Jumat, 24 Oktober 2008

Bilangan Nol (0)

Ryan Sugiarto


Bilangan Nol. Dalam bilangan nol semuannya adalah sama. Ia mengandung apa yang dimaksud dengan kesetaraan. Olehnya, apappun yang akan dikenakan kepadannya adalah sesuatu yang luarbiasa. Jika dikalikan ia akan menjadi blangan tak terhingga, jika dibagi demikian juga.

Bilangan Nol adalah pralambang dari multikulturalise, pluralisme, kesetaraan dalam perbedaan. “tak ada yang didepan, juga tak ada yang dibelakang”. Semuannya satu posisi yang sama dalam lintasan yang tak putus.

Inilah makna terpenting bagi bilangan nol, dalam memandang kehidupan kita yang serba berkasta. Sekali lagi bilangan nol mengingatkan kita, justru buakn kekosongan yang kita maknai hari inji. Tak berisi dan pada titik tertentu tak berarti. Nol, semenjak kecil bagi kita selalu dimaknai dengan ketololan. Kebodohan. Anehnya, kenapa banyak diantara kalimat ketololan dan kebodohan mengggunakan huruf yang menyerupai bilangan 0.

Tetapi hematnya, bilangan 0 adalah bentuk perayaan pada persamaan. Menghaargai perbedaan. Tak tersirat didalamnya yang merasa unggul dan terabaikan. Bilangan 0 merangkum semua dalam satu lintasan yang tak membeda, posisi sama, ada didalamnya. []

[201008]

Sabtu, 18 Oktober 2008

Inilah Pelajaran tentang Pikiran

Ryan Sugiarto

Pada sebuah kalender meja yang tampak anggun meski kecil dan mungil, mengutarakan pelajaran tentang pikiran. Inilah katanya:

Pikiran yang besar membicarakan ide-ide, pikiran yang rata-rata membicarakan kejadian-kejadian, dan pikiran yang kecil (kerdil) membicarakan orang-orang.

Inilah pelajaran tentang pikiran. Dan oleh itu, kita bisa bertanya, dimana taraf pikiran kita? Apakah kita bisa dan biasa berpikir besar. Atau rata-rata saja, atau malah sebaliknya. Tidak banyak orang yang berpikir besar. Apalagi berpikir besar bersama, masal, berjamaah.

Berpikir besar adalah bepikir tentang apa dan bagaimana. Sebentuk pencarian tentang hal diluar jangkauannya sekarang. Diluar kemampuannya sekarang untuk membuat definisi dan merangkai cara “bagaimana” ia akan dilanjutkan menjadi “apa” tadi. Jangkauannya, kalau begitu, adalah masa di depan kesekarangan. Dan oleh sebab itu ia membutuhkan daya yang lebih besar pula.

Pikiran yang rata-rata, selalu membicarakan kejadian. Kejadian yang ditangkap dalam keseharian. Karenannya pikiran rata-rata disibukkan dengan kejadian yang dialami disekitarnya. Ia disibukkan pada tataran muka.“Kapan” dan “Dimana” adalah kata petunjuknya. Pikiran rata-rata menyambut baik lingkungan oleh setiap kejadian dijadikannya pelajaran.

Sementara pikiran yang kerdil adalah pikiran yang membicarakan orang-perorang. Ia selalu update dalam hal pembicaraan. Inilah kapasitas terbesar negeri ini. Lihat saja, dalam televisi, dimanakah jam-jam tayang lepas dari yang namannya gossip? Infotainment? Atau apalah namannya. “Si anu ternyata selingkuh lho,”, “Oh…dia sekarang di sini, begini,”bagaimana kalo….,”,” dst

Begitulah orang-orang di negeri ini begitu gandrung pada yang namannya gossip. Kita jarang diajarkan pada bagaimana cara berpikir besar. Tetapi kita tiap hari disodorkan untuk mengkonsumsi cara-cara berpikir kerdil.

