Sabtu, 26 Juli 2008

Teori Kebablasan

Ryan Sugiarto


Dalam sebuah perbincangan sembari makan siang, di warung “silahkan ambil sendiri dan makanlah sepuasnya, cukup bayar dikit”, kami berbincang tentang “teori kebablasan”, begitu setidaknya saya menyebut untuk perbincangan ini. Atasan saya, sebutlah begitu, mennganggap kelompok muda yang terlibat dalam islam liberal itu sudah kebablasan. Dan kebablasan itu, baginya, hanya untuk mencari ketenaran.

“Anak muda kan memang hanya mencari ketenaran, agar diakui. Seperti islam liberal yang sudah kebablasan itu,” begitu ungkapnya.

Saya jadi berpikir, jika ada hal yang disebut kebablasan, maka ada yang “rata-rata” atau mungkin “datar-datar saja”. Dan term kebablasan ini saya pikir mengacu pada sebuah kecepatan pikiran, analisis, dan juga berakhir dengan postulat, dibandingkan dengan kecepatan cara pikir, analisis, orang kebanyakan.

Harus diakui bahwa dinamika pemikiran keagamaan modern begitu cepat. Dan yang dianggap datar-datar saja menjadi jauh ketinggalan. Tafsir agama menjadi hak bagi setiap pemeluknya. Maka jika ada penafsiran yang melesat jauh dari zamannya, itu adalah pemikiran yang melampaui zamannya, meski dianggap sebagai keanehan “kebablasan”.

Pemikiran yang melampaui zamannya, paling tidak bagi saya, adalah salah satu kecemerlangan tafsir manusia soal agama. Dan kecemerlangan tafsir, bagi sebagian orang yang memahami agama dalam keadaan “datar-datar saja” menjadi dianggap aneh. Dan begitulah kecemerlangan adalah sebuah keaslian, orisinlitas tafsir yang bedasar.

Saya jadi teringat ketika membaca Caping-nya GM, 22 Januari 1977, “surat nyonya Wignyo kepada Sri Bumi (anaknya)”, dua paragraf terakhirnya:

“Kita generasi tua, memang tak berhak merasa memiliki generasi nuda. Kita tak berhak memiliki siapapun. Cinta itu membebaskan, nduk. Yang muda tak harus menjadi proyek bagi yang tua. Tapi bukan maksudku, Sri, akan mencampuri hakmu mengasuh anak.Anggaplah surat ini bukan surat seorang eyang kepada cucunya, tapi surat seorang ibu yang ingin melihat generasinya nanti generasi yang bebas membuat sendiri—bukannya memfotokopi sejara.”

Dalam dua kata terakhir “memfotokopi sejarah”, adalah linier dengan apa yang saya sebut diatas dengan yang “datar-datar saja”. Sebuah pemikiran yang selalu reproduksi. Ia ia adalah satu bentuk duplikasi semata, yang kadang tereduksi dalam perjalanan komunikasi.

“Sebuah generasi yang bebas membuat sendiri—bukannya memfotokopi sejarah”. Pemikiran yang cemerlang adalah pemikiran yang tidak memfotokopi sejarah pemikiran pada masa lalu. Dan atau sekadar memakainya saja tanpa sikap kritis.

Demikian juga bagi sebuah teks atas nama agama. Ia selalu terbuka untuk segala tafsir. Atas segala kemapuan manusia, yang oleh Yang maha Pandai, diberikan akal untuk berpikir dan menafsir. Meskipun tak ada yang tahu pasti tentang tafsir tuhan pada kalimat-kalimatnya dalam kitab suci. Dan dengan begitu, sesungguhnya terma kebablasan hanya istilah bagi mereka yang tertinggal. Bagi mereka yang hanya berdiam pada yang “datar-datar saja”.

Dan sayangnya itu justru berada di negeri barat. Karena merekalah yang memboyong seluruh teks-teks dari kejayaan Islam masa lampau, yang sebagian ditenggelamkan dalam laut hitam. Dan tak aneh pemikiran barat tentang apapun jauh lebih maju dari asia timur. Karena mereka mempunyai tradisi keilmuan yang melampaui zamannya.

Dengan alsan itu Syahrir pernah berkata “pemuda yang bersemangat, menolehlah kebarat”.[]

[270708]

Buku dan Asal Mula Penulisnya

Ryan Sugiarto

“Teori yang baik selalu lahir dari setiap pengalaman, sebagaimana resep yang baik dilahirkan dari setiap kasus. Dan pengalaman yang baik adalah pengalaman yang dicatat dari pengalaman banyak orang”

Seorang announcer pada sebuah radio di Jakarta, melakukan kritik pada seorang penulis buku how to. Kurang lebih judul bukunya “cara cepat menjadi presenter dan penyiar Handal”. “Bagaimana memberikan petuah tentang bagaimana menjadi penyiar yang handal atau presenter yang handal jika ia tak punya pengalaman menjadi penyiar atau presenter?” begitu ia mengulas buku ini dalam sebuah acara yang dibawakannya “You get a Friend”.

“Karena itu lihat dulu siapa penulisnya dan bagaimana trakc recor pengalama penulisnya,” begitu lanjutnya.

Kurang lebih ia bicara tentang kredibilitas sebuah buku dan dan penulisnya. Juga tentang teori yang disampaikan sebuah buku. Komentar-komentar semacam ini memang sah-sah saja muncul dari setiap orang. Dan sebuah buku diluncurkan tak akan pernah lepas dari yang namanya kritik.

Buku-buku seputar “How to” memang banyak muncul dari penulis-penulis yang kadang tak punya background dari tema yang ditulisnya. Tapi tidakkah ia kemudian kredibel?

Pengakuan datang dari pembacanya. Dan pasar yang kemudian yang menjadi ukuran bagi buku-buku semacam ini. Dan untuk kasus ini bagian awal tulisan ini relevan untuk membahasannya.

Pengalaman memang bisa melahirkan teori yang sahih. Anehnya, jarang orang yang berpengalaman bisa menulisnya dalam buku-buku. Justru orang yang dicap tak punya pengalaman dengan mudah bisa menulisnya dalam lebar buku-buku. Bukankah pengalama bisa kita peroleh dari mana saja, bahkan ketika kita tak mengalaminya?

Orang-orang kita memang senang menyalahkan apa yang tidak bisa dilakukannya. Tetapi memang begitulah kebiasaan dari sebuah kritik. “klo memang Cuma begitu semua orang bisa” dan anehnya ia tak melakukannya. Kalo bisa, silahkan menulisnya, dan juga melakukannya.

Dengan asumsi semacam ini, maka siapapun ia bisa menjadi penulis. Praktisi pembaca dari buku-buku, pengamat dari praktisi, bisa menuliskannya. Karena setelah itu buku atau lebih tepatnya teks tak lagi menjadi milik penulisnya. Ia berdiri sendiri dan siap diserang, atau bahkan disanjung oleh siapapun. Siap dicemooh, dan juga di elu-elukan pada saat yang bersamaan. []

[270708]

Cerita Akar

Ryan Sugiarto


“Kenyanglah dengan kekecewaan, sehingga kedatangannya dilain waktu tak akan mengusikmu lagi”. Inilah yang kadang membesarkan jiwa kita, ketika kekecewan hinggap dan menyapa. Dan mungkin ia datang bertubi-tubi. Kenyanglah karenannya.Kekecewaan sejatinya adalah sebuah persiapan.

Orang yang lahap dengan kekecewaan, ia akan paham benar dengan apa arti kekecewaan. Ddengan begitu, ia tengah mempersiapkan diri menjadi orang yang kuat. Sebaliknya yang tak pernah merasa kecewa, justru ia rapuh.

Seorang provokator pernah bercerita tentang pohon.

Mari kita belajar dari pohon. Pohon yang hidup didekat sungai, ia adalah pohon yang subur dan hijau. Karena ia dengan mudah memperoleh air, sumber makanan melalui akar-akarnya. Akar dengan mudah menangkap makanan-makanan yang meresap bersama aliran air sungai.

Namun demikian ia, ia juga akan dengan mudah tumbang. Ia akan dengan mudah terbawa aurs sungai bah yang datang dari hulu. Hanyut dan tenggelam terseret air. Kenapa? Karena akar dimanjakan dengan memperoleh makanan yang mudah, dengan mengambang saja ia memperoleh makanan. Akar tidak akan dengan susah payah mencari sumber air. Oleh sebab air sudah mengelilinginya.

Berbeda dengan pohon ditanah gersang. Atau jauh dari jangkauan sungai. Yang dengan susah payah, akarnya menembus bumi kesana-kemari untuk memperoleh suber air. Ia harus menghujam kebawah-dan kebawah bumi untuk bertahan hidup. Karena itu, akar-akarnya berjejaring dan membius tanah. Ia kuat didalam tanah. Sehingga jika ada banjir bandang sekalipun ia tak akan mudah dan tetap tegak berdiri. Karena kerja-keras akar menusuk sampai kedalam. Dan tak mudah tergerus oleh air yang menghanyutkan kehidupan.

Begitu kita bisa belajar dari satu bagian dari pohon, akar. Yang bekerja untk kehidupan. []

[270708]

Sampai Kapan Kita Tak Butuh Pengakuan?

Ryan Sugiarto

Siapa yang tak membutuhkan pengakuan? Terlebih seorang esistensialis,. Bahkan baginya pengakuan adalah segalanya. “aku berpikir maka aku ada” adalah sebentuk hasrat pengakuan, meskipun bagi dirinya sendiri.

