Selasa, 13 Juli 2010

Negara: Monster yang Berhati Dingin

Ryan Sugiarto

Ditengah kasak kusuk soal video porno yang melibatkan aktor mirip luna-ariel-dan cut tari, sayup-sayup kasus dana 15 miliar untuk anggota dewan, semakin terkuaknya kehebatan mantan pegawai pajak gayus tambunan, juga kenaikan tarif dasar listrik, kita konsumen berita, masih juga disuguhi oleh tewasnya warga pengguna tabung gas. Korban nyawa terus berjatuhan akibat ledakan tabung gas. Hilangnya nyawa manusia sebagai korban ledakan tabung gas buka sekali saja, tetapi sudah terjadi sejak konversi dari minyak ke gas yang tak sepenuhnya mulus.

Harus berapa lagi terjadi, jatuh korban tewas oleh sebab kualitas tabung gas yang tidak aman. Sebagai pengingat, pada 17 April lalu terjadi ledakan gas di kelurahan harapan mulya, kecamatan kemayoran, jakarta pusat dari 10 orang yang mengalami luka bakar 5 diantaranya meninggal (kompas.com, 19/4); 27 Mei kita membaca terjadi ledakan tabung gas di Apartemen riverside Pluit (detik.com, 27/5).; 4 juni, sebuah kantin SD margamulya, bekasi utara hancur (republika Online, 4/6); dan dua orang tewas saat terjadi ledakan tabung gas pada 18 juni di cilandak (kompas, 19/6). Setelah itu masih banyak lagi.

Kejadian bersambung kejadian seperti ini negara tetap saja mengelak dan tidak menjadi perhatian serius. Berapa orang lagi yang akan mengalami peristiwa serupa? Sebab beredar berita 10 juta tabung gas palsu beredar dimasyarakat (poskota, 7/1). Kalau keluaran resmi negara saja bisa menyebabkan ledakan semacam itu, bagaimana jadinya dengan tabung palsu. Jika yang seperti ini tidak mendapat perhatian saya kira kecemasan akan melanda masyarakat pengguna. Ujungnya adalah rasa takut. . Pengguna yang menangung rasa was-was dan ketakutan akan bisa meledaknya tabung gas milik penerintah itu.

Lalu apa bedanya dengan teroris. Jika teroris, mengatasnamakan agama dan keyakinanya, melakukan aksinya dengan bom, negara entah mengatasnamakan apa telah melakukannya dengan tabung gas. Keduanya sama-sama menebarkan rasa takut dan kekerasan. Bahkan ancaman kehilangan nyawa. Laku negara semacam ini lebih halus dan kejam dari cara kerja teroris. Sebab diwaktu lain negara menampakkan wajah seperti sinterklas yang membagi-bagikan uang kepada rakyatnya.

Dengan lebih sangar Nietzche mengatakan negara adalah monster yang terdingin hatinya dibandingkan semua monster. Ia kisahkan itu dalam Also Sparch Zarathustra. Dan saat ini kisahnya seakan tergambar di negeri ini. Bagaimana tidak , dengan alasan uang gas dijual murah keluar negeri, sedang dalam negri gas untuk kepentingan rakyatnya dijual mahal dan selalu naik. Juga tabung gas dengan kualitas yang siap meledak dan ada saja memakan korban. Negara macam apa ini yang harga nyawa manusiannya setara dengan harga tabung gas senilai 3 kg hingga 12 kg? begitulah ancaman dari pihak penyelenggara negara itu sendiri. Memang menjadi kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya bebas dari rasa takut dan menjamin kesejahteraannya. Tetapi arah itu akan menyimpang jika negara itu digerakkan oleh nyamuk penghisap hidup rakyat, sebab di tangannya ada kekuasaan yang membuatnya bebas untuk berbuat apa saja. Ia tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang akan merugikan rakyat demi keamanan diri dan kelompoknya.

