Sabtu, 28 November 2009

Lembaga Rekayasa

Ryan Sugiarto

Tiga kejut kita terima dari keadaan hukum dan keadilan negeri ini. Pertama, kasus pemerkaraan ketua non aktif, Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, yang di jerat dengan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan. Kedua, rekaman hasil sadapan KPk terhadap anggodo yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi. Ketiga, pengakuan atau kesaksian mantan kapolres Wliiardi WIzar tentang kasus pembunuhan yang menerdakwakan Antasari, mantakn ketua KPK yang menyatakan bahwa antasari adalah target dari operasi kepolisian.

Apa artinya ini? Logika awam saya mengatakan, bahwa kriminalisasi KPK benar-benar ada dan sedang berlangsung. Kriminalisasi ini melibatkan pelaku utama adalah oknum polri. Dan tentu ada kekuatan besar yang berada dibelakang polri. Kenapa? Rangkaian kasus yang terbeber dalam media ini saya kira bentuk dari kekuatan besar yang tengah berusaha melemahkan kekuatan pemberantasan korupsi.

Saya kira terlalu kecil untuk melihat bahwa perseteruan, antara Polisi + kejaksaan Vs KPK, judul terkenalnya Cicak Vs Buaya, karena keirian kewenangan dua lembaga ini. Keirian tentang keberhasilan kerja KPK. Tetapi, bukan tidak mungkin, ada kekuatan besar yang mendesain kondisi semacam ini. Bahwa oknum polri, menjadi bagian utama dari pelemahan pemberantasan korupsi yang ada di tubuh KPK sudah telanjang didepan mata publik.

Lalu bagaimana runtutan kejadianya? Pertama tentu dengan menghantam ketua pimpinan KPK. Oknum polri terlebih dahulu mengahntam Antasari Azhar, ketua KPK, dengan kasus pembunuhan. Kasus ini jauh dari gegap geimpita perhatian rakyat karena memang semula dianggap sebagai urusan atau pidana pribadi. Apalagi dibumbui dengan kisah cinta. Lalu berhasilah Antasari di penjara, dengan status terdakwa. Berkuranglah kekuatan KPK. Sebagaimana kita tahu, paling tidak, Antasari pada masa kejayaannya adalah sosok yang mengerikan bagi para koruptor dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Selanjutnya, empat orang tentu masih terlalu kuat. Lalu di buatlah cara bagaimana menjerat langsung pimpinan lainnya. Bibit S. Riyatnto dan candra M hamzah, mendapat ilirannya, dijerat dengan kasus awal penyalahgunaan wewenangan. Inilah yang kemudian membuat gembar rasa keadilan publik kita. Keduanya di tersangkakan oleh polisi karena cara kerja mereka yang sudah dilakukan semenjak KPK ada, menyalahi wewenang. Polisi terkesan mencari-cari bukti dan mengada-adakannya, agar keduanya bisa di pidanakan.

Perlu diingat bahwa candra dan bibit, sedang menangani kasus century yang melibatkan inti kekuasaan negara, termasuk oknum yang bercokol polri. Karena itu mereka berdua perlu disingkirkan dari kedudukannya. Yakni dengan jalan, minimal, menjadikan keduanya sebagai terdakwa. KPK pun dianggap limbung oleh bagian politik hingga presiden merasa perlu mengeluarkan perpu tentang pengangkatan pejabat sementara.

Namun keduanya tidak menerima dengan status tersangaka, karena mereka bekerja sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Maka mereka mengajukan uji materi UU KPK 30/2002 bahwa pasal tersebut bisa dijatuhkan pekada pimpinan KPK, siapapun, oleh sebuah rekayasa. MK meminta bukti . Lalu diperdengarkalah rekaman penyadapan KPK terhadap anggodo.

Pemutaran rekaman inilah kejut berikutnya. Seluruh rakyat indonesai dibuat tercengang, prihatin , dan mengutuk pejabat-pejabta busuk, sekaligus malu menjadi warga bangsa yang ditipu oleh pejabatnya sendiri. Rekaman menggambarkan dengan jelas mafia peradilan yang selama ini hanya selentingan semata. semakin menyayat public bahwa polisi tidak menindaklajuti rekaman tersebut. Bahkan membela diri dari keinginan rakyat, dengan alasan menjalankan hokum mormatifnya. Dalam rekaman lagi-lagi, ada oknum kepolisian dan kejaksaan yang tersangkut dalam mafia hukum, merekayasa. Tentu initamparankeras bagi wajah penegak hukun negeri ini. Meskipun begitu mereka tidak malu untuk tetap mendekap jabatannya. Apalagi anggota komisi III memihak apa yang dlakukan Polisi.

Inilah yang semakin membuat public perlu mengutarakan kegelisahannya ke jalan-jalan. Mengutarakan kekecewaannya dalam media onlie, membuat parlemen online. Menggunakan parlemen jalanan dan parlemen online, karena parlemen yang dipilih atas nama rakyat, yang menikmati dana rakyat, mbalelo dari suara dan keinginan rakyatnya.

Lembaga Rekayasa

Kita menyaksikan, dalam panggung hukum negeri ini, betapa mudah sebuah kejadian bisa direkayasa. Kasus Bibit dan candra, selama ini adalah rekayasa yang dilakukan oleh oknum polri untuk melemmahkan KPK. Reaman Anggodo yang di putar di MK itu adalah bukti nyata bagaimana oknum penegak hokum berkolaborasi dengan penguasaha, koruptor. Lalu kita juga disuguhi oleh pengakuan Williardi Wizar, yang menyatakan bahwa kasus Antasari adalah hasil dari pengkondisian petinggi polri, pimpinan polri.
Kita patut prihatin sedalam-dalamnya dengan adanya petunjuk perekayasaan terhadap pimpinan-pimpinan KPK ini. Dan oknum-oknum polisi itu telah menggunakan lembaga keloplisian yang terhormat ini menjadi lembaga rekayasa kasus. Bahkan terhadap lembaga yang ditugasi memberantas korupsi.

Rekaman di MK dan kesaksian williardi di pengadilan, adalah gambaran bagaimana kode etik kepolisian sudah diinjak-injak oleh aparaturnya sendiri. Menekan, membujuk, dan mengiming-imingi keringan adala modus yang dilakukan, selain tentu saja uang.
Jika lembaga penegak hokum seperti ini, perteterusnya lalu kemana warga negara mengadu tentang hukum dan keadilan, jika yang mengisi lembaga penegak hukum dan keadilan justru banyak oknum yang bisa membolak-balikkan rasa keadilan, dan aturanya sendiri. Yang memperdagangkan hokum dilembaganya. Jawabanya saya kira hanya satu, lakukan reformasi total.

Rabu, 28 Oktober 2009

Kearifan dari tepi Stasiun Pasar Senen

Ryan Sugiarto

Inilah kearifan dari seorang lelaki tua, pejualan vocer grosiran, di tepi stasiun Pasar Senen. “bangsa ini tidak maju-maju, karena pemimpinnya tak punya visi kedepan,” begitulah kalimat itu terluncur dai lelaki 70an tahun ini, sembari menyedot gudang garam dalam-dalam. Menurutnya, Negara ini tidak mempunyai pemimpin yang bisa mengatur sebuah Negara.

Hal yang sangat dekat dengan saya, misalnnya, kereta yang saban hari saya haus bergaul dengannya, selalu mengalami keterlambatan. Seperti ii sering terjadi, katannya lebih lanjut. Ini salah stu bukti bahwa kitapun tak kusa menguasai ilmu merawat kereta, maintenance kereta. Entah apa yang dikoar-korarkan mereka yang nyaleg itu. Seoalah merea punya kemapuan menyelesaikan permasalahan kita seperti ini.

