Sabtu, 01 Januari 2011

Gagap Komunikasi Para Pemimpin

*Masih tulisan lama yang baru bisa dihidangkan sekarang. mari dinikmati*

Pernyataan Presiden dalam Rapat Kabinet Terbatas, di Kantor Presiden (26/11) tentang sistem monarki yang bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi, terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY dari sisi komunikasi kepemimpinan tentu menarik untuk diperbincangkan.

Pernyataan presiden itu lalu mengundang reaksi berupa pertanyaan menggelitik bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X. Baru kemudian, melahirkan reaksi besar dari rakyat Yogyakarta Hadiningrat. Polemik di media berlangsung berhari-hari. Baru Selasa, tanggal 30 November, juru bicara presiden Julian Adrin Pasha menyatakan ada kesalahpahaman para pihak yang mendengar pernyataan Presiden tentang Keistimeyaan Yogyakarta dan karenanya presiden akan memberikan penjelasan secara komprehensif (Kompas.com, 1/12).

Pernyataan presiden dan juru bicara ini mengundang sejumlah komentar di jejaring sosial Twitter. Misalnya, pemilik akun @tommyfawuy menulis tweetnya: “Di kompas,lewat jurubicara,pak beye mau jelasin kesalahpahaman pihak2 menanggapi pernytnnya ttg jogya. Jadi,lagi2 masyarakat yg salah? Duuh”. Ada lagi @budionodarsono menuliskan dalam tweetnya :“ Yang bener itu salah pernyataan apa salah paham sih”. Sementara @Gus_Sholah: “Atau paham yg salah?”. Berkait dengan pertanyaan itu pula pemilik akun @masbutet dalam twetnya menulis “Yg salah otak org se indonesia, tafsirnya kok bisa sama.”

Bahkan pernyataan jubir bahwa presiden akan memberikan penjelasan pada Kamis, 2 Desember, atau dua hari setelah pernyataan jubir, dikomentari dengan apik oleh @masbutet dengan tweetnya “Jadwal RI 1 hari ini latihan monolog, bsk mau pentas lakon "Opera Monarki" di panggung sidang kabinet”.

Barangkali memang Presiden butuh waktu untuk mempelajari dan merancang apa yang akan disampaikan agar penjelasannya memuaskan rakyat. Tentu rakyat Jogja dan Indonesia pada umumnya menunggu-nunggu apa yang akan disampaikan presiden. Tetapi kita punya pengalaman “menunggu” pernyataan dari presiden yang sama, yang terjadi justru mengecewakan. Masih lamat-lamat dalam ingatan kita betapa rakyat menunggu dan menginginkan pernyataan yang keras dari presiden terhadap malaysia atas insiden penangkapan dua pejabatat kementrian KKP oleh petugas Malaysia. Namun pernyataan presiden dihadapan para jendral dan tentara di markas besar TNI oleh banyak kalangan dinilai lembek dan mengecewakan.

Kita sering mendapati kejadian yang demikian. Parahnya lagi pihak yang disewa untuk juru bicara presiden juga gelagepan menjelaskan maksud presiden. Sang jurubicara cenderung copy paste atas pernyataan presiden dan tidak jarang menjadi juru bantah.
Bukan kali ini saja para penyelenggara menganggap rakyat salah paham dengan pernyataan-pernyataannya. Kegagapan berkomunikasi bukan saja dialami presiden, jurubicara presiden, atau para mentri. Kegegapan yang sama juga terjadi pada wakil rakyat. Ketua DPR Marzuki Alie berlaku sama. Ia melontarkan kata yang tidak simpatik terhadap korban stunami Mentawai. Ia sempat menulis opini di Kompas, saya kutip disini “…tetapi banyak pihak sepertinya tak paham dengan apa yang ada di hati dan pikiran Marzuki Alie” (Kompas, 4 November). Tulisan opini di kompas yang berjudul Mentawai adalah Indonesia ini untuk menanggapi, sebab justru tidak memberi penjelasan atau penerangan, tentang kritikan banyak pihak terhadap statemen marjuki bahwa bencana stunami itu adalah resiko bagi penduduk yang berada di daerah kepulauan. Pernyataan itu mendapat reaksi dan caci maki dimana-mana, karana dianggap tidak berempati.