Berpikir besar adalah memulai menyisihkan yang namnya cara berpikir kerdil, membicarakan orang-orang. Berpikir besar adalah cara kita diterima dengan gagasan-gagasan dan pengalaman. Berpikir besar , membantu agar perubahan bisa dilakukan. Ia sebentuk kata menjadikan perubahan. []

[151008]

Manusia Posmodern dan Laku Kritik

Ryan Sugiarto


Benar kiranya yang dilakukan oleh Parang Jati, dalam Novel Ayu Utami , Bilangan Fu: manusia postmodern sesungguhnya adalah manusia yang mampu menjalankan laku kritik. Ia adalah manusia yang telah selesai dari masa kegelapan, renaissance, doktrin agama, rasionalisme, dan modernisme itu sendiri.

Manusia postmodern mungkin juga manusia yang telah selesai membaca dan pada gilirannya adalah yang mampu memberikan komentar, koreksi dan juga mungkin sanggahan pada apa yang dibaca orang modern. Manusia posmedern selangkah lebih maju dari manusia modern. Manusia modern, berada dalam tarap membaca. Sedangkan manusa postmodern, dalam taraf laku kritik. Laku kritik adalah hasil dari proses pembacaan.

Posmodern, sebagaimana yang telah pada beberapa waktu lalu, adalah sikretisme yang malu-malu. Ia adalah pencampuran antara positif modernisme, takhayul, dan barangkali juga tradisionalise, dan post-tradisionalisme. Dan oleh karenannya, sesungguhnya, pemikiran postmodern adalah pemikiran yang kembali merangkul seluruhnya, belajar untuk bijak. Meski menjadi bijak tidak pernah ada. Belajar bijak dalam membaca keadaan akan kesekarangan, dan juga keduluan yang pernah ada.

Membaca kesekarangan adalah membaca tanda-tanda, yang pada masa dulu adalah keadaan yang bisa jadi larangan. Kesekaranngan memberikan banyak tanda, bahwa ia telah berbeda dalam larangan.

Maka posmodeernisme adalah pengingatan. Pengingatan akan masa tradisional, dimana yang namanya takhayul berlaku. Takhayul tidak untuk penyembahan, tapi hanya sekadar penghormatan kepada penguasa-penguasa alam selain yang maha esa.

Dalam agama monoteisme seperti yang ditulis ayu utami tidak ada Tuhan selain tuhan itu sendiri.., dan ia terwadahi dalam agama timur.

Memang panguasa, selalu ada dimana-mana. Tentu selain dia. Penguasa inilah utusan tuhan. Ia berada dalam roh-roh, dalam mungkin juga batu-batu dan gunung-gunung, goa, juga pepohonan, yang dipercaya tuhan untuk menjaga bumi dari kepentingan kerakusan manusia. Maka manusia tradisional, juga manusia postmodern yang sekarang menjadikan yang seperti itu adalah penguasa, penjaga. Penjaga dari kerakusan manusia rasional. []

[151008]

Rokok dalam (upaya) Perbandingan Ilmiah

Ryan Sugiarto


Soal ini kita memang bisa berbeda dalam memandangnya. Sebaaimana kita jrang sama dalam memandang beberapa hal.

Merokok! Ahli medis dan juga mereka yang (merasa) sadar akan kesehatan diri dan lingkungannya tentu menyetujui larangan merokok. Baik ditempat umum atau bagi pribadi. Ada banyak kampanye yang dilakukan, misalnya: “Stop Merokok”,”merokok merugikan kesehatan”, bahkan ada hari tanpa tembakau sedunia, meski hanya satu hari.

Pedukung golongan ini tentu telah memaparkan betapa rokok telah banyak merugikan manusia. Betapa rokok adalah sama bahayannya dengan pembunuh lainnya. Maka, berapa banyak perhari nyama hilang gara-gara rokok. Banyak publikasi dan kampanye yang menyatakan, betapa roko adalah musuh besar kesehatan, mungkin juga manusia.oleh karenannya kita selalu disodorkan statiska tentang jumlah-jumlah kematian yang tidak sedikit.atinya betapa banyak nyawa elayang gara-gara menghisap rokok.