“dan siapapun presidennya nanti tak akan mampu menyelesaikan konndisi kebangsan seperti ini. Kita ini bangsa yang gemar menyombongkan diri,” katannya.

“Pernah dengar guyonan satir seperti ini?

“Sebuah perlombaan penembak jitu sesame tentara

“Tentara asal amerika meninta sebuah semangka untuk menjai sasaran tembaknnya. Diletakkan semangka itu diatas ubun-ubuh salah salah satu tentara lainnya. Dibidiknnya,” kata lelaki tua ini sembara mengarahkan tangan kakanya, dengan jari-jari menyerupai huurf L berdiri, “DOOR…tembuslah semangak itu, tak meleset sedikitpun,” katannya.

Tentara Amerika ini lalu berteriak “I am a Rambo.”

Tentara kedua, berkebangsaan Inggris. Lelaki tua mengulangi gerak tangan dan jarinnya, kali ini diikuti dengan memicingkan mata kanannya. Lanjutnya, “saya bisa melakukannya bahkan pada buah yang lebih kecil. Dipilhlah oleh tentara itu apel, dan diletakkan di kepa tentara yang tadi.”

“Door..!!”

“Lihat,” kata bapak tua ini sembara berkcak pinggang disela duduknya diatas sandal jepitnnya yang lusuh.

“I am a james Bond,” begitu kata tentara inggris, yang ditirrukan sang bapak.
Dan, unjuklah seorang tentara dari Indonesia.

“hei..jangan sombong dulu, saya akan pilih buah yang lebih kecil dari kalian,” kata sang tentara, “duku”

Diletakkanlah sebutir duku diatas kepala tentara sukarelawan tadi.
“Dooor…!!!”

“See…I am Sorry” begitu pak tua ini terkekeh menirukan ucapan tentara penembak dari Indonesia yang telah berhasil menewaskan tentara sukarelawan.

“Betapa kita ini begitu menyombong akan ketidak mampuan kita,” tukasnnya.
“Sepertinya kita patut meminjam orang luar untuk menjadi presiden kita. Seperti Fujimori yang berhasil mengelola jepang. “ lanjut laki-laki tua lulusan STM ini sembari menghitung lagi jumlah voucernya.

Dalam sudut-sudut seperti inilah tersimpan kearifan dan kkecerdasan, dari pemikir udik. Keluasan pikiran dan kesederhanaa pikir. Pikiran sebagai sebuah bangsa.

[010309]

Senin, 13 Juli 2009

Wakil Politik

Ryan Sugiarto

Tidak ada, selain waktu menginginkan suara gambar para politisi dan partai dengan sengaja menempel pada gerobak sampah para pemungut. Tak ada selain maasa kampannya, wajah paras orang-orang kaya dan gede menempel pada pagar bamboo yang hamper roboh di sudut-sudut desa. Juga, tak ada selain waktu menjelang pemilu, manusia-manusia yang ingin menjadi wakil menyambangi barak-brak kumuh, sudut-sudut rawan penyakit.

Sekali lagi itu semuanya hanya pada masa ketika suara satu orang saja dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi wakit. Bukan menjadi orang mewakilkan. Bukankah orang yang mewakilkan seharusnnya menjadi nomor satu? Dan wakil menjadi orang nomor dua setelah yang mewakilkna? Tetapi memang menjadi wakil dalam bidang politik ini sebih terhormat, dimata mereka, ketimbang orang nomor satu itu sendiri

Tapi memang begitulah cara kerja politik. Yang menjadi wakil malah lebih berkuasidari yang mewakilkan. Lebih enak dari yang member perwakilan, menjadi lebih mentereng dari yang sebenarnnya tak minta diwakili. Tapi toh wakil dalam politik lebih segela-galannya dari pada rakyat sendiri.

Nah, setelah mereka benar-benar dipilih oleh rakyat untuk mewakilinnya, sangat kecil kemungkinan mereka mengerti tentang apa yang seharusnnya diwakilkan. Siapa yang mewakilkannya, dan untuk apa sesungguhnya mereka menjadi wakil

Lalu, mereka tak akan sudi mejenguk para pemungut sampah yang dahulu digerobannya wajah penccari posisi wakil ini menempel dan berkibar. Mereka tak akan menyambangi, sudut-sudut dimana bendera dan paras wajah menempel dip agar-pagar bambudi sudut desa

[270109]

bahasa dan kekuasaan

Ryan Sugiarto

setelah sekian banyak bahasa ibu sayup-sayup terdengar dan kemudian tenggelam untuk hilang, muncul bahasa yang berkuasa. ia dinamakan dengan bahasa internasional, dimana semua oang yang berkeinginan kemana-mana tanpa kendala, ia harus menguasainya.

bahasa yang berkuasa itulah yang dinamakan sebagai bahasa dunia. dan dewasa. ada beberapa bahsa dunia yang mulai menunjukkan kuasannya. bahasa Inggris (inggris, amerika, singapur), perancis, dan kemudian bahasa cina. bahasa inilah yang kian hari penuturnya kian banyak.

kenapa bahasa berkuasa? karena bahasa sudah menempatkan diri pada bagian yang menentukan apa dan bagaimana penuturnya bisa diterima lebih luas. yang berbahasa inggris fasih akan lebih mudah bergaul dengan dunia di belahan lain, dalam aspek apapun. termasuk Cina, yang mulai menjadi bahasa bisnis,oleh karena perekonomian cina yang tumbuh peast dan mulai merangsek ke berbagai penjuru dunia. para penutur bahasa di luar ketiga bahasa itu kemudain berlomba-lomba menguasainya untuk mendekatkan diri dengan pemilik imperium bisnis yang menuturkan basahasa tesebut.
dalam pergaulan, yang menguasai bahasa internasional ini yang mendpat kesempatan untuk apa yang diinginkan. tidak di dunia bisns, dunia pariwisata, atau pun dunia akademik, semuanya menengadahkan wajahnya, mengarahkan wajahnya menuju kekuasaan bahasa ini.

perkembangan ini didukung oleh penguasa negra yang membekali waganya saja dengan bahasa internasional, tetapi mengabaikan bahasa lokal. negara melupakan dan menutup mata bahwa ada sebagian besar bahsa ibu di bagian negerannya mengalami kepunahan penuturnya. dan ia tak membuat kebijaka apapau tentang kondisi bahasa yang seperti ini.

maka lengkaplah sudah yang bernama kekuasaan itu. dari sisi manapun. semunya begerak kearah pusat. sementara yang peri-peri kembang kempis memakali delima. hayut dan atau mempertahankan.

seorang tua berkata: bukankan akan lebih baik jika keduannya kita rengkuhi. menguasai bahsa yang berkuasa atas dunia tiu, sembari mengayoni, nguri-uri bahasa ibu kita. membincangkahnya dengan anak cucu untuk nguri-uri bahasa itu.
keduannya bisa dilakukan dengan kegembiraan dan kemanfaatan masing-masing.semoga.


[270609]

Semangat Kehidupan

Ryan Sugiarto

Pernahkan kita bertanya kenapa setiap merayakan ulang tahun, manusia modern mengunakan simbol meniup lilin? Apa arti semua itu bagi sebuah perayaan ulang tahun? Atau apa makna petanda itu? Apa makna simbolisasi lilin yang menyala itu? Atau apa maksa perilaku meniup lilin itu bagi sebuah peringatan?