Bukankah negara semestinya, meminjam istilah Hegel, menjadi si penjaga kepentingan dan kebaikan bersama? Bukankah menjadi tugas dan kewajiban negara menyediaka rasa aman warga negaranya. Menjauhkan rakyat dari rasa takut dan was-was menjalani kehidupan kesehariannya? Lalu dimana tugas yang satu ini diemban negara? Kenyamanan dan beraktivitas serta terjaminnya kebebasan dari rasa takut merupakan suatu parameter meningkatnya ambang keberadaban tatanan hidup bersama suatu masyarakat.

Negara memiliki kekuatan efektif dalam mengelola dan menata kehidupan warganya.
Atas dasar pemahaman seperti itulah maka “negara wajib melindungi warganya, bukan saja dari praktek kejahatan oleh masyarakat lain, tetapi juga dari praktek kekuasaannya sendiri yang cenderung melanggar hak-hak warga”.

130510

Senin, 15 Maret 2010

Jawa Setelah Tafsir Kebudayaan


judul           : Jawa Setelah tafsir Kebudayan
Penulis        : Agus Rois, Arif Kurrniarahman, Aris Suhariyanto, Eka Suryana Saputra, Ginanjar Tamimi, Kelik Supriyanto, Ryan Sugiarto
 Penyunting : Niam, dkk
 Penerbit     : Komunitas Kembang Merak (K2M), Yogyakarta
Cetakan    : Juni, 2009
Hal            : Xi +150
ISBN         : 978-979-19964-0-2
Harga       : Rp.32.000

Apakah itu Jawa? Barangkali kata ini, Jawa, sanggup menggeledah sibuk hasrat “mereka” hingga berani mengungkapkan sebuah pertanyaan: bagaimanakah cara menaklukkan Jawa? Atau dengan bahasa yang lebih santun: bagaimanakah agar Jawa bisa dimengerti dengan mudah sampai ke serat-seratnya? Boleh jadi inilah seperangkat pertanyaan yang kerap diajukan. Dan orang-orang barat sangat mahir, begitu pandai, sungguh cekatan, amat tangkas dalam menerapkan amsal dominasi tersebut.
Van Zoest dalam Culturstelseel di tahun 1869 lewat karya babbonnya itu menggambarkan suatu zaman keemasan bangsa Hindia Belanda pada abad ke-15 dan ke-16. Masa dimana kolonialisme Belanda belum lagi mengakar. Suku Melayu di Indonesia, seperti tulisnya, “adalah pedagang-pedagang giat, ulet kala di perantauaan. Suku Bugis itu setia serta berjiwa patriotik. Dan Suku Jawa lebih cenderung rajin, berani, menguasai diri, juga sangat mengagungkan pertanian.” Sedangkan Thomas Raffles, bangsawan Inggris yang pernah menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda, dalam karyanya The History of Java, juga ikut mengungkapkan rasa keterpukauannya terhadap Jawa. “Sebuah bangsa yang besar dengan pelaut-pelaut terlatih dan berpengalaman hingga mampu mengarungi samudera luas. Dan berlayar sampai ke Kaap De Goede Hoop dan Madagaskar merupakan nilai lebih tersendiri,” tulis Raffles. Pandangan ini tak jauh berbeda dengan apa yang sudah disinyalir P.J. Veth lewat karyanya Java yang diterbitkan pada tahun 1875. “Bahwa rakyat Jawa,” demikian ungkapnya, “di samping mahir dalam pertanian dan perdagangan. Mereka juga pandai meracik tembaga, ahli mengecor logam dan memahat. Kesemua itu dijalankan dengan semangat harimau!”
Rasanya sah-sah saja, jika kita lantas bertanya atau melakukan sebuah gugatan: apakah penafsiran di atas benar-benar kebal dari hasrat kolonial, sungguh-sungguh imun dari naluri untuk merampok? Atau justru permenungan itu merupakan bagian dari politik memecah-belah, politik divide et impera? Dan lebih jauh lagi adalah mau dicari jawaban dari pertanyaan berikut ini: Apakah komunitas subaltern sanggup berbicara secara lantang “Can The Subaltern Speaks?” dalam sejarah panjang imperialisme/kolonialisme yang terjadi di Jawa? Melampaui itu: mendengarkan intensi yang diberikan Gayatri Chakravorty Spivak dalam salah satu eseinya, yaitu “Question of Multiculturalism.” Tulis Spivak, “bagi saya, pertanyaan siapa mesti berbicara? tidak seberapa krusial dibandingkan siapa yang mau mendengar? Kalau saya akan bicara bagi diri sendiri selaku orang dunia ketiga adalah posisi penting bagi terciptanya mobilisasi politik masa kini. Tetapi tuntutan riilnya adalah ketika saya berbicara dari posisi itu, saya mesti di dengar serius; bukan dengan cara murah hatinya imperialisme.”
Inilah interpretasi-reinterpretasi, permenungan atas kegelisahan, dan suara-suara hening tentang jawa, dengan kacamatannya manusianya sendiri. Membaca jawa bukan oleh “yang liyan”. Tetapi dirinya sendiri.