Barang kali hanya seorang nihilis yang tidak sepenuhnya. Tidak sepenuhnya , karena mendeclairkan tentang nihilispun adalah bentuk penyampaian ke-ada-annya.

Dan dimasa modern seeprti ini pengakuan menjadi salah satu tujuan dari setiap tindakan mausia. Apapun yang dilakukan manusia adalah mewujudkan satu ke-ada-an dalam diri dan lingkungannya. Terlebih dalam berkarya dan kerja.

Konon dalam kata-kata bijak, seseorang yang paling ada adalah orang yang paling memberikan manfaat bagi yang lainnya. Dan sebailknya, meskipun ia ada, ia tidak dianggap ada oleh kemanfaatan orang lain.

Keraiaman untuk menciptakan ke-ada-an manusia sering bertuburkan satu dengan lainnya. Dan untuk itulah semuanya kadang menegasikan. Walaupun disatu sisi saling mendukung.[]

[240708]

Martir

Ryan Sugiarto


Seorang anggota DPR yang menjadi ketua panitia Hak Angket BBM menyatakan siap menjadi martir. Lontaran itu ia sampaikan dalam sebuat acara televise. Dan itu yang kemudian ditangkap oleh lawan bicaranya waktu itu Ichsanudin Norsi, dengan perntanyaa: “martir yang mana”?

Bagi bang Ichsan martir itu ada empat. Martir secara politik, martir secara ekonomi, martir secara psikologis, dan martir secara hokum. Dan sang ketua hak angket ini tak sempat memjelaskan martair yang mana yang akan dia ambil untuk kasus BBM ini.

Terlepas dari itu, dulu kami sering menjadi martir. Martir bagi sebuah organisasi mahasiswa yang besar, tapi tak punya dana. Martir bagi sebuah kegiatan besar tapi loyo secara sumberdaya. Dan martir untuk agenda-agenda lembaga yang sedabrek demi kebangsaan pada lembaga.

Itu semua sudah kami lakukan dan kamui jalani pada tiap pergantian tahun. Dan juga kepengurusan. Bagi kami martir tak saja membawa lembaga kearah yang lebih baik dan diinginkan kemajuannya, tetapi juga menjag akesinambungan dan “kebesaran” lembaga. Waktu itu untuk sebuah persma terbesar didunia yang berbahasa Indonesia.

Martir. Barangkali dalam bahsa lainnya adalah allout. Bekerja dengan sepenuh apapun yang kita miliki. Hanya untuk tujuan organisasi dimana kita berada didalamnya. Ada sukannya dapula kepayahannya. Memang begitulah suatu hal. Seperti sisi keping koin.

Martir, seprti ada ketakjuban pada hal kerja. Yang kadang tidak ada dalam diri orang lain. Ia juga suatu kepenuhan dalam menjalankan kerja. Dan ia menghadirkan kepenuhan, karena ia menyajikan berbagai hal yang mungkin tak dimiliki orang lain. Karena ia menjalankan lebih banyak dari orang lain, sekali lagi dengan kepenuhan tindakan, dengan sukarena atau bisa jadi dengan keterpaksaan niat.[]

[240708]

Musim Tebar Janji dan Ancaman

Ryan sugiarto

Telah tiba musim tebar janji. Yang namanya partai politik dan juga calon anggota parlemen mulai menerbar janji-janji mereka di jalanan, diposter-poster, di acara debat tv, juga kampanye massa.

Dan mereka tidak sekedar mengobral, bahkan lebih. Membagi-bagikan yang namnya embel-embel untuk dipilihnya. “lips servis memang perlu bagi para politikus” begitu Amelia A.yani berkomentar dalam sebuah stasiun televise. Karena itu adalah senjata untuk merayu rakyat. Hanya dengan itu para pilitikus meraup suara, begitu lanjutnya.

Begitulan musim tebar janji ini muncul. Pun juga saat ini dan mungkin sudah beberapa bulan sebelumnya, tebar ancaman sudah dilakukan. Yang memeraintah atau[un belum memenrintah tapi punya kuasa bahkan sudah menerbar ancaman. Apapun itu.

Ada yang menggunakan dalil-dalik keagamaan, seperti surga dan neraka saja, ada yang menggunakan dalil-daili konstitusi, dan sebagainya. []

[240708]

Kesehatan Kita

Ryan Sugiarto


Seorang teman, sekarangwartawantempo, untuk skripsinya mengangkat tema tentang sosiologi kesehatan. Dia melakukan riset pada sebuah pusat kesehatan”sederhana” dikampus. Dalam salah satu pertanyaannya: seberapa sering kamu kontrol kesehatan?

Dan begitulah, seterusnya kita diingatkan akan peran kesehatan kita. Seberapa sering kita mengecek kesehatan kita? Untuk kemudian tahu apa saja sih bibit-bibit menyakit yang bersarang didalam tubuh kita. Terutama tentang bagaimana persepsi kita tentang badaniyah kita sendiri.

Blog seorang teman, saya dapati juga berbicara tentang kesehatannya. Terkadang kita juga lupa tentang kondisi kesahatan kita sendiri. Seberapa kuat tubuh kita bisa menerima kekebalan pada penyakit? Dan seberapa kuat lagi antibiotik tubuh kita bertahan dari serangan virus.

Dan ternyata, tidak semua kita terbiasa memeriksakan tingkat kesehatan kita, sebagai pratanda orang-orang modern. Dan atau mungkin, kita takut tentang apa yang kemungkinan penyakit kita. “kita takut, jangan-jangn kita tersandra vonis dokter: Anda sakit berbahaya”.

Lalu syock dan tak bisa berbuat apapun pada dunia. Di sandra oleh sebuah penyakit dan vonis dokter. Tetapi bukankah itu kepengecutan diri sendiri? Tak berani mengetahui kondisi kepenyakitan kita?

Hanya kepada yang maha punya kesehatan, kita berdoa: Tuhan Kesehatan adalah berkahmu yang paling agung bagi umat manusia. Maka limpahkan kessehatan kepada manusia, agar ia mengerti bahwa hanya padamu kesehatan disandarkan. []

[270708]

Kebaikan Mendatangkan Kebaikan

Ryan Sugiarto

Setiap yang dilakukan dengan niat baik, ia akan mendatangkan kebaikan pada kita. Begitu sebuah perkataan bijak yang sempat singgah dalam telingaku.dan begitulah yang kita kenal juga dalam ajaran agama-agama.

Kebaikan akan mendatangkan juga kebaikan. Namun adakah demikian yang ada didunia yang serba profane ini? Jika kebaikan selalu disalahartikan, jika pula kebaikan juga menjadi palang bagi kemajuan? Terlebih dikota berbuat baik kadangsangat jarang ditemukan didalamnya.

Suatu kali orang juga pernah mengucap pada saya “jangan terlalu baik pada orang lain. Kebaikan kita hanya akan menyusahkan kita” begitu pula yang sempat singgah. Hanya kita yang mempunyai keinginan untuk berbuat baik, terlalu baik, atau sebaliknya berbuat tidak baik.

Ajaran agama menilainya, tergantung pada kita. Dan itu yang bagi Tuhan sudah denial dari keinginan apa yang dilontarkan manusia”

Dalam Qur’an disebutkan semua perbuatan tergantung dari niatnya. Niat baik saja bagi Tuhan telah dicatat sebagai sebuah kebaikan, sedang niat buruk dalam pikiran kita, Tuhan tak akan pernah mencatatnya hingga perbuatan terlaksana.

Kebitulah sebuah ajaran-ajaran, kebijakan yang sellalu menyentuhk bagi kita semua, tentang kebaikan.

Dan, setiap perbuatan yang dilakukan dengan niat baik, suatu saat akan mendatangkan kebaikan pula bagidiri kita.[]

[210708]

Sabtu, 19 Juli 2008

Tanah adalah Jiwa

Ryan Sugiarto

“Tanah adalah jiwa seorang pria” begitulah yang sering terngiang dalam ingatan Josepth “Monthlight”, seorang komandan pemberontakan untuk merebut sebuah tanah dalam Far and Away.

Begitulah awal dari sebuah pencaraian akan kepemilikan sebuah tanah untuk manusia di Irlandia. Namun demikian tak di gambarkan josept melakan pemberontakan. Peada tuan Tanah Daniel Cristien.

Justru yang ada adalah usaha mencari tanah di amireka. “Inilah carai memperoleh tanah Gratis, hanya dengan modal kuda dengan kecepatan lari yang laur biasa, Anda bisa mendapatkan tanah yang diinginkan”. Dan sduah ditebak Joseph, yang diperankan Tom Cruis dan lawan mainya Nicole Kidman, berhasil mendapatkan tanah untuk digarapnya sendiri.

“Dan ayah akan tersenyum melihatmu dari surga,saat kamu mendapat dan menggarap tanahmu sendiri” ucapan ayah Joseph sebelum nafas terakhir.

Begitulah tanah. Harta tak bergerak dalam ilmu ekonomi, selalu menjadi penanda bagi sebuah keberadaan diri. Nilainya tak pernah surut, bahkan kian melambung. Dan tentu akan menjadi bagian dari setiap perebutan anak manusia. Siapa yang tak punya tanah, ia tak menjadi dirinya sendiri. Dan dari sinilah cikal-bakal dari setiap yang namanya kerja.