Bukankah lilin berarpi itu adalah tanda dari sebuah kehiduoan? Api adalah cahaya, dan ia tanda dalam sebuah kehidupan yang dimulai. Pada alam ini. Setiap orok bayi yang baru lahir merasakan adannya dunia yang terang, meski dengan suasa baru, ia kini memempati dunia terang. Salah satunnya ditandai dengan matahari, bergerak kepada api, dan lokomotif lampu hingga sekarang ini.

Seoarang teman dulu pernah mencari-cari sebatang korek api untuk menyalakan rokonya. Ia tidak menemukannya dan berkata “korek api saja kalian tak punya, bagaimana menerangi dunia. Mencerahkan manusia?” barangkali guyonan teman itu ada benarnya juga. Kira-kira begitu simbol api ini dari sudut pandang sebuah kearifan.

Lalu kenapa dalam perayaan ualangtahun tadi, kita mematikan lilin yang berapi ini? Apakah tidak sama artinnya dengan mematikan semangat kehidupan? Meredam kehidupan yang akan segra dilanjutkan lagi setelah detik-detik perayaan berlangsung. “atau apa yang akan dipadamkan dengan simbol api ini? Kita perlu cari tahu, minimal kita punya dasar dari setiap perayaan dengan simbol itu.

[050309]

Selasa, 02 Juni 2009

Kebudayaan dan Kekuasaan

Ryan Sugiarto

kesadaran tentang kebudayaan, dalam peta perkembangan tanah air tenggelam dalam bingkai politik kekuasaan. kebudayaan terbawa arus kekuasaan. kira-kira begitu yang terjadi dalam perbincangan kebudayaan dan kepresidenan lalu. bahkan dalam kampanye-kampanyepun, tak luput dari tim "kebudayaan".

yang kita lihat betapa GM, begitu munduk-munduk dihadapan pasangan SBY-Boediono. begitu yang ditulisnya dalam orasi kebudayaannya saat deklarasi pencalonan itu. juga ia tulis pula dalam catatan pinggir, bahkan sampai dua edisi terakhir.

Lain dengan GM yang munduk-munduk, Penyair Burung Merak, WS Rendra lebih elegan. dalam pembacaan puisinya saat deklasrasi Mega prabowo, Rendra mengatakan " saya bukan orang partisan, tapi tidak mendukung salah satu partai. tapi saya mendukung pemerintahan yang tidak tunduk pada kepentingan asing," begitu katanya lantang.
kekuasaan dan kebudayaan memang selingkuhan yang abadi. yang berkuasa mampu menggerakan kemana kebudayaan akan diarahkan. yang berkuasa membangun kantung-kantung kebudayaan dan menggelontorkan dana ke sana.

dan orang-orang yang bergerak dalam kebudayaan selalu berlari keketiak orang-orang yang berkuasa, biasanya untuk sebuah dana. keduanya berkepentingan saling langgeng melanggengkan.

Karawaci, 2 Juni 2009

Sosialisme Jawa

Ryan Sugiarto

Persinggahan saya di B21, minggu (31/5) lalu tak bersia-sia. Bermaksud menemui Lebak membara, ternyata masih menyepi di kaki merapi. Sebuah ihtiar dari berharap menuntasparipurnakan langkah awal proyek jawa ini.

Tetapi menjelang gelap, datang pesaing dekatnya. Dr.Purwadi. Dosen fakultas Sastra UNY, Rektor Isbuja (masih ada ga Pak?)

Maka seperti bisaa, belia langsung ndalang. Dan tak tanggung-tanggung lakon yang diwicarakannya adalah tentang sosialisme jawa. Apa itu? Itu sebenarnya lontaran terakhir darinya ketika penulis akan beranjak dari B21 menuju station Yogyakarta. “Yo disangoni no,” tutur kang fatur.

Dan Dr.Purwadi segara beranjak dan merogoh kantung baju batiknya lalu menyertakan dua lembar uang kertas warna merah. “nggo sarat” “anggepen sosialisme jawa”. Begitulah ia nyangoni saya.

Beberapa menit sebelumnya kami berbincang tentang kesadaran yang selalu menjadi masalah dalam butuh bangsa ini. Tak hanya para pelaku pemerintahan, bahkan juga para pelaku akademik. Seminar-seminar yang tak berkelanjutan, yang hanya berhenti pada makalah dan klipin semata adalah korupsi uang Negara. Uang itu mengalir dari lembaga-lembaga Negara yang pos kegiatannya tidak ada. Maka pejabat-pejabat negara itu mencari aliran “got” untuk mengalirkan uangnya melaui sponsor kegiatan-kegiatan akademik, seminar, konggres, dan lainnya. Tentu agar anggarannya selalu aman dari tahun-ketahun.

“lha itu semuakan tidak ada hasil nyatanya. Setelah kongres yang menghabiskan miliaran itu, hasilnya apa? Wong yang ikut wong-wong tuwo,” begitu lontarnya sembari membahak tawa.

Inikah korupsi yang nyata to le. Seperti halnya ujian masuk mahasiswa yang ditakut-takuti dengan uang pangkal yang jumlahnya diperlombakan. Kita ini berada didalam bawah kesadaran yang menantang-nantang. Ini yang membuat kita miskin.

Coba kalau sehari saja kita sadar, kita akan kaya dan berhasil. Misalnya, kenapa pada masa Suharto bahasa daerah dilarang-larang diajarkan di SMU, sementara bahasa inggris diwajibkan.

Bahasa daerah dilarang-larang dengan alasan disintegrasi bangsa: MEMBAHAYAKAN. Sementara bahasa inggris di golkan dengan alasan pergaulan intenasional. “lha endi yang membahayakan itu sakjane?”

“yang kurang ajar itu ratu elisabet. Lha wong bahasa engris diajarkan dimanapun, dari SD sampe S3. Tidak ada bilang terimakasih sedikitpun. Mbok ngomong maturnuwun.” Kalo kita punya kesadaran, mbok sehari saja kita tidak memakai bahasa enggris: ada gerakan boikot bahasa enggris, pasti di koran2 enggris kita masuk headline benar. Menarikkan.”

Kalo kita sadar, sesunggunya kita ini kaya. Kita ini miskin karena ukuannya sama: uang. Gunung kidul itu kaya dengan gaplek, dan kita miskin gaplek. Tapi jika dihadapkan dengan uang: mereka menjadi miskin. Bagaimana kalau pendidikan dibayar dengan barter saja, Dan dengan demikian kita tak ccekrek. Dan kita semua dalam waktu bersamaan akan menjadi orang kaya.

Pikiran kita orang jawa ini ditindas oleh oleh-olehnya derida, habermas, webber. Yang jika kita kutipkan saja dalam tulisan kita, makalah kita, langsung dianggap kita ini pinter. Tapi kita tak punya pemikir jawa yang diajarkan didalam dunia akademik. Jadinya ya kita manut-manut saj dari mereka, lha wong kita ini minderan.
Dan seharusnya tugas sekolah, kampus, dan akademikus adalah membangunkan kesadaran itu. Bukan menjadi got bagi aliran uang yang korup itu. Bukan menjadi pelaku korupsi yang tak bersentuh.

Pak Purwadi memberikan gambaran, bahwa seminar, konggres atau apapun bentuk kegiatan akademis, harusnya tidak membusuk di kliping saja. tetapi ada bentuk akhir yang menjadi tujuan.”aku ki yo mroyek le, tapi harus ada yang tujuan yang jelas. misalnya, saya mengusulkan PB X sebagai pahlawan. dan diterima,”

Lalu panjang lebar pembicaraan tentang orang terkaya di Indonesia itu. PB X adalah orang pertama yang mempunyai mobi keluaran Amerika, ketika belum ada seorangpun di negeri ini memilikinya. ia pula yang namanya tertera dalam bantalan-bantala kereta api. Dalam urusan perjuangan, ialah orang yang "meminjami tiang untuk menaikkan bendera merah putih, pada mada proklamasi. pada masanya pula tercatat ratusan jumlah penerbitan yang ada. juga teradpat banyak novel-novel yang lahir pada masa itu.
Lagi, pada masa pernikahan PB X seluruh warga menyembelih kerbau. semuanyaya tampak berjaya. jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain dalam perang fisik dan strategi, sepertinya PB X lebih besar. Ia yang meletakkan fondasi yang lebih luas. ia pula yang menyokong dana yang tidak sedikit bagi kebangsaan.