Lawannya. Vs-nya adalah mereka yang perokok. Terutama perokok berat.fillosofinya: “merokok adalah pangkal kesenangan”, mungkin juga “rokok sumber kenikmatan”. Tetapi sayangnya belum ada tindakan riil dari para perokok sendiri untuk mengkonter pendapat para penentang rokok secara ilmiah. Misalnya saja sekadar untuk membuktikan pertanyaan: Berapakah jumlah manusia yang merokok secara aktif dan berumur lebih dari setengah abad, atau mungkin ¾ abad? Apakah mereka sakit-sakitan? Atau apakah mereka hidup sehat dan mampu menjalankan aktivitas dengan baik?

Para perokok dan jika ia peneliti, mungkin ia bisa menjadikan lokasi pegunungan sebagai lokasi penelitian. Apakah masih banyak bapak-bapak yang hidup dipenggunungan yang merokok, dan ia hidup sehat? Berapakah jumlahnnya? Atau kalau tidak dipegunungan, jadikan saja lokasi di desa-desa sebagai objek penelitian. Masihkah banyak kakek-kakek yang merokok, agar hidupnya nyaman?

Atau misalnya saja, berapa banyak orang merokok yang menghasilkan karya-karya besar oleh karena bantuan pengkondisian ketika ia merokok?

Dari hasil penelitian ini dengan mengambil sampel sekian dari daerah desa dan terutama pegunungan, peneliti bisa mendapatkan jumlah perokok aktif berapa diusia sekian? Hal ini tentu bisa menjadi perbandingann ilmiah atas penelitian dari kaum penentang roko bahawa setiap detik didunia ini ada kematian yang disebabkan oleh rokok.

Asalkan saja peneliti yang pro rokok tidak terjebak pada perusahaan rokok. Karenan saya pikir belum ada penelitian manapun terutama yang dilakukan oleh para perokok tentang ini. Bisa menjadi bahan perbandingan ilmiah kan? Atau bisa jadi, jika perusahaan roko membaca ini, mereka akan membuat penelitian untuk mempertahankan rokoknya tetap bertahan dipasar.

Agar kita tidak sekadar menutup mata dan membukannya pada saat-saat tertentu bahwa satu hal hanya mengandung kerugian. Dan kita bisa berpikir kritis tentang diri kita sendiri. []

[191008]

Manusia Pasca Putus Cinta Jilid dua

Ryan Sugiarto


Jika dimulai dengan baik-baik. Maka akhirilah dengan baik-baik pula. Seorang teman agak dekat pernah bercerita, lebih tepatnya curhat. Curhat tentang bagaimana hubungannya dengan kekasihnya sekarang. Kabarnnya sudah hampir setengah tahunan ini mereka tidak berkomunikasi. Konon penyebabnya sepele. Sms agak genit yang harusnnya disampaikan kepada kakak keponakannya, tanpa dia sadari terkirim kepada kekasihnya.

Kontan, tanpa babibu…sang kekasih marah. Karena telah menganggap, teman tadi sudah selingkuh. Atau paling tidak dikira menggoda cewek lain. Maka pacar teman tadi marah-marah…tanpa perlu konfirmasi lagi. Dan segala macam sms mesra yang ditulis kawan tadi, semasa aktif pacaran, dikembalikan pula dalam bentuk sms seketika itu pula. Sejak saat itu maka komunikasi ini tak terjalan.

Sang teman tadi menjadi berpikir dua kali. Jika harus meneruskan hubungan dengan ceweknya. Ia berkata padaku:”saya bahkan takut membayangkan membina hubungan keluarga, jika disertai dengan letupan amarah yang seperti ini. Apalagi sebuah hubungan yang tidak dilandasi dengan kepercayaan,” begitu kayannya serius.

Hampir setengah tahun itu, dia menganggap bahwa mustahil hubungan itu diteruskan. Meskipun mereka telah memperkenalkan diri kepada masing-masing keluargannya.