Perang Tubuh, Melawan Lupa

 Ryan Sugiarto


Judul Buku: Perang Tubuh (Memoar Seornag Difable)
Penulis: Ryan Sugiarto
Penyunting: Aat Hidayat
Penerbit: PIM Jogja
Hal: 147
ISBN: 978-979-026-341-3
Cetakan: 1 2009


Dalam memerangi hambatan fisiknya karena kecacatan, buku ini menerangkan secara jelas dan mendalam tentang pendekatan psikologis bagi orang-orang yang mengalami kecacatan. Karya ini dapat menjadi tambahan bagi perkembangan psikologi difable yang belum  banyak dikupas di Indonesia. Sebuah terobosan  baru dalam bidang Psikologi Indonesia" (Prof. M.Noor Rochman Hadjam, Mantan Dekan Fakultas Psikologi dan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM)

Pada mulanya adalah teriakan-teriakan kecil, ingatan-ingatan yang membayang yang kemudian membuat saya untuk menuliskan perihal kecacatan ini. Seperti halnya sebuah pengalaman, pengalaman yang baik konon adalah pengalaman yang datang dari banyak orang, dan dialami sendiri. Demikian halnya catatan ini adalah dalam upaya berbagi gambaran. Sekaligus sebuah upaya melawan lupa. Dan bukankah ingatan harus selalu dihidupi, agar kita tahu dimana posisi kita? Dan atau juga mau kemana kita?

Perang tubuh, usaha untuk itu semua. Memfasilitas teriakan-teriakan keciil, letupan-letupan ingatan dan sekaligus upaya mengingat. Pengalaman yang saya maksud dalam buku ini pengalaman untuk menyambangi seperti apa alam pikir dan alam rasa orang-orang yang mengalami kecacatan. Bagaimana mereka memandang hidup dan meneruskan kehidupannya, yang senantiasa didampingi kesetiaan dari kecacatan? Setiap manusia, dan juga orang-orang cacat di dalamnya, tentu tidak satu rasa, satu alam pikir, tetapi paling tidak apa yang saya tuliskan dalam buku yang anda baca ini, menjadi satu dari sekian banyak itu.Literasi yang sangat sedikit tentang difable di negeri ini, yang salah satunya mendorong saya untuk menuliskan buku ini. Disamping beberapa kritik terhadap system apapun di masyarakat kita yang senantiasa menomor belakangkan kecacatan, dalam perspektif ini. Rasannya minim literasi semacam ini dari negeri sendiri. Kaualupun toh ada, kebanyakan memandang sebab sebagai muasalnya. Tetapi kita jarang melihatnya sebagai perspektif akibat. Ini salah satu dari yang sedikit itu.

Paling tidak berusaha membagi pandangan bahwa yang berbaju kecacatan adalah sesuatu tdak selalu menjadi objek pertolongan. Objek yang selalu pasif dan menimbulkan keibaan semata. malahan sesungguhnya ada hal besar yang dimiliki tubuh cacat dalam kehidupannya. Energinya tentang hidup jauh lebih besar dari “yang liyan”. Cara bertahan dan menghidupi eksistensi tubuh cacat adalah cara yang masih jauh ingin melampauai kemanusiaan itu sendiri.