Tapi kesadaran itu rupanya tak kunjung muncul. Bahkan pada orang-orang yang latarbelakang akademisnya jawa sekalipun. Mereka lebih fasih bahasa inggris, dari [ada bahasa jawa. “lha wong piye, arep mlebu S3 bahasa jawa, persyaratannya pake Toefl enggris. Kenapa tidak pake toefle jawa,” kekehnya.

***
Begitu tetular dari pak Pur di senja, akhir bulan Mei.

Karawaci, 2 Juni 2009

Selasa, 07 April 2009

Pertanyaan- Pertanyan Seputar Pascakolonialisme

Ryan Sugiarto


Saya teringat apa yang disampaikan oleh kawan Ignas Cleruk, mahasiwa filsafat UGM, waktu itu, dalam sebuah diskusi Komunitas Kembang Merak. Tema waktu itu adalah Tembang Jawa: Soal Citra Rasa Bahasa. Ignas melontarkan,”kalau begitu apakah ini postkolonial? Apakah tidak post kerajaan? Post istana?”

Ungkapan ini juga mengusik diskusi lebih hangat tentang apa sebenarnya yang menjadi wilayah pembahasan dari kajian pascakolonial, dengan bahasa yang kurang lebih sama “setelah kolonial”, “setelah penjajahan”. Tidakkah kajian itu, dengan demikian, adalah kajian yang menggerakkan postkolonialis untuk menekuni eksotika bagaimana sesuatu sebelum sebuah penjajahan? Atau menilik seberapa murni sebuah kebudayaan, pemikiran? Atau bagaimana kajian kebudayaan setelah bercampur, tersusupi, bergumul dengan kebudayan barat? Bagai mana yang asli, yang bercampur, dan yang asing itu, dan berbagai perpaduan yang dihasilkannya?

Bisa jadi ini, pascakolonialisme adalah juga semacam gugatan atas terpinggirkannya, kajian tradisional. Khas ketimuran. Menggugat kajian-kajian yang barat sentris. Barat di sini memang kemudian diistilahkan atau disamasebangunkan dengan kolonial.

Lalu apa sejatinya dengan kajian pascakolonial? Dan dengan apa kita membatasi pemaknaannya? Dan bahkan apakah kajian pascakolonial, setelah penjajahan (barangkali dalam bahasa kita, harus dengan, sebaliknya, mengulik tentang sejarah perkembangan kajian dan peristiwa masa lampau, jauh sebelum kolonial itu, atau ketika kolonialisme berlangsung. Lalu bagaimana pascakolonial, benar-benar kajian baru yang lepas sama sekali dengan ilmu modernrasionalis yang didengang-dengungkan barat yang notabenennya (dulu) adalah penjajah)?

Apakah para pascakolonialis mendekami sejengkal demi sejengkal masa lampaunya? Dengan tujuan menyuarakan kembali apa yang telah terampas oleh doktin modernisme yang dibawa oleh barat. Dan Timur ini membangkitkan kembali romantismenya tentang masa lalu itu? Dan kalau tujuannya adalah memberi suara pada yang tidak bersuara, demikian kata Spivak, menengahkan yang terpinggirkan, “menggaulkan” yang “kuper”, dimanakah tepatnya posisi pascakolonial ini? Karena dengan pemahaman yang demikian toh makna kolonialisme masih terkekang pada bineritas atau lebih. Kecil dan besar, bersuara dan tidak bersuara, pinggir dan tengah, menguasai dan dikuasai.

Lalu bagaimana kita melihat pascakolonialisme ini? Apakah melihat seperti cara orang-orang barat, turis, melancong ke sudut-sudut desa, adat di timur, dan berkata “beautifully, eksotic, ammazing” ? Atau dengan kaca mata timur terdidik, yang mengagumi kemajuan jaman, sembari meratapi kondisi sosialnya, lingkungannya, tak sanggup menjangkau yang jauh itu? Bagaimana?

Meskipun sebenarnya dalam kehidupan social yang kita alami, tak sepenuhnya satu lawan satu (bineritas), melainkan segalannya saling berhadapan. Hemat saya inilah sesungguhnya yang ingin dilihat lebih subtil dari kajian pascamodern. Semuanya menyengaja untuk unjuk dan bersaing mengemuka. Yang lama ingin tampil, yang baru (modern) ingin mengedepan, dan bahkan perpaduan lama dan modern juga mengemuka. Begitulah pascakolonial melihat semua kejiadian. Meminjam istilah spivak, memberi kesempatan kepada yang redup untuk bersinar, kepada “yang lain” untuk ada, seluas-luasnnya.

Pada titik ini maka Pascakolonial sebangun dengan posmodernisme yang dilahirkan oleh orang-orang barat itu. Pascakolonialisme, adalah kajian yang lahir dari “anak pribumi”, anak koloni. Yang jengah dengan segala macam dominasi pikiran barat, terutama tentang modernisme. Lalu dengan itu, ia memberi suara kepada dunia tentang keadaannya. Mungkin seraya merintih –“tolong”-, seraya berteriak, “ini aku ada”.

Dan posmodernisme, adalah pemikiran barat yang juga jengah dengan hasil-hasil modernisme. Posmodernisme kembali melirik sesuatu yang diluar modernisme: mistisisme, tradisi, dan kearifan lokal yang menurut anggapan modernime diangap kolot dan ketinggalan jaman. Barangkali juga oarang-orang barat yang tertarik dengan tradisi timur yang belum pernah ia temui sebelumnya dalam masa hidupnya di barat. Mereka serius mengkaji sesuatu yang dianggap “baru” dalam khasanah barat. Saya pikir itu pulalah yang diteriakkan oleh Ayu Utami, dalam Bilangan Fu.

Saya pikir epistemologis yang mendasari kajian ini, dalam hemas saja, masih sebatas pada sentiment kepentingan ilmu. Kuasa ilmu. Artinya, dalam anggapan kita sehari-hari, maupun dunia akadenis-ilmiah pada khususnya, ilmu pengetahuan sering diklaim (mengkalaim) dirinya sebagai pengetahuan (baca: episteme) yang obyektif dan netral. Anggapan ini mendasarkan dirinya pada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan—yang selanjutnya akan disebut ilmu—akan mencapai derajat kebenaranya tertinggi jika tidak ada hubungan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui. Obyek yang diketahui/dipelajari akan ditangkap secara benar dan obyektif bila tidak melibatkan unsur-unsur subyektif manusia. Obyek diibaratkan sebagai sesuatu yang ‘diluar sana’ dan menunggu subyek untuk diketahui. (sekali lagi ini adalah definisi yang digunakan dalam kajian modernis). Harus dibuktikan dan terukur.

Tetapi tentu kajian ini menjadi menarik sebagai salah satu pengetahuan yang lahir dari Negara-negara dunia ke tiga. Benar-benar memberi suara pada dunia ketiga yang bahkan tak bersuara soal sudut pandang ilmu. Seperti yang disitir oleh Ariel harainto, jarang sekali akademisi, intelektual, pemikir dari asia, terutama asia tenggara, yang mendapat kesempatan untuk urun rembug dalam perkembangan dunia keilmuan di jagat ini.