Dalam tarikan lainnya, dan dalam bahasa kita Tanah menjadi keramat ketika dipasangkan dengan kata air menjadi “tanah air”, “tanah tumpah darah”, “tanah pertiwi”. Dan dengan begitu ia menjadi prasyarat dari sebuah negara, tempat dimana ribuan keyakinan pandangan tentangnya merasa menjadi satu. Untuk yang satu itulah ia diperjuangkan dengan darah dan keringat. Besi dan juga sekaligus mimpi.

Lalu kita patut bertanya, apakah para founding father kita tersenyum dari surga atau sebaliknya, muram? Ketika tanahair kita, tak kita kerjakan sendiri. []

[190708]

Puasa Ulat

Ryan Sugiarto

Seorang Penjual Buku Asongan dalam sebuah bus. Ia menawarkan buku dagannyannya yang berjudul “Puasa Ulat”.

“Bahkan seekor ulat yang sangat menjijikkan bisa menjadi kupu-kupu yang cantik dan menawan,” begitulah selipan dari perkataannya seraya menawakan dagangannya.

Untuk menjadi kupu-kupu dengan sayapnya yang berwarna-warni. Dan tentu begitu indah, ulat melalukan puasa. Ia menyendirikan dirinya dari khalayak dan menjauhkan diri dari makanan. Ia berpuasa untuk membuat dirinya menjadi kuku-kupu.

Begitulah ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu. Ke-jijik-an menjadi keindahan. Merambat, berjalan lambat menjadi terbang melesat.

Begitulah puasa. Selalu menjadi jalan bagi perubahan dan metamorphosis bagi sebuah makluk. Kita, manusia, juga mengenal sebuah media metamorphose, ia juga dinamakan dengan puasa. Tentu dengan asumsi sesudah menjalani pusa, kita bisa menjadi indah seperti kupu-kupu. Kita bisa mencapai puncak keindahan manusia dengan rasa dan akalnya, menuju kesuksesan dalam ukuran manusia.

Puasa ulat tentunya memberi gambaran kepada manusai, tentang apa yang terjadi sesudah puasa. Pasca puasa yang dijumpai tak ulat lagi yang menjijikkan, tetapi seekor kupu-kupu yang menggairahkan.

Begitulah tentang pelajaran, apa yang harusnya kita peroleh dari puasa: kesuksesan bagi manusia.[]

[190708]

Menulis adalah Pekerjaan Seumur Hidup

Ryan Sugiarto

Sesungguhnya siapapun Bisa menulis. Dan tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk menulis.

Beberapa orang, dalam film-film, barangkali malu mempunyai memantu atau anak “hanya” menjadi seroang penulis. Dalam Film Cinta dalam sepotong Roti terdengar jelas “Mau jadi apa kau ini. Apakah anak istrimu tak akan kau beri makan, jika kamu hanya menulis terus,” kurang lebih demikian.

Ya, menulis bagi sebagian besar masyarakat kita dianggap bukanlah pekerjaan. Bukan Profesi yang menjanjikan. Walaupun kadang demikian adanya.

Manun bagaimaapun menulis adalah sebuah pekerjaan. Bahkan Pekerjaan seumur hidpun. Kita seorang pegawai negri dan juga sewasta dibatasi oleh masa pensiun, oleh pemerintah dan juga instansinya, tak ada yang bisa membatasi orang untuk tetap menulis.

Pekerjaan penulis adalah pekerjaan seumur hidup. Bahkan menulis bukanlah pekerjaan yang menjadikan dirinya sendiri, tetapi ia menjadikan sebuah msyarkat. Tidak seperti pekerjaan pada kantor-kantor yang teknis dan administratis, semua hasilny adalah dalam rangkan menjadikan dirinya sendiri. Menjadi lebih kaya, menjadi lebih berpangkat. Tetapi penulis jauh lebih dari itu, ia menjadikan kebangsaan. Dan ia selalu memiliki rumah. Setiap penulis memilikirumahnya sendiri.

Siapa bilang menulis tidak kaya, bahkan jauh lebih dari itu ia telah membentuk masyarakat.

Begitulan pekerjaan penulis. Pekerjaan seumur hidup dan pekerjaan yang menjadikan kebangsaan dari hasil kerjannya.[]

[190708]

Ketidaksadaran

Ryan Sugiarto

Seorang teman, setelah beberapa minggu siuman dari pingsannya pernah berujar pada saya. “Saya menikmati ketidaksadaran saya” begitu kayanya.

Kawan ini mengalami kecelakaan mobil yang mengakibatkan dia menjadi tidak sadar dalam beberapa hari. Lontaran itu ia ucapkan sembari berlatih memngingat-ingat kembali tentang apa yang telah ia lalkuakn dan ia hafat sebelum kecelakaan itu terjadi. “Saya sedang kembali mengingat tentang teori-teori sosiologi saya. Apakah masih hinggap dikepala,” itu lanjutan dalam pembicaraan kami didepan pintu rumah.

Ia hanya bisa mengingat beberapa jenis dan warna suara yang hinggap ditelingannya. Ketidaksadaran yang membahagiakan oranglain, hampir tak pernah ada. Walau demikian bagi diri hanya bisa dinikmati oleh diri sendiri. []

[190708}

Gambar pada Tepi Catatan

Ryan Sugiarto

Ada jalan yang semakin mengecil, senuju titik

Lingkaran yang terus mengecil hingga menyerupai titik

Catatan-catatan pada bulatan yang juga sebuah titik besar

Semua sistem tata suryanya adalah rangkaian dan penggelembungan dari titik-titik

Juga lima jari-jari yang yang nampak seperti lingga yang berjajar

Dan rumpu liar, juga burung-burung yang tertumput menoleh kekanan dan kiri berjajar

Tangga-tangga tak beraturan

Pun daun-daun putih berarsiran

Terangkum dan dimulai dari itik hitam dan putih

Yang dari titik memulai menjadi garis, dan lengkung dan lalu menggelap tebal

Gambar pada tepi catatan. Setiap tepi bebas melakukan apapun. Justru ia lebih dominan dati yang namanya pusat. Tak ada pusat jika tak ada tepi. Jika mau membuat tirani, tirani mayoritas adalah tepi. Jumlah tepi bahkan lebih dari pusat.

Tetapi begitulah dengan setiap tepi. Ia menjadi pelindung dan juga peyangga dari yang dinamakan setiap pusat, tepi tak sekadar kanan dan atau kita, juag adalah serong yang menjadi tepi.

Bahkan tepi selalu menamai keindahan, lihatlah laut pada tepinya: penuh dengan kecerahan dan canda tawa.

Liatlah juga negara pada tepinya: penuh dengann ketegangan dan pengabdian.

Lihat pulalah jalan pada tepinya: keteraturan orang yang berjalan.

Jika mau lihat, litalah tepi pada catatan: ada lukisan disana.

Setiap tepi tak akan pernah terganti.

[]

[190708]

Dalam Dongeng Semuanya Tampak Hebat

Ryan Sugiarto

Memang begitulahcara orang tua jaman dahulu mewartakan keberanian-keberanian, nilai kebaikan dan juga hal-hal sebaliknya kepada genersai sesudahnya. Seperti tentang bagaimana kelicikan dan sekaligus juga kecerdasan seekor kelinci, yang karenanya dapat memerintahkan buaya-buaya ganas.

Atau seekor anak bersisik ular “baru klinting” yang membuat danau dan rawa dari sebuah lidi yang berhasil dia cabut, karena sayembaranya.

Juga sebuah kupu-kupu yang dengan kepakan sayapnya secara bersama-sama menghasilakn badai yang kuat. Sebuah akibat yang luar biasa. Simak saja film The Buterfly Effect.

Dalam dongeng kita menemukan kehebatan-kehebatan pada seekor binatang. Ia memberikan pelajaran dimasa kanak-kanak. Juga membuat lelap. Dongeng menemani suasana sebelum tidur, dengan kehebatan-kehebatan cerita dan penuturnya.

Animal Farm Vs Babe

Ryan Sugiarto

Inilah dua film dengan setting tempat dan suasana sama, tapi beda nuansa ideologis. Ya, Babe dan Animal Farm menggambarkan itu.

Kesamaannya, kedua berlatar pada sebuah peternakan keluarga.bermacam jenis binatang ada didalamnya. Dan tentu sebuah keluarga peternak. Tokoh sentralnya tetap seekor babi. Yang bagi sebagian makluk lainnya menjijikkan, lucu, atau malah cerdas.

Animal Farm, sebuah cerita yang diangkat dari novel. Dengan suasana pemberontakan pada pemilik peternakan. Didalam ada nilai nilai pemberontakan pada pemilik ternak, dan juga penghianatan pada perjuangan kaum hewan ini.

Anda tentu pernah membaca novelnya, atau menonton filmnya. Pada masa pergerakan mahasiswa ini adalah film dan sekaligus buku pegangan yang wajib ditonton dan dipelajari oleh kaum peregrakan mahasiswa. Ia menyodorkan semangat menggugat pada ketidak adilan pada kaum hewan. Dan tentu menggambarkan negeri manusia juga. Berbagai strategi perjuangan dilakukan tokoh dalam film inihingga mereka memiliki kekebasan. Bebas dari pemilik ternak. Bebas menentukan dilahan mana mereka memilih hidupnya.