Namun ini hanya menjadi penambah bagi cerita-cerita yang perah ada dalam khasanah perbukuan kita. Karena semuannya tak pernah selesai dalam satu buku.

Seorang difable masih berada dalam peri-peri. Meski sesungguhnya, tak bisa disangkah, perannya dalam menciptakan dan berpikir tentang kehidupan bersama tidak dapat disangsikan. Karya ini boleh juga dianggap sebagai gugatan terhadap system kehidupan kita yang sungguh tiran ini, bahkan tidak disadari oleh siapapun. Kondisi social dan bernegara bahkan belum berani menjamin kesetaraan dalam wiyalah ini. Diskursus normal dan tidak normal juga semakin menampar keberadaan difable. Bahkan ilmu pengetahuan yang yang konon mengkondisikan kemanusiaan tak melirik kajian ini.

Inilah bagian yang juga hendak disampaikan dalam catatan ini, sembari mengusulkan sebuah kajian bersama tentang difable. Juga membuka wacana bahwa kecacatan tidak selalu semuram itu. Selalu ada kondisi baik dan membaikkan bagi individu, “penerima” kecacatan. Siapa lagi yang mau bersuara, menyuarakan keganjilan dirinya, menghadapi alam, dan sosial yang bertentangan, jika bukan dirinya sendiri. Selalu ada optimism. Kegairahan hidup, dan kekuatan besar di balik bungkus kecacatan itu. Inilah sedikit representasi itu.

Karya ini lahir dari banyak persinggungan yang mengesankan. Persinggungan kepada teman-teman masa kecil, di sekolahan watubonang II, sekolah menengah pertama, yang pada tahun pertama, ku tempuh jarak 4 km PP dengan jalan kaki.persinggungan dan petualangan yang mengasikkan di Madrasah aliah Negeri Yogyakarta I, persinggungan, perdebatan, dan segala perseteruan masa kuliah.

Terutama untuk temen-teman sepengurusan Balairung, dimana saya berhutang banyak ilmu disana. Pada tahab apa lembaga itu sekarang? Pegiat komunitas kembangmerak, yang mulai merangkak lagi: karya ini adalah bagian dari wacana poskolonial yang tengah kita hidupi, bernyanyi dalam sunyi. Kawan-kawan wisma hasyim asyarie, Karangmalang. Untuk kawan-kawan wisma kamboja, sepetak ruangan di tepi barat pemakaman UGM, beserta seisinya yang nampak dan tidak nampak. Komunitas satu atap yang dengan segala pepujiannya membawa damai dihati, “aku panjatkan segala doa bagi kalian semua”.

Mimpi Besar Bersama


Ryan Sugiarto
Judul Buku: The Power of Dream
Penulis: Ryan Sugiarto
Penerbit: Pinus (interpreebook)
Hal: 143

