Minggu, 28 September 2008

Kembali “Udik”

Ryan Sugiarto



Untuk kali pertama, aku akan merasakan mudik. Sebuah tradisi purba yang dasyat. Bayangkan saja, para perantau dari satu dan dua titik berbondong-bondong menyebar ke berbagai daerah. Muasalnnya. Dasyatnya karena melalu jalur-jalur yang sama.


Barangkali ini adalah satu dari sedikit peristiwa besar dunia. Setelah ibadah haji. Bedannya ibadah haji dari penjuru menuju satu. Dan mudik dari beberapa menuju penjuru.


Ratusan ribu orang-orang urban akan kembali ke daerahnya. Desa. Udik. Tak ku tahu secara pasti terserap dari bahasa apa udik-mudik ini. Tetapi artinya barangkali menuju asal. Udik cenderung, dalam bahasa dianggap tak modern. Ndesolah.


Jadi pada dasarnya mudik adalah kembali keasal. Mengingat sebuah kenangan. Yang tentu bisa jadi udik pada jamannya.


Inilah saat dimana orang-orang urbang yang menjadi warga kota, mengingat asal usulnya. Menjadi udik kembali. Melepaskan atrubut kekotaan dan menyebar baur bersama warga asal yang setia dengan daerahnya.


Atau bisa jadi malah sebaliknya. Orang-orang urban yang merasa kota, mengkota, menjadikan ajang mudik sebagai panggung bagi mereka. Sebagai catwalk atas perubahan tubuhn yang didapatnya di kota. Inilah ajang pamer paling dasyat dan masal. Bagi mereka yang ingin melakukannya.dan saya pikir itu telah lepas dari esensi mudik. aah...


Kali pertama juga, barangkali akan mersakan kemacetan yang luar biasa, keletihan yang luarbiasa berbalut rasa nggumun. Laiknya orang baru mengerti dan melihat berbondong orang menuju asalnya. Dan kali pertama pula, menandatangani prosesi mudik yang sebagaimana dirasakan orang-orang urbang pada umumnya. Mudik dari jarah yang begitu jauh, mungkin.


Karenannya semoga keselamatan berlimpah pada kita semua, kaum pemudik. Yang ingin kembali menemu dunia asal, dunia ia bermula. Amin. []


[190908]


Sebuah Ketundukan

Ryan Sugiarto


Proses meminta adalah pertanda kelemahan sebuah makhluk. Sekaligus sebagai tanda sebuah ketundukan. Ketundukan yang sungguh.


Sikap menghamba yang sesungguhnya adalah ketundukan pada yang maha satu. Pun kepasrahan hidup dari ketundukan menghasilkan diri yang senantiasa ingin bersetubuh dengan tuhannnya.


Ia tak tergambar dalam posisi horisontal. Namun pada kelandaian dengan kemiringan 45 derajat. Gusti yang di singgah sana kebesarannya. Dalan Al Arsy-nya. Dan hamba dalam tanah yang tertunduk membentuk sujud. Angka 45 derajat.


Ketundukan senantiasa penuh harap. Harapan untuk dikasihi, harapan untuk tetap disayang. Dan harapan akan kelimpahan segala-galannya yang datang dari tangan-tangan gustinya.


Ketundukan adalah sikap sopan dan terimakasih. Atas sebuah kesederhanaan yang terberi. Posisi yang senantiasa datang pada sifat seorang hamba.


“tunduklah padaku setunduk-tunduknya. Dan akan kami beri kalian kelimpahan.” Demikian tuhan berfirman. Tidak dalam posisi meminta, apa lagi tawar menawar. Tetapi posisi yang datar searah dengan memerintah.


Ketundukan adalah posisi paling abdi yang dimiliki oleh manusia. Meski pada kenyataannya, ia beringkust dan beralih muka.