Tetapi didalamnya tetap ada sebuah persaingan atar hewan. Penghianatan dan juga penelikungan. Dan ungkapan “Ingat, setiap perjuangan selalu melahirkan penghiatan” selalu menemui relevan dimanapun.

Dalam film Babe, aktorenya tetap sama. Seekor babi. Tetapi bukan lagi pemberontakan pada pemilik peternakan, atau pemberontakan pada usaha membebaskan diri. Alih-alih seperti itu, ini adalah sebuah film tentang kesetiaan dan juga pengerobanan seekor babi, yang bernama Babe kepada majikannya.

Ia diprovokasi untuk menggantikan anjing penggembala domba pada sebuah peternakan. Setiap Tahun akan ada perlombaan ketangkasan anjing dalam menggembala domba. Memerintahkan dan mengawasi domba-domba dalam setiap penggembalaan, hingga memasukkan kedalam kandang-kandang domba.

Karena sang anjing sudah tua dan tidak memiliki tenaga lagi, maka Babe, yang seekor babi remaja, dipersiapkan menggantikan anjing dalam mengikuti perlombaan ketangkasan anjing penggelbala.

Namun didalamnya selalu ada persaingan. Seekor kucing iri karena Babe memperoleh perhatian lebih dari majikakannya. Berbagai proviokasi juga dilontarkan si kucing kepada Babe “kamu hanyalah tak lebih dari seekor babi, yang dimanfaatkan majikan untuk nama baiknya” begitu kata kucing.

Babe menjadi sedih dan lemas.

Disinilah letak kesetiaan babe diuji. Perlombaan dimulai dan ditengah lapangan Majikan menjadi bahan tertawaan seluruh penonton se setadion, karena telah mengajukanBabe seekor babi untuk mengikuti perlombaan.

Pada mulanya Babe tak tahu bagaimana bahasa domba-domba ini agar menurut. Seekor anjing menjacari kalimat pada anjing majikan yang tergolek sakit. “ancaman dan perkataan apa yang diaucapkan kepada domba-domba agar menurut”. Dan agar majikanmenjadi berharga dimata penonton. Tidak menjadi bahan tertawaan.

“patuhlah pada perkataannku, agar kawananmu selamat” kira-kira begitu.

Dan itu pulalah yang diucapkan babi itu. Sehingga para penontoh dibuat tercengung dan tertegun menyaksikan para domba-domba menjadi penurut. Menurut pada perkataan babe tadi. Pemilik dan Babe menjadi pemenang.

Dua film denga nilai ideologis berebda. Pemberontakan untuk kebebasan dan kesetiaan untuk sebuah prestasi (majikan). Semuanya selalu seperti itu. Bahkan mungkin ada nilai agama didalamnya. []

[190708]

Lantunan dan Kerinduan

Ryan Sugiarto

Kerinduan kadang muncul untuk mengalunkan nada-nada keindahan tuhan dan juga kebersanaan. Bahkan juga disaat “hanya mendengarkannya”.

“kita charge ruhani kita”,” lontar seorang teman ketika kami berkumpul dalam kenduri sastra dalam peringatan haul Mas Zaenal Arifin, semoga Tuhan menjaganya. Pada saat para sastrawan yang belum bernama, sampai yang tak muat lagi namannya dimedia msa, berkumpul lantunan nada kebesaran tuhan itu mengiang lagi.

Pada sebuah rumah kontrakan, yang kami namakan pondok, kami selalu melantunkannya pada hari yang terjadwal. “Satu Atap” menjadi salah satu didalamnya. Keindahan bahasa dan nama-nama Tuhan dan juga segenap penyampai wartanya kami junjung tinggi dalam nada yang mencapai ekstase keruhanian.

Keindahan syair dan liriknya membuat kami menjadi masuk lebih dalam tentang yang dinamakan kekusyukan. Demikianlah agama bersenandung bersama Satu Atap.

Maka jika ada agama yang menolak syair, sesungguhnya dia lupa pada setiap keindahan bahasa yang dibawanya dalam kitab suci. []

[190708]

Minggu, 13 Juli 2008

Tuhan “Yang Terberi”

Ryan Sugiarto

Pencarian “yang satu” oleh para filosof Yunani hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Ibrahim ketika mencari-cari Tuhannya.

“Yang Satu” ini mula-mula bagi para filosof Yunani ditafsirkan berlainan.Thales misalnya menamakan yang satu ini adalah air, segalanya berasal dari air. Air yang mengalirkan benih-benih ke seantero jagat dan membuatnya tumbuh. Parminedes menyebut yang satu ini adalah api, yang bergulung-gulung, yang setelah sekian lama berpencar, yang sifatnya pekat menjadi matahari, bulan dan bintang dan yang agak longgar menjadi bumi. Lainnya, filosof yang maih terkait denga filsafat alam “Anaximenes” menyebut yang satu ini adalah udara. “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain dari pada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini menjadi satu,” demikian kata Anaximenes.

Dan filsofor terakhir menyempurnakan ketiganya, Empedokles” dengan menyebutkan keempat unsurnya, ditambah dengan tanah, dan menyebut keempatnya adalah hanya anasir saja. Dan itu akan timbul dan hilang. Dan yang satu bagi Empedokles adalah cinta.

Begitulah filosof-filosof awal masa Yunani mencari tahu tentang “yang satu”. Persis apa yang dilakukan oleh ibrahim ketika harus mendaki puncak gunung tinggi, hanya untuk mencari siapa tuhan itu. Ketika melihat bulan, ibrahim berkata “oh, inilah tuhan bulat sempurna, dan indah luarbiasa” tapi ketika pagi menjelang dan bulang menghilang, ia berkata “ini bukan Tuhan, Tuhan tidak pernah hilang.

Ketika bulan berganti dengan Matahari Ibrahim berkata “ ya…ya…inilah Tuhan, ini lebih besar dan lebih bertenaga. Lebih terang”.

Namun ketika malam menjelang, dia pun juga berkata “ Tuhan Tidak mungkin hilang”

Itulah pencarian-pencarian “yang satu” yang berasal dari manusia itu sendiri. Berasal dari akal pikiran yang bekerja. Dari pemuasan rasa keingintahuan yang di-terpuaskan. Pikiran yang tidak tidur dan terus mencari.

Ibrahim, dan juga pencari “yang satu” lainnya, hingga para filosof Yunani awal melakukan demikian.

Kini “yang satu” setelah berabad-abad dari zaman Yunani ini telah terberi. Yang satu telah terberi oleh mereka yang menamakan orang tua. Atau bahkan keluarga.

Tak ada yang mencari yang satu dari akal pikirnya sendiri. Demikianlah agama dengan tuhan yang terberi. Yang terberi seringkali hanya (bahkan) menjadi konsumsi. []

[050708]

Times

Ryan Sugiarto

Adalah sebuah toko buku yang menghadirkan suasana nyaman, jika kita berda didalamnya. Berada ditengah-tengah Lippo Vilage. Disamping universitas Pelita harapan dan depan Mall Karawaci.

Seluruh isinya adalah terbitan luar dengan bahasa aslinya. Kecuali rak paling sudut yang berisi buku-buku indoensia terkemuka,.

Ada arena bermain untuk anak-anak, ada area baca yang membetahkan. Ada juga ruang spot dan café disampinya. Karena demikian menjadi agak sulit terjangkau oleh kalangan ekonomi menengah-menengah kebawah.

Buku-bukunya merupakan jaminan kualitas dari pemikir-pemikir, sastrawan, ekonom, dan penulis dunia. Jaminan nobel, book priece, dan lainnya. Ini memang untu kalangan “hightclass”. Hanya bisa dijangkau dengann uang yang tak sedikit.

maka sebenarnya ini adalah tantangan baru bagi dunia perbukuan di Indonesia. Dengan harga yang sangat malah seperti ini, bisakan Times bertahan dalam keuangan warganya. Apalagi yang bekeinginan untuk melahab buku berkualitas luarnegeri.

Dulu dimasa yang pernah ada, pernah terjadi tragedy toko buku berkualitas tutup, karena tak ada jangkau pembielinya. Toko buku ini dari segi buku, hanya memampang buku berkualitas. Tapi apa daya, kualitas buku saja tidak menjamin sebuah bisnis berjalan dengan lancer. Bahkan untuk bertahan menjadi terasa susah juga.

Memang demikian dengan kehidupan perbukua di Indonesai, yang berkualitas tinggi, berharga mahal dan tak terjangkau. Tetapi begitulah endapan pemikiran ini selalu mentok ditingkat pasar.

Yang meledak adalah buku-buku yang ringan dan hanya waktu singgkat penulisannya. Kata orang “how to” menjadi meledak di para pembaca Indonesia. Dan selalu menghasilkan uang yang berlipat-lipat bagi penerbit dan juga tokonya.

Lalu dengancara apa kita meningkatkan kualitas perbukuan dan bacaan kepada pada masyarakat kita? []

[110708]

Soal Visualisasi Buku dan Mental Psikologis

Ryan Sugiarto

Kemarin setelah mengunjungi toko buku yang, Times, saya terlibat perbincangan yang agak seru. Saya berkata”secara visual, ketika masuk ke bagian fiksi, saya menemukan hal yang berbeda dari sebuah buku. Toko buku pada umunya belum pernah saya menjumpai visualisasi buku yang sedemikian.