"Para ibu harus mengajarkan mimpi kepada anak-anaknya, karena mimpi memberikan kesadaran akan arah" (Fatima Mernissi)
Kekaguman kita pada orang-orang-orang besar sering membuat kita menjadi iri. Kutipan-kutipan mereka di koran-koran juga membuat kita merasa merinding. Ungkapan-ungkapan mereka, orasi-orasi dan kata per kata memberikan masyarakat, harapan yang melambungkan hati.
Mereka adalah orang-orang yang mampu melakukan perubahan terhadap dunia, juga lebih-lebih perubahan terhadap diri mereka sendiri. Perubahan bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi pelaku bagi perubahan. Namun, orang-orang tadi telah membuktikan bahwa mereka telah melakukannya. Lebih besar lagi, yang mereka lakukan telah mampu memompa semangat masyarakatnya. Terlepas dari kepentingan wajar, politik, Presiden Amerika Barak Obama, telah membuktikannya. Membuktikan bahwa semua, melalui orasi dan pandangannya, bisa berubah. Andrea Hirata, Novelis akhbar akhir ini telah membuktikan bahwa pengalamannya mampu menginspirasi masyarakat luas. Tidak hanya pembacanya tetapi juga sebuah institusi yang bernama pendidikan di negeri ini.
Kenapa orang-orang seperti mereka mampu melakukannya? Apa yang mereka punyai untuk melakukan itu? Saya mencoba mendefinisikan apa yang mereka alami sebagai sebuah mimpi. Mereka mempunyai mimpi yang telah membawa orang-orang besar mencapai apa yang diinginkannya. “Mimpi adalah separuh dari jalan” konon begitulah ungkapan tentang besarnya mimpi dalam kehidupan kita.
Para pemimpi adalah orang-orang yang mampu mengalahkan dirinya sendiri, dari sebelumnya. Mereka membalikkan kekelaman masa lalu sebagai jalan, melahirkan mimpi besar, untuk mengubah hidupnya dimasa depan. Mereka telah melalui rintangan kehidupan yang tidak mudah. Menjadikan penderitaan atau, dalam ukuran kecil kesusahan hidup, menjadi pemicu perubahan yang bisa diarasakan semua umat.
Inilah kajian tentang mimpi. Tepatnya tentang bagaimana cara mimpi menggerakkan dunia. Tentang mimpi yang menginspirasi, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga perubahan besar dalam satu bangsa, bahkan dunia yang lebih besar. Ini kajian tentang sesuatu yang kita maknai secara baru. Mimpi, dalam buku ini tidak lagi sebagai bunga tidur, ataupun angan-angan khayalan. Kajian mimpi yang akan Anda baca dalam buku ini adalah mimpi yang akan membawa Anda pada kesadaran tentang hari depan yang lebih baik.Sebuah kajian baru yang harusnya menjadi bagian dari psikologi positif,  mengkaji bagaimana sebuah ilmu tidak hanya meneliti penderitaan dan menyembuhkannya [seperti kajian ilmu psikologi konservatif].
Buku ini ingin mengajak kita semua, Anda, saya untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana dunia berubah. Oleh apa ia berubah, dengan cara apa ia berubah, dan siapa saja pembawa perubahan itu. Mengajak Anda berkeliling menemui mereka yang telah besar dengan mimpi-mimpi mereka, sembari menghidupi mimpi pribadi yang besar dan membesarkan masyarakat kita.  Mimpi-mimpi besar tentang sebuah komunitas bersama.
Buku ini juga mengajak kita semua untuk melihat bagaimana mimpi mampu menginspirasi kita semua untuk bergerak. Bagaimana makna mimpi ini yang sesungguhnya, bagaimana cara kerja manusia menciptakan dan menghasilkan mimpi-mimpi besar dalam hidupnya, bukan dalam ketidurannya, ketidaksadarannya.  Sembari menyandingkan pengetahuan kita lebih dalam tentang konsep-konsep pengertian kebahagiaan, penderitaan, dari tokoh-tokoh filsafat dan psikologi. Tentu tidak lupa dengan  kisah-kisan inspiratif yang membawa kita untuk bertindak yang sama. Meski dengan cara yang berbeda.

Rabu, 10 Maret 2010

Berlomba Menulis Buku

Ryan Sugiarto

Seorang senior dari persma kampus, kini bekerja di media nasional, melontarkan pertanyaan yang asik dan sekaligus menggugah pikir saya. “ Apa yang menggerakkan teman-teman sekarang ini seperti berlomba menulis buku? Fenomena ini dulu tidak ada”

Saya merasa perlu memahami benar pertanyaan asyik ini. Dan lalu dengan retoris mengatakan : “Saya nggak tahu persis ya mas, tapi barangkali karena tanggungjawab intelektual , sebagai alasan pertama-tama. Buku kan anak sah dari intelektual. Tetapi bukankah menulis bisa dilakukan kapanpun dan oleh siapapun. Wartawan, pengusaha, dll bisa menulis. Apalagi mereka yang menjatuhkan pilihan hidupnyanya untuk menjadi penulis. “

Layarnya mati. Tak berapa lama ia mengirim teksnya kembali.