Di Timur, zaman-zaman tersebut yang digelar sebagai era “pembaratan”, analogus dengan fenomena pemodenan atau pembaharuan budaya, dilihat berlangsung dalam konteks apa yang disebut sebagai “Oriental Enlightenmenr atau di Timur Tengah ideologi pemodenan itu dikenali sebagai Nahda - secara literal bermaksud “kelahiran semula” atau “kebangktan semula”. Zaman tersebut dimanifestasikan oleh satu keinginan Timur untuk mencapai status yang sama dengan Barat. Kecenderungan ini telah mendorong kepada penyerapan yang canggih, bergaya pesat ideide dan budaya dari barat yang dan berwibawa.

Jumat, 03 April 2009

Rumahku adalah Rumah…[I] Bagian Depan

Ryan Sugiarto


Apa mimpimu tentang sebuah rumah, tempat peristirahatan yang menyenangkan. Saya akan memimpikan sebuah rumah yang begitu rimbun dan penuh dengan nuansa Hijau disekelilingnya. Akan aku buat dua sisi sisudut halaman agak kiri sebuah jaring ayunan untuk sekedar berbaring tidur. Disampingnya akan disediakan sebuah meja bundar ukuran sedang dengan tiga kursi yang mengelilinginya. Tak akan kulupanan untuk membangun sebuah bale-bale yang berlantai kayu tepan persis disebelah selatan tempat itu, sekadar untuk bercengkrama dikala sore menjelang senja. Dan juga menikmati rimbunah pohon mangga dengan buahnya yang bergelantungan membuyar.

Diruang depan sebelah timur akan aku buka khusus sebuah ruang untuk menempatkan buku-buku disana, semuanya boleh membacanya akan kumulai dengan buku-buku cerita untuk anak-anak. Agar mereka mulai membiasakan diri membaca. Berlatih imajinasi dan doyan baca. Juga buku-buku pertanian, agar rumah-rumah disekitarku belajar dari buku, juga buku seni, agama, dan saint. Impianku, rumahku adalah perpustakaanku. Menyambung dari sebuah kumpulan tulisan Bukuku kakiku.

Tepat didepan ruang buku itu, akan kusediakan halaman ukuran sedang dengan warna hijau rerumputan dan seperangkat permainan anak-anak. Disebelah timur pohon mangga besar yang rimbun.

Masih Bagian Depan. Rumahku akan berbentuk limasan. Seperti rumah jawa pada umumnya, dengan modifikasi. Rumah depan yang pertama, akan aku jadikan tempat meletakkan peralatan gamelan lengkap. Disana ada latihan nggamel seminggu tiga kali. Mereka dalah biada jadi bapak-bapak paruh baya yang pda diang hari bekerja disawah, malam hari mereka akan beristirahan dengan berlatik karawitan atau campursarian. Pasti mereka akan sangat antusias. Atau juga anak-anak muda agar mereka tetap mengenal gamelan dan tradisi tembang jawa, apapun versinya. Untuk itu akan aku panggilkan pelatih gamelan itu…mungkin juga dalang untuk mengajari (kembali) orang-orang disana.

Nanti jika mereka sudah menguasai, akan kami pergelarkan konser gamelan didesa kami. Semua orang boleh melihat. Mungkin akan tiap trimester sekalii manggung. Jika sudah mantap benar dan mempunyai ciri tampilan yang eksotik dan mengesankan, tentu mereka akan bisa tampil dimanapun. Diminta menngisi acara apapun. Dari sana mereka akan memperoleh penghasilan tambahan selain dari persawahan mereka. Dengan begitu bagian depan adalah ruang seni gamelan.

Masih di depan pula. Persisi didepan ruang perpustakaan, sisi kiri dengan pepohonan mangga yang rimbun itu, dibawahnya akan ada pendidikan atau pelatihan melukis bagi anak-anak kecil umuran SD juga smp, agar mereka punya keahlian lain sekali akademik, yang kadang membosankan. Dari sana barangkali kita akan menemukan talenta-talenta pelukis yang luar biasa. Mungkin kelak, akan menjadi maestro. Barangkali aku akan meminta pak Joko, salah satu nama Joko yang kukagumi, untuk memberikan pelatihan kepada anak-anak ini. Akan aku kontrak beliau sebagai pelatih lukis bagi mereka. Untuk membuka kesadaran yang lebih riil tentang hidup masa depan bagi seorang anak.

Dalam rumah. Sebelah kiri ruang perpustakaan, akan aku jejer dua atau tiga komputer tampat belajar menulis bagi yang lain. Remaja SMP atau juga SMA. Agar mereka bisa belajar menulis. Dan kelak akan menemukan betapa menulis adalah kenikmatan tersendiri. Betapa menulis jauh lebih efektif dari pada khotbah disana-sini. Menulis tenttu menjadikan kesadaran yang lain. Kedetakan ruang baca, perpustakaan, dan ruang tulis, tempat dua atau tiga komputer ini ada tentu menunjukkan: bahwa menulis tidak bisa dilakukan tanpa membaca. Untuk mengajari menulis, aku sendiri, dengan pengalamanku yang sedikit akan aku tularkan kepada mereka. Atau aku akan meminta salah satu temanku. Mereka banyak menjadi penulis-penulis best seler, penulis-penulis besar. Sebagian besar mereka adalah intelektual muda. Aka aku upayakan mereka mau mengajarkan kepada kami cara menulis yang baik. Cara mengungkapkan gagasan yang baik. Dan sebelumna cara membangun gagasan yang mencerdaskan. Ruang ini akan menjadi ruang ilmu penulisan dan pembanguan kesaradan literer.

Sementra itu gambaranku tentang rumah depanku. Sebuah impian tentang rumah.bagaimana dengamu?

[]

[010608]

Sabtu, 28 Maret 2009

Jogjakarta [I]

Ryan Sugiarto


Setiap orang yang pernah berpaut dengan Jogja, konon selalu berkeinginan untuk menyambangi kota itu lagi.

Kebersahajaan Jogja kental dalam pengalaman batin bagi para peziarah ilmu dan juga kebudayaan. Siapa yang tak mengingat, kekhusukan keraton dan dua alun-alun yang mengapitnya. Tak membedakan malam apapun, manusia dari berbagai arah iseng-iseng mencoba membaca nasib mereka dengan berjalan menuju gerbang yang diapit dua pohon beringin. “jika kami berhasil, jalanmu akanlurus, hatimu bersih,” begitu kata penjaga alun-alun ini. Tak jarang orang yang melenceng jauh dari sasarannya. Tidak bersihkan hatinya?

Juga Pakualaman, kebersahajaan kala senja dan malam hari. Kau bisa menikmati lesehan, diantara beringin yang berumur ratusan tahun, ditemani nyanyian pengamen yang eksotik. Nan cerdas.

Keramaian Angkringan Tugu yang mencapai puncaknya pada jam satu malam. Bisa kau rasakan kopi JOSS. Perpaduan kopi yanag dicelup kedalamnya mowo, yang panas. Juga pengamen yang silih berganti dan bunyi kereta.

Hiruk-pikuknya Malioboro dikala siang. Nol km yang makin ramai manusia baik seniman, muda-mudi atau pelancong saja. Juga acara-acara budaya dan seni yang kerap tergelar dikota ini.

Atau kali code, karena jasa Romo Mangun, yang mulai tertib dan tertata rapi.

Juga toko-toko buku dari kelas nominal tiga ribu hingga kelas ningrat berkantong tebal. Kota pameran buku, saking seringnya jogja menggelar event ini. Yang para penggilanya memilih kelaparan, dari pada tidak memborong buku-buku santapanya.

