Selasa, 02 Juni 2009

Kebudayaan dan Kekuasaan

Ryan Sugiarto

kesadaran tentang kebudayaan, dalam peta perkembangan tanah air tenggelam dalam bingkai politik kekuasaan. kebudayaan terbawa arus kekuasaan. kira-kira begitu yang terjadi dalam perbincangan kebudayaan dan kepresidenan lalu. bahkan dalam kampanye-kampanyepun, tak luput dari tim "kebudayaan".

yang kita lihat betapa GM, begitu munduk-munduk dihadapan pasangan SBY-Boediono. begitu yang ditulisnya dalam orasi kebudayaannya saat deklarasi pencalonan itu. juga ia tulis pula dalam catatan pinggir, bahkan sampai dua edisi terakhir.

Lain dengan GM yang munduk-munduk, Penyair Burung Merak, WS Rendra lebih elegan. dalam pembacaan puisinya saat deklasrasi Mega prabowo, Rendra mengatakan " saya bukan orang partisan, tapi tidak mendukung salah satu partai. tapi saya mendukung pemerintahan yang tidak tunduk pada kepentingan asing," begitu katanya lantang.
kekuasaan dan kebudayaan memang selingkuhan yang abadi. yang berkuasa mampu menggerakan kemana kebudayaan akan diarahkan. yang berkuasa membangun kantung-kantung kebudayaan dan menggelontorkan dana ke sana.

dan orang-orang yang bergerak dalam kebudayaan selalu berlari keketiak orang-orang yang berkuasa, biasanya untuk sebuah dana. keduanya berkepentingan saling langgeng melanggengkan.

Karawaci, 2 Juni 2009

Sosialisme Jawa

Ryan Sugiarto

Persinggahan saya di B21, minggu (31/5) lalu tak bersia-sia. Bermaksud menemui Lebak membara, ternyata masih menyepi di kaki merapi. Sebuah ihtiar dari berharap menuntasparipurnakan langkah awal proyek jawa ini.

Tetapi menjelang gelap, datang pesaing dekatnya. Dr.Purwadi. Dosen fakultas Sastra UNY, Rektor Isbuja (masih ada ga Pak?)

Maka seperti bisaa, belia langsung ndalang. Dan tak tanggung-tanggung lakon yang diwicarakannya adalah tentang sosialisme jawa. Apa itu? Itu sebenarnya lontaran terakhir darinya ketika penulis akan beranjak dari B21 menuju station Yogyakarta. “Yo disangoni no,” tutur kang fatur.

Dan Dr.Purwadi segara beranjak dan merogoh kantung baju batiknya lalu menyertakan dua lembar uang kertas warna merah. “nggo sarat” “anggepen sosialisme jawa”. Begitulah ia nyangoni saya.

Beberapa menit sebelumnya kami berbincang tentang kesadaran yang selalu menjadi masalah dalam butuh bangsa ini. Tak hanya para pelaku pemerintahan, bahkan juga para pelaku akademik. Seminar-seminar yang tak berkelanjutan, yang hanya berhenti pada makalah dan klipin semata adalah korupsi uang Negara. Uang itu mengalir dari lembaga-lembaga Negara yang pos kegiatannya tidak ada. Maka pejabat-pejabat negara itu mencari aliran “got” untuk mengalirkan uangnya melaui sponsor kegiatan-kegiatan akademik, seminar, konggres, dan lainnya. Tentu agar anggarannya selalu aman dari tahun-ketahun.

“lha itu semuakan tidak ada hasil nyatanya. Setelah kongres yang menghabiskan miliaran itu, hasilnya apa? Wong yang ikut wong-wong tuwo,” begitu lontarnya sembari membahak tawa.

Inikah korupsi yang nyata to le. Seperti halnya ujian masuk mahasiswa yang ditakut-takuti dengan uang pangkal yang jumlahnya diperlombakan. Kita ini berada didalam bawah kesadaran yang menantang-nantang. Ini yang membuat kita miskin.