Di Times, toku buku0buku berbasa inggris, bukunya serasa berbeda, dari segi vusualisasi kulit muka dan kemasan.Summacher benar dengan mengatakan “little is bueatiful”, kecil itu indah, jika saya terapkan pada buku-buku keluaran asing ini.

Lalu teman saya mengatakan demikian. Dan sesaat lagi “janga-jangan ada pengaruh spikilogis dengan penilaian ini”, tuturnya. Ada kondisi mental bekas jajahan yang bisa jadi mengakibatkan hal seperti itu. Bahsa sederhanyanya mungkin minder.

Rasanya tak sejauh demikian, apresiasi bahwa yang asing itu lebih, tak selamanya. Jadi ini adalah, anggap saja penilaian oaring yang tidak mendalam dalam seni. Ini adalah padandnagan pertama tentang visualisasi sebuah buku yang belum pernah dijumpai di negeri sendiri. “orang kita yang mencoba menurinya juga tidak menimbulkan taste yang sama keitika melihat buku-buku semacamini. Bahkan dalam cover-cover terjemahan dari bahasa aslinya.

Maka demikian sesungguhnya bagi saya tak ada rasa minder dalam setiap penilaian. Justru itu adals semacam kekaguman yang alami tentang “temuan” terhadap hal yang baru, tentang sebuah visualisasi buku. []

[110708]

Senja di Kuta

Ryan Sugiarto

Senja selalu dinantikan di kuta. Selain menanti petang sembari matahari mengucap salam perpisahan untuk siang ini, akan kita temui dimulainya sebuah upacara.

Ya, ritual clubing. Tentu pasing pinggiran pantai ini. Ritualnnya dimulai dengan bebunyai perkusi dan gendang sang sangat rancak, seperti halnya capoeira dimainkan. Dan sesaat kemudian, para penari memeragakan nilai tarinya dari tingkat basa-basi sampai menjelang malam mencapai kepuncakan ekspresi. Extase dalam ritual.

Tak ada yang aneh dengan hal-hal semacam ini. Ini hanyalah sebuah upacara, dimana kenikmatan akan alam dan kedirian dirayakan dengan terbuka. Dimana kenyataan kehidupan siang, dan selepas ritual tak perlu terpikirkan.

Senja di Kuta adalah tanda, ajakan kepada extase ekpresi manusia menghadapi keadaah dalam gelap dan sapuan air. []

[120708]

Satu Buku Untuk Sesama

Ryan Sugiarto

Iklan layanan ini ternyata menyentuh juga. Dan sebagian kemudian berbondong-bondong memberikan buku-bukunya untuk bagian dari diri kita yang membutuhkan. Buku memang aklan selalu menjadi penerang dan pencerah harapan bagi manusia. Tak terlebih bagi yang kekurangan, bahkan bagi mereka itulah pencerahan yang sebenarnya.

Donasi buku. Itu yang kemudian terlontar dalam diskusi millis beberapa kawan di jagat maya. Memang demikian adanya pemberian satu buku untuk sesame mendandai pentingnya kepedulian kita mengangkat dan membudaya car abaca kita.

Merekalah keluarga kita. Kira-kira demikian. Ayah Edi, salah satu motivator indonesia, meski tidak begitu nyangkut dengan tema kita ini menyatakan “Indoneia strong for home”. Membangun Indonesia yang kuat dari rumah. Dari hal-hal yang kecil.

Kepedulian membawa kita pada pencerahan yang seharusnya terjadi dari buku. Membagi buku untuk yang tak mampu. Apapun itu. Tak hanya buku-buku pelajaran sekolah, karena buku wacana umum juga penting bagi perkembangan otak anak. Siapa tahu lahir-Soe Hok Gie baru yang sedari kecil suka membaca buku-buku berat, atau putu wijaya yang sedari remaja panda berolah kata dan lainnya-dan lainnya.

Buku semoga menjadi penanda dari kebangkita kecerdasan akan keaksaraan kita. Dan sekaligus kecerdasan untuk watak sosial manusia. Dan menjadi tafsir bagi segalanya. Karena yang ada pada alam ini bermula dari tafsir, begitu GM merevi statemennya bahwa pada mulannya adalah kata.

Tafsir dan kata menjadi kumpulan dalam bahsa dan terdokumentasikan dalam buku. Inilah yang membatu perbaikan adab manusia. Seharusnya demikian.[]\

[020708]

Philosophia

Ryan Sugiarto

Philosophia: cinta kebenaran dan berpikir merdeka tanpa tiada dibatasi kelanjutan. Begitu para filosof alam pertama kali mendendangkan sebuah pengetahuan. Dan itu pula yang ditangkap oleh Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Yunani, yang menjadi “mas kawin”pernikahannya pada usia 40 tahun.

Filsof alam ini adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang pertama-tama berpikir tentang pengetahuan, tidak hanya mengapa atau bagaimana. Tetapi jauh lebih dalam adalah “apa”, “dari mana “dan “kemana”. Itulah salah satu dasar dari filsafat alam para pemikir Yunanni, yang juga para perantau-perantau.

Semuanya masih menjadi university yang sejati. Tak ada fakultas atau juga jurusan. Karena itu sesunggunya pada kemjuannya waktu ada pengurangan dari makna universitas kita. Universalitas ilmu dikungkung dan dibatasi kelanjutannya. Ia tak lagi bersifat philosophia.[]

[020708]

Pesta ?

Ryan Sugiarto

Sejumlah 43 partai politik baru dan 15 partai yang mempunyai kursi di parlemen mulai menyiapkan ancang-ancang untuk memuluskan langkahnya di kursi-kursi kekuasaan. Berbagai cara sukses mulai disiapkan dan digodok.

Konsolidasi akar rumput, anak organisasi dan sayap-sayap kepentingan juga digerakkan. Termasuk tim kreatif kampanye. Selebaran, spanduk, foto hingga produksi rekaman audio-videopun tak ketinggalan. Termasuk juga strategi kampanye gelap. Saling serang, dan saling jegal mulai diterapkan. Begitulah cara-cara para peserta pentas perebutan kekuasaan merebut hati pemilihnya.

Anehnya dulu pemilu disebut-sebut sebagai pesta rakyat. Kenapa rakyat berpesta dan menghamburkan suara? Konon karena rakyat menghamburkan suarannya untuk menentukan arah kemajuan negaranya. Begitukah? Ah tidak juga rasanya. Ia, paling tidak, hanya membantu yang mananya orang-orang partai menggapai kuasa negara.

Tak ada pesta yang sesungguhnya bagi rakyat. Memberi suara pada pemili justru sering menjadi dilema. Kadang menjadi ajang perselisihan antar kelaurga dan handai tolan, jika diantara mereka tak ada kematangan soal perbedaan cara pandang saol pilihan politik.

Pun juga tak jarang menjadi ajang pertengkaran fisik yang berlebihan atas nama warna bendera partai. Atau merayakan tebaran jani-janji para suksesor paratai. Selebihnya tak ada. Setelah selesai? Akar rumput yang cuci piring, dalam pesta semu baginya.

Yang tersisa ingatan, mereka berbeda pilihan dengan saya soal warna bendera paratai. Dan begitu tertanam dalam benak.

Kemudian para partai mulai membagi-bagi kuasa yang dibangun oleh suara-suara pemilihnya. Dan yang diatasnamakan rakyat mulai ditinggal, tak diikutkan dalam gerbong perencanaan kemenangan.

Begitulah pemilu selalu bergulir. Belum memberikan pesta yang sesungguhnya bagi rakyat. []

[080708]

Perhatian Memberikan Nilai Harga

Ryan Sugiarto

Jika sesuatu kita beri perhatian, maka ia akan menjadi berharga. Demikian sebuah ungkapan seorang motivator. Pada saatnya semua yang kita memberikan perhatian yang lebih kepadanya, akan akan memberi nilai lebih kepada kita.

Hal-hal besar kadang mulai sesuat kecil dan sesuatu yang bagi sebagian lainnya adalah hal yang remeh temeh. Sukunan, misalnya, “hanya” memulai dengan sebuatu hal kecil walaupun itu dalah pemikiran yang besar. Memilah sampah. Penduduk disana membaginya menjad tiga, organi, an organik, serta kaca dan besi. Pada sudut-sudut lingkungan berada tiga tong besar bagi warganya untuk mengumpulkan disana.

Mulanya pemisahan dimulai dari rumah tangga, semuara anggota keluarga melakukan pikiran dan tindakan besar ini. Hingga tak ada yang bernilai sampah dalam masyarakat sukunan, barang yang disebut sampah, menjadi barang ekonomis dan bernilai jual ekonomi, juga bernilai pelestaraian ekosistem, dan penyelamatan lingkungan.

Sesuatu yang kecil, akan memberikan nilaih haraga pada diri kita. Pupuk dan rawatlah apa yang kamu anggap bisa memberi haraga lebih dari sekadar uang. Karena perhatian kita akan mengubahnya bermanfaa pada diri kita kemudian. []

[120708]

Perempuan [kota] dan Ekspresi Kemarahan

Ryan Sugiarto

Dalam dua hari ini, saya menyaksikan dua orang perempuan berbeda dengan sangat lantang berteriak dan menuding muka seorang petugas. Pertama dalah seorang petugas keamanan pada sebuah pusat perbelanjaan, dan kedua adalah petugas parkir pada kawasan perkantoran.