Gusti maha tahu,hati setiap yang tertunduk ke hadapannya. Tanpa demontrasi dan atraksi. []

[180908]

Memiliki kehilangan (adapted)

Ryan Sugiarto


Konon kita baru merasa mencintai begitu besar jika kehilangan. Kita tak pernah mengira bahwa sesuatu akan sirna. Dan tepat disana, ketika sesuatu yang sirna itu adalah sesuatu yang sesungguhnnya milik kita yang paling berharga.


Kita telah memiliki kehilangan. Seorang teman kantor, senior, sebut saja demikian, mengatakan: jaga dan sayangi kedua orang tuamu. Sesungguhnya kita akan sangat kehilangan besar atas ketiadaan mereka”.


Kehilangan mereka adalah, kehilangan cahaya. Orang tua adalah cahaya. Jangan biarkan mereka redup dalam hidup. Cerahkanlah wajah mereka dengan kebanggan.


Seperti umumnya yang waras pikirnya, tak mau kehilangan orang tua,kan? Tidak mau memiliki kehilangan.


Rasa kehilangan hanya akan ada//Jika kau tenang, merasa memilikinya(letto).[]

[180908]

Sudut Pandang adalah Kemewahan Disaat Kepala Diterpa Kebingungan

Ryan Sugiarto


Bukankan memang begitu. Sudut pandang itu adalah sebuah kemewahan, ketika kita dihadapkan pada kebingungan masal. Dan kebimbangan hati.


Rasannya tak semua orang mampu memilih sudut pandang dalam memandang segala sesuatu dengan benar. Tentu sebuah sudut pandang yang cerdas. Yang begitu mewah. Ada banyak sudut pandang yang ada dalam kepala, tapi tidak sebagai kemewahan. Karena ia tak menawarkan kecerdasan dalam bertindak.


Dalam bahasa jurnalisme, pengambilan sudut pandang adalah sesuatu yang multak dimiliki penulisnya. Dan itulah yang mencirikan media yang satu dengan media yang lainnya. Wartawan yang satu dengan wartawan yang lainnya.


Dan memang sudut pandang yang berbeda, menjadi sukar ditemukan ketika satu masalah diblejeti banyak orang. Pada titik itu, sudut pandang lain adalah sebuah kemewahan bukan?


Lalu bagaimana cara memperoleh kemewahan sudut pandang itu? []


[190908]

Menggeliatlah pada Setiap Fase Hidup

Ryan Sugiarto


Setiap prestasi itu menghadapkan kita berunjuk pada setiap fase kerja. Karena hanya dengan demikian ia akan memperoleh pengakuan. Apapun pekerjaannya ia membutuhkan. Pengunjuk dirian untuk sebuah pengakuan. Itu saja.


Prestasi karena kita untuk “gigi”, unjuk kerja, unjuk kemampuan. Dan selalu demikian dalam setiap penilaian dalam hal-hal kinerja. Tak kecuali seorang sastrawan yang bekerja pada diri sendiri. Penulis yang bahkan tanpa institusi. Mereka mengunjukkan diri melalui hasil karyanya. Sastra dan buku.


Dan pada fase-fase tersebut, selalu ada tuntutan peningkatan dair dalam diri. Dan tentu saja juga dari dalam institusi. Karena hanya dengan melakukan hal yang demikian ia bisa mendapat pengakuan. Sebuan tanda.


Dan jika demikian,bisa ditarik bahwa setiap fase hidup orang membutuhkan pengakuan. Dengan hanya menggeliatkan diri, unjuk diri akan diperoleh pengakuan.[]


[170908]

Manusia Pasca putus Cinta

Ryan Sugiarto

Menulusurii sms-demi sms lampau, kutemukan satu istilah menerik dari seorang kawan yang nyaris filosof.

Ketika kutanya, sebuah pertanyaan yang sebenarnya paling tidak boleh diutarakan,: sudah luluskah? Ia dengan semangat berjawab: lulus, lulus dari jeratan si wati dan Jeni. Manusia pasca putus cinta. Begitu jawabnya.