Tetapi gambaran menakutkan tadi yang mengalahkan rasa sayangnya kepada pasanngannya. Begitu katannya selanjutnya. “Ah Bukan cinta sejati kamu ini,” selorohku.

“Entahlah. Tipe Ekstrovet seperti aku ini memang tidak mudah ditebak-tebak. Bahkan oleh pasanganku waktu itu. Ia tak pernah memahami diriku sepenuhnya,” begitu alasannya dari lontaran singkatku tadi.

“maka kami tak pernah berkomunikasi lag. Hanya pada ulangtahunnya aku menyapannya. Meskipun tanpa jawaban. Juga pada hari raya lebaran lalu. Juga tidak ada balasan yang menandakan amarahnya mereda,” terusnnya.

Lalu tiba-tiba dia melontarkan sms yang isinnya dia juga harus minta maaf kepada kdua orang tuannya. Teman tadi masih merasakan amarah yang begitu besar dari pasangannya. Dia mencoba beralasan tentang kemangkirannya selama berbulan-bulan.

Bukankah memperbaiki hubungan tidak hanya dari satu pihak saja. “toh selama ini dia juga tidak menunjukkan gelagat untuk memperbaiki hubungan. Posisinya hanya menunggu-dan menunggu. Entah apa yang dipikirkannya, dirasakannya” begitu paparnya panjang lebar. Waktu itu kami memang sedang menyedup kopi di salah satu kafe, di ibu kota. Ia tampak berserius dengan apa yang dialamminya.

Teman tadi sempat berterimakasi kepada ceweknnya, oleh sebab telah menghubunginya walaupun dengan nada marah. “Ia mempertanyakan bagaimana sekarang? “ lanjutnya. Dia katakan, alasan-alasannya yang panjang lebar. Dan pada bagian akhir ia menulis “baik kalau begitu sekarang kita berjalan sendiri-sendiri (barangkali kamu lebih menyukai kata putus).” Alasan salah satunya adalah kepercayaan. Pasangan temen tadi membalikkan. Pacar temen tadi menyebarkan sms salah kirim itu kepada teman-teman, pasangannya. Juga memberitahu urusan orang muda ini kepada orang tua sang lelaki.

Aku mendengarkannya dengan sangat bosan. Serius aku dibosankan oleh curhatan teman ini yang berlama-lama. Sampai-sampai kami memesan cangkir kedua untuk biaya curhat.

Kini teman ini, katanya akan membiarkan semua mengalir saja. Barang kali lain waktu ia akan memperbaiki hubungannya. Meskipun, tentu saja, sedikit banyak reputasinya, kalau dia punya, telah lain dimata teman-temannya sendiri. Oleh sebab penyebaran kesalahan yang tidak berdasar.

Ini yang terpenting.

Curhatan teman tadi adalah satu dari sekian masalah anak muda. Yang saya herankan, kenapa seorang lelaki dewasa seperti teman tadi menjadi begitu sendu menghadapi persoalan cintannya. Saya baru menemui seorang teman, yang bisa curhat ndakik-ndakik. Berjam-jam. Dan seolah ia telah dihadapkan pada pilihan yang semuannya buruk saja. Aneh saja bagiku.

Tapi paling tidak teman tadi, berani dan tanpa malu-malu mengeluarkan persoalan cintannya kepada orang lain. Satu hal yang barangkali, sebagai cowok jarang terjadi dan berani. Termasuk saya.

Apakah begini tipe kedua manusia pasca putus cinta. Merasa nelangsa, dan jika ia mersa sedikit bersalah, ia telah merasa hancur. “Ahh…begitulah cinta, deritannya tiada akhir” begitu kata Pathkai, murid ke dua biksu Thong dalam pencarian kitab suci.

Konon dia kini tak belum akan berpikir soal kehidupan cintannya. Ia ingin mewujudkan rencana-rencana besarnya. Merengkuh dunia. Membahagiakan orang tuanya.

Di akhir perbincangan ia tak meminta saran apapun pada saya. Ia tahu, aku tak pernah berpengalaman dalam hal cinta. Meski lulusan psikologi, yang konon katannya tempat orang curhat.