Secara sepintas lalu, saya menjadi tertegun menyaksikan kedua peritiawa yang berlainan waktu ini. Paratama, seorang ibu memaki-maki petugas keamanan di sebuah pusat perbelanjaan, entah apa sebab, dengan kata-kata yang dalam telinga saya terdefinisi kasar. Ibu, ini kemudian keluar, dan lalu masuk lagi, hanya untuk memeriaki petugas tadi dengan kata-kata yang lebih kasar lagi. Sembari menunjukkan alas kaki ke muka sang petugas. “Kepalamu harusnya disini, bahkan tidak lebih baik dari “….”, ujarnya dengan raut muka yang bersungut-sungut.

Kedua, seorang perempuan muda, mungkin baru beranak satu, kira-kira umuran anaknya satu atau dua tahunan. Pada sebuah tempat parkir. Dengan sangat keras dan bersemangat melontarkan bentakan kepada pemuda-pemuda lajang, petugas parkir. “Sudah diam, kamu tak usah bicara. Diaaaaam,” begitu bentaknya.

Nyonya ini kehilangan helmnya. Mungkin juga helm mewah kesayangnnya. Sehingga dengan segala usaha, termasuk membentak tukang parkir ini, haru memperolehnya kembali. Karena pada suatu siang, orang yang mengaku temannya, meminjam helm tersebut. Dan kedua pemuda ini hanya percaya saja.

Segala lontaran kemaraha teralamat kepada tukang parkir ini. Memang merekalah yang bertanggungjawab, paling tidak, atas segala titipan diparkiran, mungkin juga selain sepeda motor.

“Hem itu adalah barang sangat pribadi Tauuu! Seperti pakaean, tak boleh dipinjam-pinjamkan begitu saja,” begitu argumen perempuan muda ini.

Dan sebelum marahnya reda, seorang pengendara motor dengan santai datang dan mengembalikan hel tersebut. Saya tak tahu harus membayangkan seperti apa expresi transfer kemarahan, dari tukang parkir kepada pengendara motor yang membawa dengan sengaja helm pemermpuan muda ini.

Begitu dua perempuan pada waktu yang berbeda, dengan kebebasan berekspresi mencaci dan memaki (barangkali) sebuah kesalah kecil yang dilakukan orang lain.[]

[120708]

Pak Kelik

Ryan Sugiarto

Ada banya pengistilahan bahasa yang bisa digunakan untuk menggores perkataan tentang tokoh yang satu ini. Tetapi banyak juga diantaranya yang susah untuk digambarkan dengan jelas. Satu kata yang sesuai misalnya “abstrak”. Ibarat hasil karya, tokoh yang satu ini adalah aliran abstrak.

Ia punya banyak rekam jejak peristiwa diseputarannya, lintas tahun, juga lintas generasi, tak untuk dikonsumsi, juga buka jembatan komunikasi. Tetapi terpendam. Ia adalah sejarah hidup bagi seputaran bulaksumur yang dekat dengan dunia kemahasiswaan.

Sebagai sebuah karya ia tak hanya sebuah hasil. Tapi juga otonom yang menghasilkan. Rekaman pementahuan dan dokumentasi yang kuat memudahkannya membuka lembaran-lembaran sejarah, menjadi bacaan. Juga picingan kamera-pinjaman-nya, menghailkan potret-potret dengan nilai tinggi. Lukisannya juga telah menetas, meski tak rutin, mulai dari kanvas, sampai kayu pintu, adalah sasaran imajinasi. Bahkan yang paling abstrak dia mendefinisikan tipe-yipe perempuan disekelilingnya, mseki jugalintas generasi.

Jika boleh mendefinisikan sebagai profesi, maka beliau ini adalah satu dari sekian generasi multitasking. Menggambar bisa, memotret, menulis, bertanam, kerja dokumentasi, pustakawan, pengamat, “kritikus”, “intrikus”, teknisi, montir, dan lainnya. Entah apakah ia juga masih mengilmui hidrologi. (www. fotoesai.blogspot.com)

Tetapi dia juga (mungkin) filosof untuk dirinya sendiri. Berani mendefinisikan kebahagiaan hidup, diluar definisi yang disandang orang lain. Meski tak terlontar dalam ucapannya, tidakan dan lakunya mengatakan demikian.

Pun Ia adalah kolektor. Motor kesayangannya adalah tanda dimana ia meronta pada lahar dingin merapi, yang hampir saja menyeret dua taknya, hingga kini masih ada. Sekian kemasan visualisasi bungkus rokok ada dalam lemarinya.

Kehidupannya adalah soal lingkungan kaum muda. Sehingga yang dipikirkan adalah soal pikiran anak muda. Ia merekam semuanya. Segala intrikan dalam organisasi maupun komunitas di lingkungannya. Sembari berharap, suatu saat Ia menuliskan apa yang tak diketahui generasi “jagung” untuk belajar tahapan sejarah komunitas. []

[120708]

Mimpi-Mimpi akan Menaklukkan Dunia

Ryan Sugiarto

Negara tak selalu hanya berdiri atas besi dan darah. Ia tetap tegak dan kukuh berdiri ats mimpi dan atau imajinasi. Karena hanya dengan mimpin dan/ imajinasi ia bisa berdiri dan menyambangi komunikasi dengan dunia luar.

Demikian juga negeri ini, ia dibangun atas pondasi-pondasi impian. Bermula dari sumpah palapa patih Gadjah mada yang memimpikan menyatukan seluruh nusantara dalam satu kesatuannya. Dan pda msa modern kemudian itu ditangkap oleh para pendiri revolusi negeri ini dengan menderikan sebuah negeri yang membentang dari sabang sampai merauke. Sukarno tak hanya menggunakan kekuatan senjata, tetapi juga mimpinya membangun negara yang kuat dan berwibawa.

Demikian sebuah mimpi selalu menginspirasi langkah demi langkah perubahan dalam perjalan peradaban manusia. Tak heran, kalau kemudian bermimpi menjadi kebutuhan orang untuk mencapai keberhsilan.

Mimpi memberikan energi. Mempi menjembatani. Dan mimpi menjadi sumber bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik. Begitulah kekuatan mimpi dalam manusia.

Saya sempat menyesal mengutarakan kepada kwan-kawan segenerasi dulu, bahwa “saatnya kita tak bicara tentang mimpi. Dan mulai bergerak”. Lontara itu muncul ketika menggawangi sebuah media mingguan di kampus.

Namun setahun kemudian saya harus meralat dan kemudian mendengungkan kembali betapa pentingnya membangun mimpi-mimpi itu kepada sesama. Setahun, ketika menjabat posisi yang lebih tinggi mengatuai organisasi, mimpi-mimpi kembali menyesaki dan menonjol-nonjol untuk segera di dengungkan kembali. Mimpi menjadi kekuatan yang luarbiasa untuk membangun kekuatan yang lebih besar, menyongsong keadaban yang lebih baik.

“Jika tak mau bergerak maju, maka tinggalkanlah mimpi-mimpi.” Dan berjalanlah apa adanya. Hanya akan didapati kekosongan dan kegersangan dalam diri. Maka demngan demikian mimpi adalah ruh perjalanan manusia. Petunjuk tentang tempat atau tujuan besar bagi sebuah perjalanan.

Mimpi adalah [eta dan agenda kerja bagi anda untuk setahab demi setahan anda mecapainya. Jika tidak demikian, maka mimpi menjadi keajaiban dan keburuntungan bagi Anda, karena ia akan datang disaat dimana kita tak akan menyadarinya. Ia kadang datang begitu saja. Namun ia akan lebih manis jika kita mengusahakannya, dan menikmati mimpi-mimpi itu pada waktunya.

Mimpi adalah awal bagi perjalanan. Dan ia sekaligus akhir dari pencapaian, dan sekaligus awal dari mimpi-mimpi yang baru. Karena itu teruslah bermimpi. Hanya orang-orang yang berpikiran besar yang berani bermimpi.[]

[060708]

Menyebar Buku adalah Kekerasan? Ahh!

Ryan Sugiarto

Menyebar buku (ahmadiyah) adalah kekerasan. Itu salah satu komentar dari Kiayi Nurr yang sempat terekam dalam televise dalam acara debat soal SKB.

Pernyataan itu tentu adalah satu kejutan tentang buku. Adakah kekerasan dari sebuah penyebaran buku? Sebenarnya juga pertanyaan yang usang, pernyataan bahwa penyebaran buku, dalam hal ini adalah buku-buku ajaran ahmadiyah, adalah kekerasan adalah hal yang familiar dengan tradisi pemikiran orde baru.

Saat dimana sebuah buku dan juga pemikiran seseorang dikekang oleh sebuah kekuasaan.diman sebua buku yang tida dikehendaki oleh pemerintah dibakar dan dihilangkan dari peredaran.

Sama seperti buku-buku Karl Marx, dimasa orde baru, buku ini dilarang peredarannya. Justru yang demikian, mungkin juga kpelarangan atau pernyataan itu, adalah kekerasan dalam bentuknya sendiri terhadap buku.

Dijogja, ketika masa buku dilarang beredar, buku-buku Marx juga dilarang disana. Meski demikian, karena pengertian akan buku yang luarbiasa dri Sultan waktu itu, buku-buku terkait komuniske ini tidak dibakar. “hanya: diruangkan diperpustakaan daerah, malioboro, dengan gembok yang luarbiasa besar. “melindungi agar setiap buku tidak hilang. Karena ia begitu berharga bagi sebuah pemikiran”

Kekerasan terhadap karya intelektual semacam ini sangat disayangkan, apalagi oleh pemuka agama dan atauh bahkan intelektual.