Sungguh periode ini kita dihadapkan pada penguasa yang mengalami kesusahan berkomunikasi verbal maupun tulis dengan rakyatnya. Dan anehnya oleh sebab kegagapan berkomunikasi itu rakyat yang dipersalahkan, karena dianggap tidak memahami pernyataan yang disampaikan pemimpin. Atau tidak jarang kesalahan dilemparkan kepada media yang dianggap membesar-besarkan masalah.
Gaya komunikasi pemimpin negeri ini memang sungguh buruk. Bukankah aneh, jika rakyat yang diminta memahami apa yang disampaikan pemimpin? Sudah semestinya pemimpin yang memahami kemauan rakyatnya dan berkomunikasi dengan gaya yang bisa dipahami oleh rakyatnya. Bukankah idealisasi dari demokrasi adalah rakyat memilih pemimpin yang mengerti benar kemauan rakyatnya. Bukan sebaliknya rakyat diminta memilih pemimpin yang bisa memahami kemauan pemimpinnya jika sudah berkuasa. Atau jangan-jangan memang rakyat juga salah paham ketika memilih dalam pemilu dulu?
Saya ingat di ruang-ruang kelas dulu guru saya pernah berkata,”Jika hanya satu atau dua dari kalian ini tidak paham dengan apa yang kusampaikan, barangkali memang anak-anak itu yang goblok. Tapi jika seisi kelas tidak paham dengan apa yang kusampaikan, maka saya yang goblok”.

Para pemimpin bisa belajar dari pernyataan ini. Mereka musti belajar cara berkomunikasi yang mudah dipahami oleh rakyat dan memenuhi harapan rakyatnya. Sehingga mereka tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Pepatah lama ini masih berlaku, bahkan sampai kapanpun: “kata kamu, harimau kamu, mengerkah kepala kamu”. Mulutmu harimaumu. Pepatah itu mengajarkan kearifan agar kita berpandai-pandai mengucapkan sesuatu. Dalam konteks ini pemimpin yang selalu diperhatikan kata-katanya, mustinya berhati-hati dan mengambil sikap dan ucapan yang arif, apa lagi pada isu-isu yang sensitif terhadap hati rakyat.

Bayangkan bagaimana seorang jika seorang komandan perang dilapangan berbicara salah atau susah di pahami oleh pasukannya? Apakah tidak kalangkabut pasukan itu. Saya kira itupula yang terjadi dan dilakukan oleh presiden susilo bambang yudoyono.

Dimana Peran Negara bagi Penyandang Cacat?

*Berikut ini adalah tulisan-tulisan lama yang baru sempat di postingkan kali ini. Mari disantap*

Desember hari ketiga diperingati sebagai hari penyandang cacat internasional sejak di tetapkan PBB tahun 1992. Menurut PBB ditetapkan hari penyandang cacat agar masyarakat paham tentang persoalan-persoalan yang dialami penyandang cacat juga hak-haknya sebagai manusia.

Meskipun demikian sosialisasi hari penyandang cacat bukan soal mudah. Apalagi memberikan pengertian dan penyadaran terhadap keberadaan, kebutuhan, dan hak atas kesejahteraan penyandang cacat. Tidak saja pada level masyarakat, tetapi juga negara itu sendiri, legislatif, maupun eksekutif. Sejauh ini pandangan tentang penyandang cacat sendiri adalah pemahaman tentang ketidakmampuan dalam menjalankan hidup sebagaimana manusia lain yang tidak dikaruniai kecacatan. Pengetian bahwa penyandang cacat adalah sekelompok orang yang tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain, perlu selalu mendapatkan kasihan, adalah pandangan yang semakin memarjinalkan penyandang cacat dari kehidupan bersama sebagai bangsa. Tidak jarang keluarga sering menyembunyikan anggotanya yang cacat untuk menghindari rasa malu, sebab kecacatan dianggap sebagai “aib” bagi keluarga.