Dan saya harus menyadari itu. Menyadari untuk tidak memberikan komentar atau saran soal cinta. Disamping, tak banyak pengalaman. Juga saya ini bukan konsultan psikologi, seperti yang ada di koran-koran itu. Tapi toh demikian, saya tetap bersedia menjadi bak sampah bagi kegelisahannya itu. Bagi kotoran hatinya itu, bagi hatinya yang terluka itu.

Meskipun begitu, toh dia juga yang membayar empat gelas kopi ini. Hargannya lumayan. Saya memandang dibalik matannya yang sendu karena baru saja diterpai badai putus cinta, ia merasa lega. Dan “siap memulai merengkuh dunia,” katanya.

Manusi pasca putus cinta jilid dua adalah mereka yang mengalihkan rana hatinya utnuk merengkut yang lebih besar. Masa depan yang lebih besar, dari (sekadar) cinta erotisnya.

Sekali lagi aku menemukan tipe kedua, manusia pasca putus cinta.[]

[081008]

Tafsir Kerinduan

Ryan Sugiarto


Ijinkan aku menulis tentang suatu masa dimana menulis adalah bagian dari kegilaan yang dalam. Hingga kini aku masih merasakannya. Disaat kerutinan melanda, dan kerja hanyalah menjadi bagian dari mengisi kekurangan.

Masa dimana ia dalah penyemangat dri kehidupan. Yang bertujuan besar dengan pikiran yang besaar pula. Sebuah masa yang menjadi beda. Mada dimana hasilnya dalah perubahan pda alam piker manusia yang rata-rata, mungkin juga kerdil.

Ia adalah masa dimana tak ada waktu yang berhenti. Dimana waktu ditentukan oleh sebuah pikiran yang terus bergerak. Bukan oleh waktu yang disetop oleh jam kerja-jam kerja, sebagai rutinitas belaka. Rutinitas yang menjadikan sekrup-sekrup pelengkap sang pemilik modal.

Ia adalah masa dimana kerinduan menjadi tafsir bagi kebebasan berpikir besar (bersama). Menulis pada masa-masa itu membantu memberikan kekuatan. Kekuatan untuk menghadapi yang berbeda dengan sudut pandang berbeda. Dan pendekatan yang sangat harmonis. Ia memberi tafsir padabagian-bagian yang terserpih menjadi bagian yang utuh untuk ditafsir menjadi kelengkapan. Yang lengkap terbangun dari serpihal-serpihan yang dikumpulkan. Ia adalah sejamak fakta-fakta yang mengandung nilai muka yang bisa. Tak tertangkap degan biasa.

Inilah kerinduan pada malam-malam yang diisi dengan gemeleak nyaring tut keyboard. Juga jalang terang cahaya monitor. Juga kadang lirih-liris kerinduan pada setangkup syair. []

[151008]

Tentang kesendirian

Ryan Sugiarto


Seorang eman mengingatkankan pada kesendirian. Melalui smsnya dia menulisakan, diambilnya dari archbishob,

Dalam sepi sendiri aku tinggal/ tak tampak wajah manusia
Sebab itu kita berdua mesti saling saying/
Duhai pohon ceri/tiada karibku kecuali kamu//

Betigulah kita, dikala memasuki kenedirian. Bercumbu dengan kesendirian. Mungkin hamper sejamak dengan kesepian yang akut. Tapi idak. Ia adalah kala dimana tak seorangpun mmeraih diri. Tak seorangpun mampu berbincang tentang profane-profan hidup.

Kesendirian adalah kekuatan besar untuk mengingat yang lalu. Mengingat yang tak pernah tersimpan sekalipun dalam jangka pendek pengingat kita. Semuannya tampak seperti laying yang digantikan dengan cepat. Membentuk sebentuk frame yang membangun cerita. Kesendirian, kalau begitu, adalah jalan mengingat yang maha dalam. Yang paling tidak ingin kita ingat sekalipun. Karena ia adalah menuntut keintiman yang klimaks.