Menariknya ungkapan itu adalah pelabelan yang senantiasa berawal dari diskursus-diskursus yang menguras energi untuk menulisnya. Pelabelan yang sekarang digunakan pada kata, yang sebagian orang dianggap paling akrab ditelinga manusia, yang laing mudah dicerna, yaitu cinta.

Kombinasi yang sederhana dan agak rumit. Manusia pasca putus cinta.

Terlepas dari bagaimana seorang kawan tari rengkontruski bahasa psikologisnya dan menelorkan istilah manusia pasca putus cinta, sesungguhnya ia terbebas. Terbebas dari cinta yang selalu menuntut. Menuntut untuk mengejar, dan seolah-olah sangat membutuhkan.

Tak usahlah membahasa apa itu cinta dan bagaimana peran psikologi cinta dalan hidup manusia. Tetapi mencermati manusia putus cinta, hanya ada dua jalan yang membedakanya. Mengalami lumpuh layu dan menganggap hidup tak berjalan tanpa dia. Kedua, menganggap memperoleh hidup baru, kesempatan baru untuk memulai hal baru. Tanpa terbebani tuntutan-tuntutan perasaan untuk mengejar atau dikejar.

Manusia pasca putus cinta adalah manusia yang merdeka. Seyogyanya. Merdeka dari kelemahan yang mendera ditiap malam. Terlepas dari ingatan yang menjerat. Dan terbebas lekas dari romantisme manusia. Meski bisa dikenang keindahan dan kesakitannta. Manusia pasca putus cinta adalah manusia baru dengan bekal baru.dan tentu langkah baru.

Menjadi kiai atau pendeta suci.[]

[180908]

Dimana Letak Kemajuan Bangsa ini?

Ryan Sugiarto


Bu muslimah, seorang guru taladan yang digambarkan Andea Hirata dalam laskar pelangi, dalam acara talkshow kick andi berucap” lalu dimana letak kemajuan bangsa ini?” tanyanya ringan. Pertanyaan tanpa menuntut.

Pertanyaan itu dilontarkan bu Muslimah setelah melihat dalam tayangan layar bahwa pada tahun ini pula masih ada sekolah yang bertapkan rumbai dan dinding-dinding kayu yang lapuk dimakan tanah.

Sepatutnya memang kita bertanya, meski tak bisa menadingi rasa penasaran bu muslimah: dimana letak kemajuan bangsa ini? Dari dulu hingga sekarang masih ada saja sekolah yang reyot. Masih ada saja daerah yang tak ada sekolah sekalipun. Dimana?

Tak perlu membuka mata untuk sekedar melihat kondisi rill ini ada. Tak perlu suara keras untuk bisa terdengar kondisi ini memang ada.

Meski ada bu muslimah lain yang menganggap demikian banyak pendidikan yang seadannya, ia telah tersuarakan oleh anak muridnya yang juga mencintai pendidikan.[]

[190908]

Ryan Sugiarto


Bu muslimah, seorang guru taladan yang digambarkan Andea Hirata dalam laskar pelangi, dalam acara talkshow kick andi berucap” lalu dimana letak kemajuan bangsa ini?” tanyanya ringan. Pertanyaan tanpa menuntut.

Pertanyaan itu dilontarkan bu Muslimah setelah melihat dalam tayangan layar bahwa pada tahun ini pula masih ada sekolah yang bertapkan rumbai dan dinding-dinding kayu yang lapuk dimakan tanah.

Sepatutnya memang kita bertanya, meski tak bisa menadingi rasa penasaran bu muslimah: dimana letak kemajuan bangsa ini? Dari dulu hingga sekarang masih ada saja sekolah yang reyot. Masih ada saja daerah yang tak ada sekolah sekalipun. Dimana?

Tak perlu membuka mata untuk sekedar melihat kondisi rill ini ada. Tak perlu suara keras untuk bisa terdengar kondisi ini memang ada.

Meski ada bu muslimah lain yang menganggap demikian banyak pendidikan yang seadannya, ia telah tersuarakan oleh anak muridnya yang juga mencintai pendidikan.[]

[190908]