Senin, 23 Februari 2009

Kesadaran ibadah

Ryan Sugiarto

“Kasihan yang puasa disisain donk,” anda pernah mendengar suara seperti ini? Telinga kita mungkin pernah sesekali mendegarnnya, atau bahkan kita mengucapnya.

Manusia kadang-kadang memang aneh. Mengasihani orang-orang yang sedang berusaha dengan sungguh menuju ke-kemulia-an, di jalan tuhan. Kalimat pembuka diatas adalah bentuk dari sebuah kesadaran atau juga ketidaksadaran beragama yang aneh. Kenapa aneh? Apa memang, jagan-jangan agama menyediakan bentuk-bentuk peribadahan, persembahyangan, yang mengakumulasi kasihan. Juga agama mengakomodasi peribdahan yang mengagung-agungkan ibadah itu sendiri.

Kalimat pertama, mewakili bentuk agama yang seperti itu. Dan bentuk kedua, bisa kita lihat dari bagaimana demonstrasi ibadah haji melebihi tujuannya kepada tuhan.
“kasihan dongk yang berpuasa. Sisain,” ironis. Ibadah, puasa, bukan dalam rangka menjadi bahan belas kasihan dari sesame manusia. Bentuk sesadaran macam apa yang timbul dari kalimat tersebut? Berpuasa konon adalah dalam rangka mengikuti r asa bagi orang-orang yang tidak berkesempatan untuk memakan sebuah asupan. Tetapi tidak untuk belas kasihan. Berpuasa juga sebuah sekolah, manusia gaul menyebutkan “menyekolahkan perut”.

Tetapi ketidaksadaran manusia, kita ketika mengasihani orang yang sedang dalam rangka ibadah terasa lebih ironis. Manusia adalah makhluk yang menyandar kepada yang tak pernah bersandar sedikitpun. Agama juga bukan sebagai bagian dari pelarian mmental manusia. Agama adalah bentuk kesadaran tentang sebuah pilihan yang sangat personal. Maka demikian, beragama harus dengan sadar dan kritis terhadap ajaran agama.

“Kasihan lu Puasa. Ga punya uang untuk makan? Sisain untuk yang berpuasa,” tak perlu menjadikan kalimat ini sebagai olokan. Karena sesungguhnya setiap ketidaksadara dalam pengucapan, berarti tidak adannya ilmu bagi mereka. Orag yang tidak berilmu artinnya idak tahu, dan yang tidak tahu itu oleh tuhan tidak ada hokum nasabnnya.
Yang terpenting adalah niat bukan untuk dikasihani oleh sesame manusia.
Begitulah sebuah pelajaran penting yang saya dari dari seorang tua, yanag sedang mengkaji hidupnnya.

[160209]

Kamis, 19 Februari 2009

Wakil Politik

Ryan Sugiarto

Tidak ada, selain waktu menginginkan suara gambar para politisi dan partai dengan sengaja menempel pada gerobak sampah para pemungut. Tak ada selain maasa kampannya, wajah paras orang-orang kaya dan gede menempel pada pagar bamboo yang hamper roboh di sudut-sudut desa. Juga, tak ada selain waktu menjelang pemilu, manusia-manusia yang ingin menjadi wakil menyambangi barak-brak kumuh, sudut-sudut rawan penyakit.

Sekali lagi itu semuanya hanya pada masa ketika suara satu orang saja dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi wakit. Bukan menjadi orang mewakilkan. Bukankah orang yang mewakilkan seharusnnya menjadi nomor satu? Dan wakil menjadi orang nomor dua setelah yang mewakilkna? Tetapi memang menjadi wakil dalam bidang politik ini sebih terhormat, dimata mereka, ketimbang orang nomor satu itu sendiri.

Tapi memang begitulah cara kerja politik. Yang menjadi wakil malah lebih berkuasidari yang mewakilkan. Lebih enak dari yang member perwakilan, menjadi lebih mentereng dari yang sebenarnnya tak minta diwakili. Tapi toh wakil dalam politik lebih segela-galannya dari pada rakyat sendiri.

Nah, setelah mereka benar-benar dipilih oleh rakyat untuk mewakilinnya, sangat kecil kemungkinan mereka mengerti tentang apa yang seharusnnya diwakilkan. Siapa yang mewakilkannya, dan untuk apa sesungguhnya mereka menjadi wakil.

Lalu, mereka tak akan sudi mejenguk para pemungut sampah yang dahulu digerobannya wajah penccari posisi wakil ini menempel dan berkibar. Mereka tak akan menyambangi, sudut-sudut dimana bendera dan paras wajah menempel dip agar-pagar bambudi sudut desa.

[270109]

Senin, 16 Februari 2009