Begitulah Jogja membentuk ruang tersendiri bagi para peziarah ilmu dimasa mudanya. Membentuk berkas-berkas ingatan yang suatu saat akan dijumpainya lagi, jika jogja tak berpaling dari tradisi. Jika masih kental dengan budayanya. “Kebudayaan adalah kunci utama untuk bisa memahami peradaban. Juga ia berguna buat memahami manusia sebagai person.” Tulis Ruth Bennedict. []

[220608]

Rabu, 25 Maret 2009

Masihkah Kita Serius dengan Kata-kata?

Ryan Sugiarto

Sekarang , jangan-jangan kita tak lagi serius dengan kata-kata. Kata-kata yang merupakan produk dari oleh pikri dan juga olah rasa kita.

Barangkali sekarang ini kita sedang memanipulasi kata-kata. Lihatlah bagaimana para politisi mengumbar jani. Gampang sekali mereka melontarkan kesejahteraan, perbaikan, dan setumpuk kata-kata itu. Tapi kata-kata merak seperti tak berumah. Para politisi telah menjual kata-katannya. Berbui seperti apapun kata-kata yang dilontyarkan adalah maksud dari sebuah pencaria dukungan atas dirinnya. Dan kebanyakan dari apa yang mereka lontarkan adalah bentuk dari bahsa rayuan yang “membodohkan”, memanipulasi keinginan dan harapan rakyatnya.

Kata-kata dalam bentuk tutur memang penting. Setidaknya pada masa Yninani-romawi retorika menjadi salah satu ilmu yang mempunyai posisi yang tinggi dalam kebudayaan dan pemerintahan. Tetapi mereka melakukannya dengan retorika yang luarbiasa, retorika yang berusaha menuai kebenaran atas keyakinan yang disampaikan oleh oratornya. Dan rasannya itu menjadi santu ditelinga. Memikat uaidiennya. Begtitulah para filsuf pada waktu itu memoles kata-kata dalam sebuah retorika.

Dan. Kata-kata yang ditulis dalam sebuah tulisan tentu lebih menggambarkan bagaimana rajutan yang diinginkan oleh penulisan. Kita tahu bahawa sedikit orang yang menguasakata-kata yang menawan dalam oral maupun tulisan. Artinya. Ada kalanya orang yang pandai olah katannya dalam retorika, tapi tak pintar merangkainya menjadi tulisan yang ciamik. Pun sebaliknya.

Kata dan tulisan, kita menyebutnya bahasa untuk ini, adalah bagai ibu dan anak. Kata adalah sumber bagi segenap tulisan yang utuh. Kata adalah awal dari pemahaman terhadap tulisan yang termaknai oleh pembacannya. Oleh masannya. Dan kata adalah temuan paling brilian yang diperoleh manusia.

Jika kita bersetia dengan kata-kata kita sebernanya telah menghidupinya dalam diri kita. Dan membaca, juga menuliskannya, adalah bagian dari pelestarian kata-kata, yang kadang-kadang dengan semena-mena diambil alih oleh para plitisi untuk kepentingan sendiri.


230309

Minggu, 08 Maret 2009

Imajinasi dan pikiran

Ryan Sugiarto

Apakah yang menentukan dalam hidup seseorang. Imajinasiatau pikrian rasional manusia? Imajinasi atau aturan keagamaan? Imajinasi atau realitas?

Imajinasi adalah indra kesekian setelan indra tubuh manusia. Ia dalah penuntun dalam menjalani hidup manusia agar telepas dari kasunyata yang begitu adannya. Dengan imajinasi sesungguhnya kebebasan terbentang. Seluas-luasnya. Aturan mana yang mampu menghalangi sebuah imajinasi tumbuh dan berpengaruh dalam diri seseorang. Dengan apa makhluk manapun menghalami imajinasi bermunculan dan mengalahkan pikiran rasional manusia?

Tak sulit bagi imajinasi untuk mengembara kenegeri jauh, negeri liyan. Dimanapun berada. Dengan imajinasilah sesungguhnya pikiran kita dipandu untuk menjelajah kesegala arah. Karena bagis aya, kebesasan terbesar yang dimiliki oleh manusia dalah alam imajinasi yang tumbuh besar. Itu pulalah yang diberikan yang tak terpermanai. Imajinasi bahkan berusaha menggambarkan yang “lain” itu, yang dalam kitab-kitab bahkan kemungkinan penggambarannya dialrang-larang. “aku adalah seperti apa yang kamu pikirkan”, kegitu kata tuhan dalam firmannya.

Justru karena itu imajinasi melampaui pikiran. Imajinasi bisa membentuk-bentuk apapun pic tentang yang “liyan” tadi. Dan dengan itu sesungguhnya kita telah menggunakan kebebasan dan bekal alami ini untuk merengkuh yang tak terengkuh.

Sesuatu yang sangat luarbisa bisa mengelaborasi imajinasi dengan sebuah karya. Itulah dunia seniman dan dunia tulisan. Mereka mengembara ke negeri jauh. Yang tak semabrang orang menjangkaunnya.

Dan bukankan suatu perubahan tentang keadaban itu juga lahir dari liarnya imajinasi manusia. Kebesaran manusia dalam hal ini kemudian di olah oleh imajinasi yang menumbuhi mereka.

[050309]

Semangat Kehidupan

Ryan Sugiarto

Pernahkan kita bertanya kenapa setiap merayakan ulang tahun, manusia modern mengunakan simbol meniup lilin? Apa arti semua itu bagi sebuah perayaan ulang tahun? Atau apa makna petanda itu? Apa makna simbolisasi lilin yang menyala itu? Atau apa maksa perilaku meniup lilin itu bagi sebuah peringatan?

Bukankah lilin berarpi itu adalah tanda dari sebuah kehiduoan? Api adalah cahaya, dan ia tanda dalam sebuah kehidupan yang dimulai. Pada alam ini. Setiap orok bayi yang baru lahir merasakan adannya dunia yang terang, meski dengan suasa baru, ia kini memempati dunia terang. Salah satunnya ditandai dengan matahari, bergerak kepada api, dan lokomotif lampu hingga sekarang ini.

Seoarang teman dulu pernah mencari-cari sebatang korek api untuk menyalakan rokonya. Ia tidak menemukannya dan berkata “korek api saja kalian tak punya, bagaimana menerangi dunia. Mencerahkan manusia?” barangkali guyonan teman itu ada benarnya juga. Kira-kira begitu simbol api ini dari sudut pandang sebuah kearifan.

Lalu kenapa dalam perayaan ualangtahun tadi, kita mematikan lilin yang berapi ini? Apakah tidak sama artinnya dengan mematikan semangat kehidupan? Meredam kehidupan yang akan segra dilanjutkan lagi setelah detik-detik perayaan berlangsung. “atau apa yang akan dipadamkan dengan simbol api ini? Kita perlu cari tahu, minimal kita punya dasar dari setiap perayaan dengan simbol itu.

[050309]

Kearifan dari tepi Pasar Senen

Ryan Sugiarto

Inilah kearifan dari seorang lelaki tua, pejualan vocer grosiran, di tepi stasiun Pasar Senen. “bangsa ini tidak maju-maju, karena pemimpinnya tak punya visi kedepan,” begitulah kalimat itu terluncur dai lelaki 70an tahun ini, sembari menyedot gudang garam dalam-dalam. Menurutnya, Negara ini tidak mempunyai pemimpin yang bisa mengatur sebuah Negara.