Itulah yang menyebabkan keadilan semakin terasa jauh dari para penyandang cacat. Ketidakadilan kadang-kadang muncul dari matrix presepsi yang diresapi terus menerus, direproduksi hingga menjadi kebenaran yang membatin. Persepsi terus menerus itulah yang selama ini dihidupi dalam alam sadar masyarakat mayoritas. Sehingga mayoritas pun bisa menjadi tidak adil. Saya kira postulat yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi relevan, “bersikaplah adil sejak dalam pikiran”.
Selama ini alam pikiran negara selalu menempatkan warga penyandang cacat sebagai kelompok nomor sekian yang hak-haknya sebagai warga negara bisa dikesampingkan. Negara lupa, atau pura-pura lupa bahwa semsetinya negara juga menjamin hajat hidup warganya tanpa membedakan cacat atau tidak cacat. Miskin atau kaya. Hanya dengan demikian negara bisa menjalankan amanat undang-undang dasar. Tetapi di negara ini bukan saja soal persepsi, alam pikiran, yang memarginalkan, tetapi peminggiran perlakuan itu terjadi di berbagai bidang: politik, hukum, ketenagakerjaan, budaya, tata kota yang tidak memberikan rasa adil bagi pennyandang cacat.

Di negeri ini, penyandang cacat, merupakan “kelompok minoritas” yang jumlahnya cukup signifikan. Tidak kurang dari 10 % orang difabel dari 250 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 25 juta orang. Jumlah ini lebih besar dari minorotas Tionghoa yang sebesar 6 %. Namun begitu, angka tentu saja tidak bermakna, sebab berapapun jumlahnya, mereka toh tetap bagian yang menjadi warga negara. Jumlah ini terus bertambah sebagai akibat bencana alam gempa bumi, tsunami, atau kecelakaan yang jumlahnya juga fantastis.

Hingga kini, jumlah sebesar itu, penyandang cacat tidak mendapat perhatian negara. Bahkan negara cenderung abai terhadap hak akan kesejahteraan warganya. Dalam undang-undang dasar jelas di sebutkan, seluruh warga negara behak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Sedemikian burukkah pelayanan negara, dalam hal ini pemangku pemerintahan terhadap warga penyandang cacat? Atau karena penyandang cacat sendiri yang tidak banyak bersuara untuk haknya. Membunyikan tuntutannya sekeras-kerasnya. Atau barangkali memang suara yang keluar dari penyandang cacat sendiri tidak cukup riuh untuk bersaing dengan tuntutan-tuntutan lain yang lebih besar gaungnya di dalam alam media. Bisa juga mereka telah menganggap negara sudah tidak mampu lagi menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan mereka sebagai warga negara, sehingga berlaku diam, dan hidup tanpa peran negara.

Sebagai negara yang bertanggung jawab sudah semestinya ada atau tidak adanya tuntutan dari warganya, negara wajib memenuhi hak-hak warga. Persoalan-persoalan yang riil di rasakan penyandang cacat paling sedikit ada bebrapa hal. Baik dalam sektor Pendidikan yang layak, pekerjaan, maupun fasliitas umum. Inilah sektir yang paling tidak acsesable bagi penyandang cacat.

Praktik diskriminatif negara dan penyelenggara pendidikan terhadap penyandang cacat, masih saja terjadi hingga era sekarang ini. Sekolah luar Bisa adalah salah satunya. Tidak jarang siswa penyandang cacat di tolak masuk sekolah umum, dan disarankan saja ke SLB. Kasus-kasus yang sering mencuat ke umum adalah diskriminasi calom mahasiswa saat mendaftar di sebuah universitas negeri.

Setelah pendidikan praktik diskriminatis juga terjadi di ranah pekerjaan. Dalam sebuah media Olnine, Wuri Handayani, Direktur D Care, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi bagi penyandang cacat, menyebutkan, berdasarkan data yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, 80 persen dari penyandang cacat tidak memiliki pekerjaan akibat perilaku diskriminatif dari perusahaan dan penyedia lapangan kerja. Ditambahkannya, 63 persen atau hampir sepuluh juta penyandang cacat yang tidak bekerja justru berada pada usia produktif alias angkatan kerja (Kompas.com, 10/01.

Sebenarnya negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, khususnya Pasal 14 menyatakan perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya satu orang atau 1 persen penyandang cacat dari jumlah karyawan. Tetapi nyatanya ini tidak pernah dilakukan, sebab sistem perekrutan yang diskriminatif. Lembaga eksekutif bahkan cenderung tidak menjalankan undang-undang ini. Tidak juga memberikan sangsi atas pelanggaran terhadap undang-undang ini. Terlebih pembuat undang-undang juga tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yang telah mereka hasilkan. Jika sudah demikian, kita hidup tanpa negara.