Namun bisa jadi ia adalah dunia bagi keramaian yang lain. Dunia dimana kala menjadi sangat pendek untuk bertegur sapa dengan benda-benda. Bukan benda, tetapi yang lain. Ya, bertegur sapa dengan yang lain. Tak hanya dengan sesame. Juga dengan yang tidak sama. Kesendirian telah menjemput. Atau mendatangi keramaian yang tak tersedia dalam keramaian badaniah yang menghancurkan.

O, kesendirian adalah obat. Bagi jiwa-jiwa yang letih bertarung dengan profannya dunia. Dalam kesendirian, aku menemukan kekuatan. Yang bisa ku pendar-pendar dalam cahaya dan kegelapan berpikir. []

[161008]

Jumat, 10 Oktober 2008

Tidakkah Posmodernisme adalah (juga semacam) sinkretisme?

Ryan Sugiarto


Mungkin pertanyaan yang terlalu biasa. Tetapi memang tidakkah demikian adanya? Pandangan Posmodernisme semacam tangkisan bagi modernisme itu sendiri. Modernisme selalu mengedepankan bukti dan keterjangkauan rasio, kesadaran yang utuh. Maka alat bagi segala macam varian modernisme adalah teknologi. Juga, segala sesuatu yang terukur dan terprediksi dengan tepat melalui hitung-hitungan otak.

Dan Posmodernisme, meski kadang-kadang kita ragu menggunakan kata itu. Kenapa? Jawabannya dalah pertanyaan tentang apakah kita khatam dengan modernisme? Apakah pula modernisme talah berakhir dari zaman pemikiran ini, sehingga fase selanjutna adalah post—pasca modernisme. Kedua kata ini memang berbeda. Tapi sementara anggaplah sama.

Degan ukuran apakah modernisme berakhir? Apakah ia secara otomatis (sebuah kata yang sangat Modernis, (otomatis = hanya dan hanya jika)) berakhir dengan munculnya pandangan, gagasan posmodernisme?

Posmodernisme memang kemudian mengelabuhi modernisme dengan mencoba mengembalikan pemikiran yang diluar rasionalitas. Mungkin irasional, juga mungkin meta rasional. Tapi ia toh tidak sama sekali abai dari beberapa dasar modernisme, yang tetap saja memakai fungsi rasionalitas, “Kritis”. Kata ini selalu menandai fungsi rasionalitas manusia dalam memandang segala hal, terutama yang berasal dari masa sebelum modern. Masa-masa mistis berkembag dengan subur. Atau tepatnya masa-masa pencampuran yang panjang dengan berbagai pikiran. Dan terutama keyakinan.

Maka ia adalah semacam sinkretsme,yang dilarang-larang oleh monoteisme. Lebih tepatnya sinkretisme pemikiran. Jika demikian, kalau benar, tidakkah posmodernisme adalah juga semacam neo sinkretisme yang malu-malu?

[101008]

Para Pemohon (Atau Pemohon yang bersyair)

Ryan Sugiarto


Seorang teman mengirimkan pesan pendek dalam rangka berbagi maaf, pada hari lebaran. Begini smsnya:
“banyak penyair muncul dihari lebaran. Tapi saya hanya mau jadi pemohon maaf atas dosa dan salah, sekecil apapun itu…..”

Bersamaan pula untuk saling berbagi, atau lebih tepatnya menjadi pemohon, aku kirim bertubi-tubi permohonanku pada sasaran yang berbeda. Kutulis demikian: “ijinkan aku penjadi peminta sejati bagi kata maafmu. Pun ku ingin menjadi pengasih sejati untuk itu……”

Sejatinya pada saat aku membuat kalimat itu, rasanya gamang. Tiap tahun, bahkan untaian kata ndakik-ndakik dibuat untuk menyertakan sebuah permohonan maaf. Mulai dari bahasa jawa ndakik-ndakik, bahasa dan tulisan arab, sampai pada puisi yang bersajak a-b-a-b.