Bukankah setiap tulisan adalah seperti halnya berdiri sendiri. Ia tidak terikat oleh apapun. Ia mulai hidup ketika dibaca dan dipahami. Maka disinilah dibutuhkan pencerdasan pembacanya. Tidak hanya soal buku yang dibaca, tetapi juga pematangan manusia akan keadaan.

Dan itulah yang selaiknya diberikan pencerdasan. Kepada manusiannya. Bukan pada buku yang kemudian dilarang. Jika seperti itu berpolemiklah. Tulisan dibalas dengan tulisan. Tesa dengan antitesa. Dan seterusnya. []

[070708]

Menang tanpa keajaiban

Ryan Sugiarto

Keajaiban tak datang setiap saat. Meski kita membutuhkan. Itu yang terjadi pada tim Turkey pada perhelatan besar piala eropa 2008. Seorang pendukung berat negara yang bepadu antara budaya timur tengah dan eropa ini berucap kepada pelatinya, Fatih Terim, “Terim terkasih, kami ingin melihat tim ini menang tanpa keajaiban” demikian tulis Kompas.

Menang tanpa keajaiban. Banyak orang bilang turki bisa melaju pada perempat final karena keajaiban yang datang pada mereka. Namun disaat-saat mereka membutuhkan keajaiban untuk menuju final, justru keajaiban tidak berkenan datang.

Demikianlah adanya memang. Keajaiban tak akan datang setiap saat. Karena jika ia datang setiap saat, ia tak lagi datang sebagai keajaiban.

Maka menang dan atau berhasil, tak akan selalu mengharap keajaiban bersemanyam dalam diri. []

[070708]

Media dan Upaya Mengingat Sejarah

Ryan Sugiarto

Belakangan ini sebenarnya bisa kita baca tentang bagaimana media membangkitkan memori masa silam. Tepatnya tentang sejarah perjalanan panjang indonesia sebagai sebuah bangsa.

Tentu kita masih ingat, hari kebangkitan nasional yang diperingati secara meriah dan besar-besaran. Dan terakhir ini adalah peringatan hari kebangkitan yang pernah ada. Sejauh ingatan saya tentang harikitnaas ini, tak ada yang diperingati secara nasional apalagi melibatkan seluruh stasiun televisi dinegeri ini.

Kemudian, bulan-bulan mei hingga Juli ini, media kembali menyuguhkan kepada kita tentang episode-episode dramatis perjalanan kebangsaan kita. Upaya mengingat yang terlupakan ini memang menjadi penting , mengingat beberapa bulan kedepan bangsa ini menyongsong kembali pergerlaran pemilihan langsung.

Media menyodorkan beberapa tragedi pelengseran demi pelengseran presiden yang dilakukan oleh rakyat, serta episode romantis lainnya. Inilah, sekali lagi media mewartakan dan menngaduk kembali ingatan kita tentang sebuah proses suksesi kepemimpinan sebuah bangsa yang di neri nama indonesia. Sebuah kemunitas yang oleh Benedicth Anderson disebut “komunits terbayang”.

Sejarah memang harus disikapi secara mendua. Mengingat dan melupakan. []

[050708]

Land to un-Air Word

Ryan Sugiarto

Anda pernah menyaksikan Waterword? Bagitu penting tanah dalam ukuran kepalan disana. Dan mereka selaluy bermimpi dan mengimpikan tanah kering “dryland”. Tanah bisa menjadi penanda kehidpuan. Maka, tak hanya air yang mendjadi sumber kehidupan. Adakah yang bisa tumbuh dan berbuah diluar tanah? Orang-orang air dalam kisah film ini mengagungkan sebuah tanah kering.

Tanah dimana mereka bisa hidup dan berkembang darisana. Bahkan mereka rela menukar anak gadisnya dibuahi oreng yang mereka anggap telah berhasil mencapai tanah kering.

Begitulah salah satu cara melegendakan diri, mencapai atau dianggap mencapai pada tanah yang diimpikan.

Tubuh mati manusia yang berasal dari tanah diolah sedemikian rupa hanya untuk menghasilkan yang namanya pohon tumbuh. Agar hidup dan memberikan buahnya.

Kini kita tak sekadar memimpikan tanah kering. Bisa jadi kita sedang memipikan bersama bisa hidup dalan udara hampa. Sebagai gerak maju dari waterworl,. Un-airwaorl, bisa menjadi tanda kita sedang memimpi-mimpikan mereka.[]

[020708]

Kepanikan Menghilangkan Rasa Malu

Ryan Sugiarto

Adalagi yang menghilangkan rasa malu. Tetapi ini adalah hal yang sangat wajar dan manusiawi. Tak ada kesengajaan menghilangkannya. Kepanikan. Ya kepanikan terkadang mengalahkan rasa malu.

Gambaran ini nampak begitu ketika peristiwa bencana Gempa Jogja (27 Mei 2005) terjadi. Ketika gempa terjadi mayarakat-masyarakat disekitaran karangmalang, condongcatur, dan saya kira daerah-daerah lainnya berhamburan keluar. Pakaian mereka bermacam ragam, mulai hanya pake handuk yang melilit badan, hingga (maaf) hanya pake pakean dalam semata, atau baju tidur yang sangat tipis. Maklum masih begitu pagi saat gempa 5 koma sekian ricter ini melanda Jogja.

Kebanyakan mereka hanya mengenakan apa adanya yang bisa diambil dan lari keluar. Handuk, CD, dan lain-lainnya terpampang dikenakan dijalan—jalan.

Definisi rasa malu tak ada disana, dan dan tak dikenal dalam kondisi semaca ini. Banyak orang yang demikian, sehingga yang banyak ini menjadi pembenar. Begitulah adanya.

Ke-malu-an, hilang karena yang banyak melakukan demikian. Begitulah sesaat setelah gempa yang begitu besar dua kai terjadi. Kepanikan menghilangkan rasa malu.

Lalu ssesaat kemudian banyak yang cengar-cengir, dan tersipu, sadar tentang apa yang mereka kenakan.

Seperti halnya pada sebuah tempat, ketika gempa juga, seorang induk semang baru tersadar tentang tempat kos yang disewakan. Kos Putra. Saat Gempa pertama, anak kos itu berhamburan keluar dari kamar, beberapa menit kemudian gempa kedua terjadi, giliran anak putri keluar dari kamar-kamar yang sama dimana anak-anak lelaki itu keluar sebelumnya.

Setelah itu Induk Semang kemudian tersadar dan bertanya kepada dirinya sendiri “Lho kosku kok dadi kos campur?” sambil keheranan menyaksikan yang terjadi pada kosnya. Ia baru tersadar bahwa semaleman anak-anak puti telah menginap di Kos cowoknya.

Rasa malu anak putri ini juga hilang ketika mereka panik dengan hadirnya gempa kedua. Mereka masih menyisakan rasa malu ketika gempa pertama, mereka tidak keluar dari kamar kos cowoknya.

Kami tertawa mendengar cerita kawan saya di B21 soal ini. Begitu kegelian-kegielian yang terungkap dari sebuah gempa, yang tentu menghadirkan rasa duka.

[070708]

Kecacatan dan Catatan Kesalahan[?]

Ryan Sugiarto

Setiap oarang baru yang saya temui berkata: “kenapa mas? Keclakaan atau terkena gempa?” begitu cara mereka mencari tahu.

Hari itu, pagi-benar kedua oarang tua melarikan seorang anak kecil kepada dokter didesa kami. Katanya karena suhu badan anak ini panas dan bertambah panas dari hari-kehari. Dengan semangat penyembuhan itu, mereka kerumah pak dokter itu.

Dan entah dengan pertimbangan medis seperti apa, akhirnya suntikan dilakukan dokter itu. Mungkin tiga kali. Waktu itu memang santikan adalah obat yang paling baik. Konon demikian, orang desa, suntik adalah solusi penngobatan terakhir.ketika yang namanya obat telah tak manjur lagi.

Dan sedetik itulah kemudian arah perjalanan hidup ini agak berbeda. Tak dijumpai lagi seorang anak kecil umuran lima tahunan berlarian disana-sini, bermain sepeda dan berteriak-teriakdi halaman luas. Karena Ia tak bisa lagi berlaku seperti sebelumnya.

Sebuah virus “polio” telah menyerangnya. Virus ini masih hidup saja ditahun akhir 80-an. Dan seketika itu pula ia telah mengambil alih segala fungsi-fungsi perjalanan kaki kanan. Seperti halnya tentara sekutu membom nuklir Hirosima dan Nagasaki, yang menekuk lulut jepang dihadapan dunia.

Apa yang dia tahu untuk ukuran anak 5 tahun? Menyalahkan siapa? Atau adakah yang perlu disalahkan? Orang tua. Tak ada yang salah dari orang tua, justru mereka pada mulanya ingin melihat senyum manis anaknya, dan terlepas adari suhu panas yang menguasai tubuh anaknya.

Dokter itu? Awalnya demikian. Pikiran remajaku, mengatakan, ia telah berbuat mala pratik. Tak seharusnya suntikan tiga kali beruntun dialamatkan pada sebuah bokong. Pun juga, tak ada aturan panas saja, harus diatasi dengan suntikan. “Ya, dokter ini melakukan malapraktik,” begitu pikiran remajaku.