Hal yang sangat dekat dengan saya, misalnnya, kereta yang saban hari saya haus bergaul dengannya, selalu mengalami keterlambatan. Seperti ii sering terjadi, katannya lebih lanjut. Ini salah stu bukti bahwa kitapun tak kusa menguasai ilmu merawat kereta, maintenance kereta. Entah apa yang dikoar-korarkan mereka yang nyaleg itu. Seoalah merea punya kemapuan menyelesaikan permasalahan kita seperti ini.

“dan siapapun presidennya nanti tak akan mampu menyelesaikan konndisi kebangsan seperti ini. Kita ini bangsa yang gemar menyombongkan diri,” katannya.
“Pernah dengar guyonan satir seperti ini?
“Sebuah perlombaan penembak jitu sesame tentara

“Tentara asal amerika meninta sebuah semangka untuk menjai sasaran tembaknnya. Diletakkan semangka itu diatas ubun-ubuh salah salah satu tentara lainnya. Dibidiknnya,” kata lelaki tua ini sembara mengarahkan tangan kakanya, dengan jari-jari menyerupai huurf L berdiri, “DOOR…tembuslah semangak itu, tak meleset sedikitpun,” katannya.

Tentara Amerika ini lalu berteriak “I am a Rambo.”
Tentara kedua, berkebangsaan Inggris. Lelaki tua mengulangi gerak tangan dan jarinnya, kali ini diikuti dengan memicingkan mata kanannya. Lanjutnya, “saya bisa melakukannya bahkan pada buah yang lebih kecil. Dipilhlah oleh tentara itu apel, dan diletakkan di kepa tentara yang tadi.”

“Door..!!”

“Lihat,” kata bapak tua ini sembara berkcak pinggang disela duduknya diatas sandal jepitnnya yang lusuh.

“I am a james Bond,” begitu kata tentara inggris, yang ditirrukan sang bapak.
Dan, unjuklah seorang tentara dari Indonesia.

“hei..jangan sombong dulu, saya akan pilih buah yang lebih kecil dari kalian,” kata sang tentara, “duku”
Diletakkanlah sebutir duku diatas kepala tentara sukarelawan tadi.
“Dooor…!!!”

“See…I am Sorry” begitu pak tua ini terkekeh menirukan ucapan tentara penembak dari Indonesia yang telah berhasil menewaskan tentara sukarelawan.

“Betapa kita ini begitu menyombong akan ketidak mampuan kita,” tukasnnya.
“Sepertinya kita patut meminjam orang luar untuk menjadi presiden kita. Seperti Fujimori yang berhasil mengelola jepang. “ lanjut laki-laki tua lulusan STM ini sembari menghitung lagi jumlah voucernya.

Dalam sudut-sudut seperti inilah tersimpan kearifan dan kkecerdasan, dari pemikir udik. Keluasan pikiran dan kesederhanaa pikir. Pikiran sebagai sebuah bangsa.

Senin, 23 Februari 2009

Kesadaran ibadah

Ryan Sugiarto

“Kasihan yang puasa disisain donk,” anda pernah mendengar suara seperti ini? Telinga kita mungkin pernah sesekali mendegarnnya, atau bahkan kita mengucapnya.

Manusia kadang-kadang memang aneh. Mengasihani orang-orang yang sedang berusaha dengan sungguh menuju ke-kemulia-an, di jalan tuhan. Kalimat pembuka diatas adalah bentuk dari sebuah kesadaran atau juga ketidaksadaran beragama yang aneh. Kenapa aneh? Apa memang, jagan-jangan agama menyediakan bentuk-bentuk peribadahan, persembahyangan, yang mengakumulasi kasihan. Juga agama mengakomodasi peribdahan yang mengagung-agungkan ibadah itu sendiri.

Kalimat pertama, mewakili bentuk agama yang seperti itu. Dan bentuk kedua, bisa kita lihat dari bagaimana demonstrasi ibadah haji melebihi tujuannya kepada tuhan.
“kasihan dongk yang berpuasa. Sisain,” ironis. Ibadah, puasa, bukan dalam rangka menjadi bahan belas kasihan dari sesame manusia. Bentuk sesadaran macam apa yang timbul dari kalimat tersebut? Berpuasa konon adalah dalam rangka mengikuti r asa bagi orang-orang yang tidak berkesempatan untuk memakan sebuah asupan. Tetapi tidak untuk belas kasihan. Berpuasa juga sebuah sekolah, manusia gaul menyebutkan “menyekolahkan perut”.

Tetapi ketidaksadaran manusia, kita ketika mengasihani orang yang sedang dalam rangka ibadah terasa lebih ironis. Manusia adalah makhluk yang menyandar kepada yang tak pernah bersandar sedikitpun. Agama juga bukan sebagai bagian dari pelarian mmental manusia. Agama adalah bentuk kesadaran tentang sebuah pilihan yang sangat personal. Maka demikian, beragama harus dengan sadar dan kritis terhadap ajaran agama.

“Kasihan lu Puasa. Ga punya uang untuk makan? Sisain untuk yang berpuasa,” tak perlu menjadikan kalimat ini sebagai olokan. Karena sesungguhnya setiap ketidaksadara dalam pengucapan, berarti tidak adannya ilmu bagi mereka. Orag yang tidak berilmu artinnya idak tahu, dan yang tidak tahu itu oleh tuhan tidak ada hokum nasabnnya.
Yang terpenting adalah niat bukan untuk dikasihani oleh sesame manusia.
Begitulah sebuah pelajaran penting yang saya dari dari seorang tua, yanag sedang mengkaji hidupnnya.

[160209]

Kamis, 19 Februari 2009

Wakil Politik

Ryan Sugiarto

Tidak ada, selain waktu menginginkan suara gambar para politisi dan partai dengan sengaja menempel pada gerobak sampah para pemungut. Tak ada selain maasa kampannya, wajah paras orang-orang kaya dan gede menempel pada pagar bamboo yang hamper roboh di sudut-sudut desa. Juga, tak ada selain waktu menjelang pemilu, manusia-manusia yang ingin menjadi wakil menyambangi barak-brak kumuh, sudut-sudut rawan penyakit.

Sekali lagi itu semuanya hanya pada masa ketika suara satu orang saja dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi wakit. Bukan menjadi orang mewakilkan. Bukankah orang yang mewakilkan seharusnnya menjadi nomor satu? Dan wakil menjadi orang nomor dua setelah yang mewakilkna? Tetapi memang menjadi wakil dalam bidang politik ini sebih terhormat, dimata mereka, ketimbang orang nomor satu itu sendiri.

Tapi memang begitulah cara kerja politik. Yang menjadi wakil malah lebih berkuasidari yang mewakilkan. Lebih enak dari yang member perwakilan, menjadi lebih mentereng dari yang sebenarnnya tak minta diwakili. Tapi toh wakil dalam politik lebih segela-galannya dari pada rakyat sendiri.

Nah, setelah mereka benar-benar dipilih oleh rakyat untuk mewakilinnya, sangat kecil kemungkinan mereka mengerti tentang apa yang seharusnnya diwakilkan. Siapa yang mewakilkannya, dan untuk apa sesungguhnya mereka menjadi wakil.

Lalu, mereka tak akan sudi mejenguk para pemungut sampah yang dahulu digerobannya wajah penccari posisi wakil ini menempel dan berkibar. Mereka tak akan menyambangi, sudut-sudut dimana bendera dan paras wajah menempel dip agar-pagar bambudi sudut desa.

[270109]

Senin, 16 Februari 2009

Rabu, 28 Januari 2009

Peneliti di Lumbung Politik

Ryan Sugiarto


Lembaga Survei di negeri ini sedang berebut kue politik. Tahun ini memamng tahun politik. Bukan saja para pengusaha yang kebanjiran kue, para peneliti juga sedang berebut kue politik. Sebaran survei dan tentu juga para penelitinnya tercebur dalam ruang yang penuh dengan uang-uang politik.