Kepikiran dalam otakku, kenapa tidak dengan satu kata saja ku kurim “maaf”, atau “maafin ye..” atau “maaf yack…”. Seperti juga seorang teman yang hanya pendek mengirimkan kata “MAAF”

Tapi kok ya, rasa-rasanya memang saat itu adalah sebuah euforia. Mendadak menjadi penyair. Atau lebih tepatnya pemohon yang bersyair. Karena setiap permohonan, mungkin lebih indah jika didahului dengan rayuan, dan juga menyenangkan diri kepada termohon. Harapannya, termohon dengan senang hati dan dada terbuka akan meberikan permohonan yang diminta sang pemohon, dalam hal ini adalah “maaf”.

Sedangkah, kata “maaf” saja kok ya rasa bahasannya agar kering. Satu, mungkin kerena terlalu terbisa membaca untaian yang berbunga-bungan, yang ndakik-ndakik tadi.kedua, mungkin juga kerena kita terbiasa membayangkan bahasa tulis dengan bahasa lisan orang yang mengirimkannya. Membayangkan cara dia melisankannya. Jadi agak terasa aneh saja.

Kira-kira hanya itu perbedaannya. Yang satu adalah pemohon yang bersyair, yang satu adalah pemohon saja. Toh kedua-duannya adalah sama-sama sebagai pemohon. Juga sama-sama sebagai pengharap maaf.

[101008]

Fitrah

Ryan Sugiarto

Kita barangkali mesti selalu bertanya, apakah selaku muslim kita benar-benar menang dalam menyelesaikan ramadan? Bahasa umunya, sudahkah kita kembali fitrah? Karena lantaran menjalankan puasa ramadan, dan membayar zakaf fitrah?

Kalau iya, apakah kita selalu menang dalam setiap ramadan yang kita lalui sepanjang hidup? Jika tidak, kapan kita kalah dalam menjalankan ramadan? Artinya, kapan kita tidak menjadi fitrah setelah ramadan?

Fitrah, dalam tafsir Almisbah, mengandung tiga unsur utama. Dan ketigannya adalah satu kesatuan. Ia adalah Indah, Benar, dan suci. Lalu jik demikian, sudahkah kita indah dimata orang lain, atau paling tidak merasa indah, dimata orang lain. Kedua, sudahkah kita berlaku benar dalam banyak hal? Dan sudah merasa sucikah kita?

Mungkin memang kita perlu merasa gelisah, memikirkan pertanyaan menang dan tidak menang. Konon pula meningggalkan bulan itu haruslah dengan gembira dan hati suka ria, kalau merasa menang. Lalu? Kegembiraan semacam apa yang menandai keindahan, kebenaran, dan kesucian pasca ramadan?

[101008]

Mudik

Ryan Sugiarto



Kita ini memang kadang menjadi orang-orang yang bebal. Bayangkan, kita tidak pernah belajar dari tahun-tahun sebelumnya tentang transportsai mudik. Tepatnya bukan kita mungkin. Tapi yang mengurusi negara ini. Kritik-demi kritik selalu mengalir dati tiap-tiap tahun acara mudik. Toh, tak ada perubahan yang berarti.



Orang mengantri tiket kerati masih berjumbel, hingga berela diri bermalam-malam distatiun kereta? Kemacetan masih menyertai setiap mudik? Kecelakaan masih menjadi warna di setiap mudik? Lalu apa yang diperbuat dari tahun-ketahun oleh pengurus negara ini kalau demikian?



Dua belas bulan apakah tidak cukup untuk berbenah di tiap tahunnya, agar mudik menjadi nyaman bagi mereka yang melakukannya. Mungkin juga jarang kita belajar teori antisipasi jauh hari. Kecenderungan spontanitas yang luar biasa besar.

Kita, mengerti mudik adalah gerakan budaya yang mendarah dan mendaging dalam masyarakt kita. Tapi tak pernah ada strategi pelayanan kebudayaan yang pas untuk gerakan budaya ini.



Jika demikian, lalu apa bedannya adannya negara dan tak bernegara?

[101008]