“Ok. Maaf bergeser ruangan. Perbincangan yang menarik nanti dilanjutkan” dia meninggalkan ruang percakapan. Mungkin diburu rapat redaksi atau apa saya tidak tahu. Ia meninggalkan ruang perbincangan dengan memberi perenungan yang besar juga saya kira. Ya, beberapa teman keluaran B21 sekarang lebih banyak yang menjadi penulis, atau menulis. Fenomena ini memang menarik, tapi juga belum ketemukan jawaban yang memadai. Pegiat era awal 90an, terobsesi menjadi wartawan, jurnalis. Berbeda dengan pegiat akhir 90an atau awal 2000an. Muncul nama-nama yang tercetak dalam buku. Tidak sedikit jumlahnya.

Apa yang menggerakkan ini? Selain motif intelektual, hidup dari buku bisa jadi alasan juga kan? Atau membesarkan nama dari buku? Tentu jalan yang agak lempang untuk kesana, membesarkan nama, paling tidak dikenal sebagai penulis oleh mereka yang mengetahui dan membaca bukunya. Tetapi diluar itu semua, semangat ini tentu menggembirakan. Menulis dan mengetahui banyak orang ramai-ramai menjadi penulis, membuat buku, memberikan warna bagi dunia bukan?sekaligus meninggalkan warisan kelak. Bukankah manusia mati meninggalkan nama?

Bekasi, 10 Maret 2010

Penulis dan/atau Editor

Ryan Sugiarto

Seorang staff perekrut dari sebuah penerbitan terkemuka, dalam sebuah perbincangan di pameran buku, sempat bertanya begini: “Anda lebih suka menjadi penulis atau editor. Fokusnya dimana? Beda jauh loh mas,” Katanya . Saya agak lama memikirkan jawaban ini. Lalu saya balik bertanya: “Benarkah berbeda jauh antara profesi penulis dan editor? “

Perbincangan yang saya peroleh sewaktu menjadi mahasiswa. Seorang penulis adalah (seharusnya) sekaligus editor itu sendiri. Bukankah seharusnya demikian? Menulis bukan saja sebuah seni menuangkan pikiran menjadi catatan untuk dibaca, tetapi menulis juga sebagai profesi yang membutuhkan ketelitian dalam berbahasa, bertutur kata, tata tulis, dan lain-lain dalam kaitannya dengan praktik berbahasa. Barangkali yang paling membedakan adalah insting pasar. Editor tentu akan lebih mengedepankan insting pasar dari sebuah karya yang ditulis oleh penulis. Lagi-lagi ini adalah cara mengeruk kapital dari tulisan itu sendiri. Sedangkan penulis, dari pengamatan saya yang pendek ini tidak melulu memikirkan berapa yang akan didapat dari tulisannya, atau bukunya. Penulis-penulis besar, kalau tidak keliru, ketika pertama kali mengusulkan naskahnya ke penerbit tidak digelayuti pikiran dan tujuan besar menghasilkan uang. Dalam sejarah, saya kira penulis-penulis besar dikemudian hari, menerjukkan tulisannya bukan semata-mata alasan uang. Tetapi keberbagian, dan barangkali keabadian pikirannya.

Di luar urusan duit itu saya kira, tidak ada yang mencolok, kalau tidak mau disebut tidak ada beda antara penulis dan editor. Seorang penulis adalah sekaligus editor itu sendiri, bahkan pada saat yang sama bisa bertindak sebagai pembaca sekaligus.
Seorang editor, mempunyai insting pemasar. Insting ini akan menentukan mana yang laku di pasar dan mana yang terdampar dari pasar pembaca. Saya kira tidak jauh beda dengan penulis yang mencari hidup dari buku. Penulis-penulis bentukan pasar tentu juga berpikir ala editor juga kan? Jadi sepemahaman saya tidak ada bedanya antara penulis dan editor.

Begitu jawabku kepada staff tersebut. Lalu dia berpikir, dan hingga kini belum memberikan sanggahan padaku.

Bekasi, 10 Maret 2010