryan Sugiarto

Hari kebangkitan nasional yang diberingati beberapa hari yang lalu menyisakan satu pertanyaan besar. Kenapa? Disaat perayaan yang tiadak seperti biasanya itu, karena beru kali ini hari kebangkitan nasional yang mengusung tema ‘Indonesoa Bisa’, dirayakan besar-besaran dan meriah.

Lalu kenapa? Bukan itu yang hendak diurai dari pertanyaan besar itu. Namun justru kebangkitan yang juga didahului dengan kenaikan harga BBM yang ini menyiasakan satu Gozhul yang tak kalah menarik untuk disimak bersama. Yaitu perang propaganda. Bagaiana? Ingat Demonstrasi yang dilakukan oleh teman-teman di UNAS? Dasar dari demonstrasi ini adalah menentang kenaikan harga BBM, yang dengan berbagai alasan pihak pengamanan akhirnya terjadi bentrok. Polisi menyerang mahasisa kedalam kampus yang sejak dulu kemurniannya terjaga dari tangan polisi. Setelah itu sekira 137 mahasiswa ditangkap polisi dan dilarikan ke Polres Jakarta Selatan.

Dan kemudian? Ya…disinilah yang saya kmaksud merang ini, isu BBM kembali tertutup, berganti isu yang lebih besar, pelanggaran HAM yang dilakukan Kepolisian, belum tuntas ini, beralih lagi ke tuntutan pembebasan sekira 37 mahasiswa UNAS yang masih ditahan polisi. Demo pun kemudian pindah alamat, dari menuntut pencabutan kenaikan BBM itu beralih ke pembebasan puluhan mahasiswa.

Tepat disini yang saya maksud orang kecil ini kalah. Kenapa? Karena telah dengan mudah mereka dilarikan dari isu utama sebelumnya.

Sebenarnya kita tidak perlu heran dengan demikian. Oleh sebab mahasiswa tidak pernah belajar secara resmi olah strategi dalam demonstrasi. Olah tak-tik dalam unjuk rasa. Karena memang tiadak ada dalam diktak yang semacan itu dikampus.

Tetapi ingat, polisi itu mempunyai bermacam strategi pengalihan yang bisa dilakukan dalam setiap demonstrasi yang dilakukan oleh siapapun. Dan mereka yang kemudian keluar dari goszul ini dengan dada membusung puas.

Demikian sebenarnya orang kecil ini mudah diganti dengan isu-isu yang berbelok-belok. Seperti anak kecil saja kita rasanya. Tiap menangis keras diberikan mainan baru lalu dian, menangis lalu ada mainan beru lalu diam.

Dan kemudian tidak bersetia dengan isu besar yang semestinya dijunjung tinggi. Memperjuangkan, kalua boleh menggunakan istilah itu, kepentingan lebih luas, menciptakan keadilan yang begitu susah didapatkan selaku rakyat kecil.

(310508)

Nepal

Ryan Sugiarto

Nepal Baru saja kehilangan Kharisma seorang Raja. Keistimewaan sebuah kerajaan.ribuan pendukung berdirinya republik memberikan waktu hanya 15 hari kepada keluarga Raja untuk meninggalkan istana.

Kini Negara ini menjadi republik. Lalu ribuan masa menggelar demonstrasi agar keluarga raja segera diusir dari istana. Dalam sebuah laporan berita internasional juru foto menanggap gambar seorang demonstran berdri tegak di patung rasa sebelumnya sebagai simbul tak ada lagi kuasa raja.

Goenawan Mohamad dalam bukunya On God and Other Unfinish Thing menuliskan “bukankah republik yang terbaik adalah sebuah sejarah kesabaran” []

[010608]