Coba kalau sehari saja kita sadar, kita akan kaya dan berhasil. Misalnya, kenapa pada masa Suharto bahasa daerah dilarang-larang diajarkan di SMU, sementara bahasa inggris diwajibkan.

Bahasa daerah dilarang-larang dengan alasan disintegrasi bangsa: MEMBAHAYAKAN. Sementara bahasa inggris di golkan dengan alasan pergaulan intenasional. “lha endi yang membahayakan itu sakjane?”

“yang kurang ajar itu ratu elisabet. Lha wong bahasa engris diajarkan dimanapun, dari SD sampe S3. Tidak ada bilang terimakasih sedikitpun. Mbok ngomong maturnuwun.” Kalo kita punya kesadaran, mbok sehari saja kita tidak memakai bahasa enggris: ada gerakan boikot bahasa enggris, pasti di koran2 enggris kita masuk headline benar. Menarikkan.”

Kalo kita sadar, sesunggunya kita ini kaya. Kita ini miskin karena ukuannya sama: uang. Gunung kidul itu kaya dengan gaplek, dan kita miskin gaplek. Tapi jika dihadapkan dengan uang: mereka menjadi miskin. Bagaimana kalau pendidikan dibayar dengan barter saja, Dan dengan demikian kita tak ccekrek. Dan kita semua dalam waktu bersamaan akan menjadi orang kaya.

Pikiran kita orang jawa ini ditindas oleh oleh-olehnya derida, habermas, webber. Yang jika kita kutipkan saja dalam tulisan kita, makalah kita, langsung dianggap kita ini pinter. Tapi kita tak punya pemikir jawa yang diajarkan didalam dunia akademik. Jadinya ya kita manut-manut saj dari mereka, lha wong kita ini minderan.
Dan seharusnya tugas sekolah, kampus, dan akademikus adalah membangunkan kesadaran itu. Bukan menjadi got bagi aliran uang yang korup itu. Bukan menjadi pelaku korupsi yang tak bersentuh.

Pak Purwadi memberikan gambaran, bahwa seminar, konggres atau apapun bentuk kegiatan akademis, harusnya tidak membusuk di kliping saja. tetapi ada bentuk akhir yang menjadi tujuan.”aku ki yo mroyek le, tapi harus ada yang tujuan yang jelas. misalnya, saya mengusulkan PB X sebagai pahlawan. dan diterima,”

Lalu panjang lebar pembicaraan tentang orang terkaya di Indonesia itu. PB X adalah orang pertama yang mempunyai mobi keluaran Amerika, ketika belum ada seorangpun di negeri ini memilikinya. ia pula yang namanya tertera dalam bantalan-bantala kereta api. Dalam urusan perjuangan, ialah orang yang "meminjami tiang untuk menaikkan bendera merah putih, pada mada proklamasi. pada masanya pula tercatat ratusan jumlah penerbitan yang ada. juga teradpat banyak novel-novel yang lahir pada masa itu.
Lagi, pada masa pernikahan PB X seluruh warga menyembelih kerbau. semuanyaya tampak berjaya. jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain dalam perang fisik dan strategi, sepertinya PB X lebih besar. Ia yang meletakkan fondasi yang lebih luas. ia pula yang menyokong dana yang tidak sedikit bagi kebangsaan.

Tapi kesadaran itu rupanya tak kunjung muncul. Bahkan pada orang-orang yang latarbelakang akademisnya jawa sekalipun. Mereka lebih fasih bahasa inggris, dari [ada bahasa jawa. “lha wong piye, arep mlebu S3 bahasa jawa, persyaratannya pake Toefl enggris. Kenapa tidak pake toefle jawa,” kekehnya.

***
Begitu tetular dari pak Pur di senja, akhir bulan Mei.

Karawaci, 2 Juni 2009