Atau tuhan? Konon, orang-orang difabel dilempar kedunia, karena sebelumnya ia mengalami kutukan. Orang-orang pendek dan “bujel” pada masa yunani awal, disebut-oarang orang yang terkutuk.

Tapi barangkali juga yang namanya tuhan justru lebih dekat dengan anak-anak semacam ini. Yang mempertahankan kehidupannya, karena mereka harus mengusahakan daya optimisme, dana juang, dan mungkin juga daya hidup yang lebih besar dibanding yang lainnya. Dan mungkin juga tuhan juga telah berbicara pada nya. Dan tak diketahui oleh siapapun.

Penciptaan punya makna yang kadang aneh. Mungkin juga disampingnya ada bebrapa malaikat yang mengikutinya, lebih dari dua, dua pencatat baik-buruk tindakannya, dan beberapa menjadi kaki-kaki bagi perjalanannya.

Meski ketika menyebut-nyebut “yang satu”, kadanng kita terseret pada penyandaran. Bagi sebagian yang lain, adalah bentuk “escape from reality” . Menumpahkan segala setuatu pada yang maha tak bersandar. Menjadi jalan terakhir.

Toh, tak ada rekam kesalahan dalam dunia ini. Dan semuanya harus dilalui. tak ada alternatif selain dunia. Dengan kata lain dunia hanyalah satu-satunya alternatif.

Yang mengalami difabelitas sejak lahir, juga tidak mungkin dia meminta untuk dikembalikan ke dalam rahim. Atau dengan segera, berlari ek arah nirwana, tanpa melalui dunia. Bagi kita dunia memang satu-satunya alternatif. Orang mengatakan dengan sangat fasih “live must go on”.

Dan demikian, tak ada guna menggali catatan kesalahan pada penghakiman. Ia hanya justru perguna pada setiap pelajaran. Semua saling memberi inspirasi, pada fae-fase perjalanan.[]

[120708}

Kantin Kejujuran

Ryan Sugiarto

Ini adalah salah satu langkah KPK yang kemudian didukung oleh kejasaan. Membuka kantin kejujuran. Simpel, Meletakkan sejumlah dagangan ditempat terbuka, dikantor, disekolah, dan tempat-tempat umum, tanpa seorang penjaga satupun. Hanya terpampang datara harga dan tempat menaruh uang berikut kembalian “kembalian ambil sendiri” begitu sebuah tisan menempel didekat barang-barang dagangan itu.

“tujuannya adalah mendidik kejujuran masyarakat kita.”

Ini bukan satu-satunya langkah juga. Jauh sebelum ini, bahkan di sebuah rumah yang bernama B21 telah berlangsung ara serupa. Menaruh dagangan donat di ruang tamu. Tak ada identitas mana orang yang menaruhnya. Kadang-karang mereka menaruh pada dini hari. Atau setelah subuh. Setiap uang pengganti donat itu ditaruh di kotaknya.

Saying tak ada yang kemudian mengevaluasi, apakah anak B21 ini jujur atau tidak. Karena tak ada keluhan dari penjual berapa uang yang masuk dari donat-donat yang ditaruh begitu saja diruang tamu. Jika memang lengkap sebenarnya sisitem ini cukup ampuh. Di B21 tak ada embel-embel yang mengatasnamakan atau berlabel “kantin kejujuran” atau nama KPK atau kejaksaan.

Karena jika demikian jangan-jangan kita mendapatkan kuasi dari kejujuaran. Karena ada embel-embel KPK atau kejaksaan.

Tapi bagaimanapun kejujuran menjadi nilai penting untuk pembangunan bangsa. Saying ini masih menjadi konsumsi rakyat kecil atau rakyat biasa. Adakah kantin kejujuran bagi para pejabat, para politisi, pada anggota parlemen, pada penegak hokum, dan lain-dan lainnya?

Perlu kanti-kantin kejujuran yang lainnya. []

[020708]

Jika Ingin Terkenal Masuklah Partai [?]

Ryan Sugiarto

Seorang teman beberapa minggu yang lalu berkata “Aku ingin menjadi orang terkenal dinegeri ini”. Kemudian dia mengatakan pada saya lagi, “saya ingin masuk partai politik”. Dan sesaat berikutnya dia menyakan pada saya apakah saya punya kenalan orang partai?

Saya agak terperanjat sekaligus geli. Kenapa dia berpikiran masuk ke partai kemudian bisa terkenal? Usil pikiran ini diam-diam. Lalu saya menimpalinya, apakah partai masih begitu populer dalam pandangannya? Apakah tak ada jalan lain yang bisa membuatnya terkenal dengan tidak melalui partai politik? Apakah juga partai masih juga begitu glamor bagi dia?

Itu pertanyaan-pertanyaan usil saya kepadanya. Kawan saya yang satu ini memang, rupanya, mudah tersulut dengan keberhasilan orang lain. Dan dia tak ingin melewatkan persaingan menuju kesana, “terkenal”. Tepatnya setelah satu dari sekian teman seangkatan dan [saya kira, mungkin] seperjuangan ketika mahasiswa dulu, sudah sering nongol ditelevisi, dimintai komentarnya tentang kasus-kasus hukum, korupsi di negeri ini.

Maka sebersit kemudian pikiran saya tertuju kesana. Terkenal untuk kepentingan, atau paling tidak terkait dengan persoalan kebangsaan.

Saya pikir-pikir, keirian-keirian untuk hal-hal semacam ini sangat mungkin. Dan juga sangat penting. Terlebih untuk memacu diri agar tidak tertidur dalam keadaan yang stagnan.

Anak muda, seharusnya memang harus berorientasi kedepan dan selalu menempuh jalan yang baru. Jalan yang sama sekali belum pernah terlintas dalam pikirannya. Hanya dengan begitu ia akan bergerak. Dan mungkin juga terkenal. Dan seolah dari teman itu memantapkan pikiran “Jika ingin terkenal, masuklah partai politik”.[]

[050708]

Berpikir adalah Pangkal Kesenangan

Ryan Sugiarto

Hidup berpikir adalah pangkal kesenangan. Demikian Heraklithos menyimpulkan kesenangannya. Dan ia juga berkata “jika saya diminta memilih antara dua, menjadi raja atau berpikir. Maka saya akan lebih memilih berpikir. Karena ia adalah pangkal kesenangan hidup”.

Begitulah dimasa persoalan kenyang dan kelaparan tak ditanggungkan lagi. Persoalan materi yak perlu dipusingkan. Saat dimana memang bekal yang diberikan “yang satu” dipergunakan. Bahkan bagi Heraklitos sendiri “yang satu” itulah yang berpikir. Ia adalah pikiran itu sendiri. Sebuah Logos.

Dan inilah yang kemudian menjadi pangkal dari pemikiran-pemikiran filosof-filosof hingga abad ini. Pikiran yang menghasilkan pemikiran.

Meski yang kemudian tak ada yang sependapat antra pikiran yang satu dengan pikiran yang lain dalam meneguhkan kebenaran.

Memang kemudian ada yang berpendat, “ya berpikir bagaiman mencari makan, bagaimana sekolah, dan lain-lain. Tapi tidak berpikir tentangilmu itu sendiri” Begiulah alam demokrasi selalu memberi ruang untuk mengemukakan dirinya sendiri.

Tetapi pada awal bangkitnya pengetahuan, yang keluar dari para filosof awal yunani, mereka berpikir tentang pikiran dan pemikiran. Dan sesudah berabat-abat kemudian dijaman sekarang, David Cameron, Pimpinan oposisi Ingrris 2006 pernah berujar “Saatnya kita mengakui bahwa hidup itu lebih dari sekadar uang”.

Ungkapan Cameron, dan juga apa yang dilakukan oleh filosof awal yunani selalu membutuhkan prasarat yang tidak mudah. Tetapi siapapun bisa melakukannya. []

Tetapi begaimanapun, memang, berpikir adalah pangkal dari segala kesenangan. Maka berpikirlah bagaimana mengloah, mencari dan menggunakan pikiran, bagaimana menjadi kaya, dan bagaimana,bagaimana, dan apa lainnya.

[050708]

Harapan adalah Hak

Ryan Sugiarto

Ketika orang tersungkur dalam fase-fase kehidupannya. Dan kadang merasa sendiri. Terlempar dari roda kemanusiaan Ia masih punya pegangan. Arah bagi kelangsungan perjalanannya. Ia adalah harapan. Tak ada yang lebih terang cahayanya dari harapan.

Setiap manusia berhak untuk harapan-harpan dalam hidupnya. Menumbuhkan, menghidupi dan menjumpai harapan-harapan itu.

Meski kadang seperti fatamorgana, tetapi ia tetap pedoman yang penting bagi arah perubahan dalam hidup. Katakanlah menjadi pamandu arah jalan kita.

Seorang antropolog suatu kali bermain-main dengan sebuah gagasan dan menulis Optimism, and Biology of Hope, yang mewakili perkataan: barangkali dalam zat-zat terdasar kesadaran kita, sejak nenek moyang, harapan sudah diikatkan. Untuk survival.

Dengan begitu tak ada seorangpun yang bisa menghalangi manusia untuk berharap. Berharap pada apapun, berharap pada perbaikan kualitas hidupnya. Karena, sebagaimana mimpi-mimpi, harapan adalah kekuatan,yang bisa menjadi daya bagi setiap manusia.

Karena itu jangan berhenti berharap.[]

[120708]