Para peneliti ini juga terjebur dalam faksi-faksi partisan. Penyelenggaran survei, peneliti, yang penyokong pemerintah tentu akan berusaha dengan cara seperti apa, agar hasil penelitian dan surveinnya cenderung mengangkat pamor dan citra pemerintah, partai pendukung pemerintah, dan atau presiden incumben. Sedangkan para peneliti dalam lembaga survei yang di luar jalur pemerintah, alias oposisi, juga akan menyelenggarakan survei, tentu untuk mengukur sejauh mana kampannyenya berhasil, dan mengangkat citranya di media.


Kita mahfum bersama, setiap survei terkait dengan citra politik, partai, calon presiden dan wakil presiden, adalah dalam rangka memuluskan jalan menuju kursi polirik utama. Maka setiap partai bisa saja membayar lembaga survei untuk melakukan survei pesanan. Atau bahkan partai politik bisa saja mendirikan lembaga survei, didanai, dengan catatan “lembaga independen” untuk menggulirkan survei mengangakat citra politik yang bersangkutan.


Soal metodologi bisa diutak-utik bagaimana caranya bisa mengangkat citra. Soal penyebaran bisakongkalingkong dengan media juga. Jadi memang ada banyak cara bagi para politisi mengangkat citra mereka.Peneliti dan media sesunggunya tidak lepas dari partisipasi politik, mendukung politik partisan. Mungkin lupa, atau terdorong desakan keuangan. Dan melupa kejujuran yang diutamakan dalam penelitian dan ilmu.


[220109]

Minggu, 11 Januari 2009

Langkah Baru Janji Baru

Ryan Sugiarto

Sangat memungkinkan dan sudah menjadi hal wajar, manusia yang mengklaim rasional dan berbalut modernitas senantiasa menyediakan ide baru, langkah baru, dan janji baru memasuki tahun yang terbilang baru. Disinilah letak dari sebuah harapan (baru) yang biasa jadi mendorong manusia untuk selalu berusaha menghidupi diri dan gagasannya dengan lebih baik.

Seorang yang menginginkan sesuatu yang baru tentu mengganjar dirinya dengan cara-cara meraih sesuatu yang dianggap baru atau yang lama yang belum menemukan gapaiannya. Dan ajang tahun baru, lebih extreamennya hari baru, menjadi satu cara momentum manusia menemukan titik awal baginya.

Manusia rasional dan yang menggauli modernistis konon menapakkan tahun baru sebagai landasan bagi kerja-kerja terukur kemudian. Mereka, menjadikan akhir tahun sebagai ruang evaluasi bagi target-target yang ditetapkan sebagai awal. Begitulah cara manusia rasional mengukur kemampuan dirinya dari tahun ketahun. Sebuah capaian jangka pendek. Konon inilah yang dinamakan sebuah resolusi baru.

Dan menjadi lazim dilakukan masa modern seperti ini. Karena konon manusia yang tanpa rencana dalam hidupnnya adalah manusia yang meneukan kegagalan hidup paada masa depannya. Benarkan demikian? Diri sendir yang bisa menjawab itu.


[070109]

Selasa, 06 Januari 2009

Teriring Salam dan Sukses Untuk Semua

Ryan Sugiarto

”Teriring salam sukses kepada teman-teman satu generasi. Selamat berjuang. Proses diaspora kita telah benar-benar berjalan. Semoga kita ingat tetang pewarnaai cita-cita kepda sebuang bangsa yang kita diami ini. Tentang sekelompok kaum muda yang, saat ini sedang berdiaspora, ingin membuat dunia yang lebih adil untuk sesama.

Kepada kalian yang mulai merapat pada birokrasi negara, belajarlah. Karena da yang lebih baik pada hari kemudian dengan adannya kalian. Kepada kalian yang sudah merapat pada suara perwakilan, belajarlah. Bahwa nanti, jika kalian menjadi suara dari yang kalian yakini, akan ada masa yang lebih adil untuk sesama.

Lalu kepada kalian, yang bergerak bebas di luar kekuasaan yang mengatas namakan negara. Berbuatlah lebih, juga belajarlah. Karena sesungguhnya fase kita ini adalah fase diaspora saja. Dan kepada kalian yang kini bergerak di wilayah akademi dan intelektual, bergegaslah membuat perubahan. Sesungguhnya perubahan lebih mudah dari pemikiran.

Janga lupa bahwa kita sedang belajar menjadi pemikir, mati-matian ingin menjadi pemikir pada perubahan yang lebih baik itu. Saya yakin sejarah kita, tidak akan hilang dalam ingatan kita masing-masing. Bukan sekadar beromantisme, tetapi jauh lebih dari itu adalah pijakan semua. Tidak da yang lebih baik, jika kita tak mempunyai sejarah. Karena sejarah adalah perbandingan dalam setiap fase. Kita tak bisa membanding hari ini dengan masa depan dengan benar.

Lalu kepada kalian, satu angkatan, yang masih di kursi kampus, janganlah berlama-lama dengan belenggu itu. Sebab saya yakin ada hal baru yang menunggumu, tentang peran-peranmu setelah ini.”

Ini bukan soal kita memperkaya diri sendiri dengan yang namanya kerja. Tetapi soal cita-cita, jika kau masih ingat, terhadap dunia yang lebih adil itu. Tentang suatu harapan bahwa sebuah pertemuan yang pernah kita rancang akan menemukan titik terang dimana yang kita sebut komunitas akan nampak dan lebih baik.

[030109]

Kamis, 01 Januari 2009

Lihatlah, Tuhan Masehi Menyatukan Warga Dunia

Ryan Sugiarto

Beberapa hari ini ada tahun baru yang datang hampir bersamaan. Pertama tahun baru islam, kedua tahun baru masehi, dan sebentar lagi tahun baru imlek.

Tetapi lihatlah, Masehi menyatukan semuanya. Inilah ‘kehebatan’eropa dalam mempropagandakan maseni sebagai tahun bersama bagi semua warga di dunia. Tepat tanggal satu Januari 2009 kemarin, warga dunia tumpah-ruah dijalan-jalan menyambut dan merayakan datangnya tahun baru 2009.

Agak berbeda dengan tahun baru islam yang relatif sepi, juga tahun baru imlek yang agak serupa,tahun baru masehi adalah kebersamaan warga dunia merayakan dan bergembira dengannya. Penanggalana ini menjadi penanggalan resmi di dunia yang di gunakan bersama.

Lihatlah, mereka merayakan dengan bersedia menjalani kemacetan panjang di jalan-jalan ibu kota. Ada yang “membakar uang” dengan kembang api yang berwarna-warni. Ada yang sengaja ke pantai walau tampaknnya akan diguyur hujan. Mungkin juga itulah cara israel menghujamkan “kembang api”, untuk merayakan tahun baru dengan hal yang tidak biasa. Demikianlah cara warga dunia merayakan tahun baru.

Mungkin inilah yang dinamakan cita-cita dari kebersamaan warga dunia. Meski dengan elan sendiri-sendiri dan ccatatan tentang harapan yang berbeda-beda. Namun paling tidak kegembiraan bersama, jika merasakannnya, bisa menjadi tanda adanya. Kebersamaan komunitas dunia. Harusnya, tak ada lagi kekerasan yang menodai kebersamaan seperti ini. Juga seharusnya tidak adalagi tindakan anarkhisme yang mengatasnamakan perbedaan. Jika sadar bahwa perbedaan adalah warna dari dunia.

[020109]