Sabtu, 28 Maret 2009

Jogjakarta [I]

Ryan Sugiarto


Setiap orang yang pernah berpaut dengan Jogja, konon selalu berkeinginan untuk menyambangi kota itu lagi.

Kebersahajaan Jogja kental dalam pengalaman batin bagi para peziarah ilmu dan juga kebudayaan. Siapa yang tak mengingat, kekhusukan keraton dan dua alun-alun yang mengapitnya. Tak membedakan malam apapun, manusia dari berbagai arah iseng-iseng mencoba membaca nasib mereka dengan berjalan menuju gerbang yang diapit dua pohon beringin. “jika kami berhasil, jalanmu akanlurus, hatimu bersih,” begitu kata penjaga alun-alun ini. Tak jarang orang yang melenceng jauh dari sasarannya. Tidak bersihkan hatinya?

Juga Pakualaman, kebersahajaan kala senja dan malam hari. Kau bisa menikmati lesehan, diantara beringin yang berumur ratusan tahun, ditemani nyanyian pengamen yang eksotik. Nan cerdas.

Keramaian Angkringan Tugu yang mencapai puncaknya pada jam satu malam. Bisa kau rasakan kopi JOSS. Perpaduan kopi yanag dicelup kedalamnya mowo, yang panas. Juga pengamen yang silih berganti dan bunyi kereta.

Hiruk-pikuknya Malioboro dikala siang. Nol km yang makin ramai manusia baik seniman, muda-mudi atau pelancong saja. Juga acara-acara budaya dan seni yang kerap tergelar dikota ini.

Atau kali code, karena jasa Romo Mangun, yang mulai tertib dan tertata rapi.

Juga toko-toko buku dari kelas nominal tiga ribu hingga kelas ningrat berkantong tebal. Kota pameran buku, saking seringnya jogja menggelar event ini. Yang para penggilanya memilih kelaparan, dari pada tidak memborong buku-buku santapanya.

Begitulah Jogja membentuk ruang tersendiri bagi para peziarah ilmu dimasa mudanya. Membentuk berkas-berkas ingatan yang suatu saat akan dijumpainya lagi, jika jogja tak berpaling dari tradisi. Jika masih kental dengan budayanya. “Kebudayaan adalah kunci utama untuk bisa memahami peradaban. Juga ia berguna buat memahami manusia sebagai person.” Tulis Ruth Bennedict. []

[220608]

Rabu, 25 Maret 2009

Masihkah Kita Serius dengan Kata-kata?

Ryan Sugiarto

Sekarang , jangan-jangan kita tak lagi serius dengan kata-kata. Kata-kata yang merupakan produk dari oleh pikri dan juga olah rasa kita.

Barangkali sekarang ini kita sedang memanipulasi kata-kata. Lihatlah bagaimana para politisi mengumbar jani. Gampang sekali mereka melontarkan kesejahteraan, perbaikan, dan setumpuk kata-kata itu. Tapi kata-kata merak seperti tak berumah. Para politisi telah menjual kata-katannya. Berbui seperti apapun kata-kata yang dilontyarkan adalah maksud dari sebuah pencaria dukungan atas dirinnya. Dan kebanyakan dari apa yang mereka lontarkan adalah bentuk dari bahsa rayuan yang “membodohkan”, memanipulasi keinginan dan harapan rakyatnya.

Kata-kata dalam bentuk tutur memang penting. Setidaknya pada masa Yninani-romawi retorika menjadi salah satu ilmu yang mempunyai posisi yang tinggi dalam kebudayaan dan pemerintahan. Tetapi mereka melakukannya dengan retorika yang luarbiasa, retorika yang berusaha menuai kebenaran atas keyakinan yang disampaikan oleh oratornya. Dan rasannya itu menjadi santu ditelinga. Memikat uaidiennya. Begtitulah para filsuf pada waktu itu memoles kata-kata dalam sebuah retorika.

Dan. Kata-kata yang ditulis dalam sebuah tulisan tentu lebih menggambarkan bagaimana rajutan yang diinginkan oleh penulisan. Kita tahu bahawa sedikit orang yang menguasakata-kata yang menawan dalam oral maupun tulisan. Artinya. Ada kalanya orang yang pandai olah katannya dalam retorika, tapi tak pintar merangkainya menjadi tulisan yang ciamik. Pun sebaliknya.

Kata dan tulisan, kita menyebutnya bahasa untuk ini, adalah bagai ibu dan anak. Kata adalah sumber bagi segenap tulisan yang utuh. Kata adalah awal dari pemahaman terhadap tulisan yang termaknai oleh pembacannya. Oleh masannya. Dan kata adalah temuan paling brilian yang diperoleh manusia.

Jika kita bersetia dengan kata-kata kita sebernanya telah menghidupinya dalam diri kita. Dan membaca, juga menuliskannya, adalah bagian dari pelestarian kata-kata, yang kadang-kadang dengan semena-mena diambil alih oleh para plitisi untuk kepentingan sendiri.


230309

Minggu, 08 Maret 2009

Imajinasi dan pikiran

Ryan Sugiarto

Apakah yang menentukan dalam hidup seseorang. Imajinasiatau pikrian rasional manusia? Imajinasi atau aturan keagamaan? Imajinasi atau realitas?

Imajinasi adalah indra kesekian setelan indra tubuh manusia. Ia dalah penuntun dalam menjalani hidup manusia agar telepas dari kasunyata yang begitu adannya. Dengan imajinasi sesungguhnya kebebasan terbentang. Seluas-luasnya. Aturan mana yang mampu menghalangi sebuah imajinasi tumbuh dan berpengaruh dalam diri seseorang. Dengan apa makhluk manapun menghalami imajinasi bermunculan dan mengalahkan pikiran rasional manusia?

Tak sulit bagi imajinasi untuk mengembara kenegeri jauh, negeri liyan. Dimanapun berada. Dengan imajinasilah sesungguhnya pikiran kita dipandu untuk menjelajah kesegala arah. Karena bagis aya, kebesasan terbesar yang dimiliki oleh manusia dalah alam imajinasi yang tumbuh besar. Itu pulalah yang diberikan yang tak terpermanai. Imajinasi bahkan berusaha menggambarkan yang “lain” itu, yang dalam kitab-kitab bahkan kemungkinan penggambarannya dialrang-larang. “aku adalah seperti apa yang kamu pikirkan”, kegitu kata tuhan dalam firmannya.

Justru karena itu imajinasi melampaui pikiran. Imajinasi bisa membentuk-bentuk apapun pic tentang yang “liyan” tadi. Dan dengan itu sesungguhnya kita telah menggunakan kebebasan dan bekal alami ini untuk merengkuh yang tak terengkuh.

Sesuatu yang sangat luarbisa bisa mengelaborasi imajinasi dengan sebuah karya. Itulah dunia seniman dan dunia tulisan. Mereka mengembara ke negeri jauh. Yang tak semabrang orang menjangkaunnya.

Dan bukankan suatu perubahan tentang keadaban itu juga lahir dari liarnya imajinasi manusia. Kebesaran manusia dalam hal ini kemudian di olah oleh imajinasi yang menumbuhi mereka.

[050309]

Semangat Kehidupan

Ryan Sugiarto

Pernahkan kita bertanya kenapa setiap merayakan ulang tahun, manusia modern mengunakan simbol meniup lilin? Apa arti semua itu bagi sebuah perayaan ulang tahun? Atau apa makna petanda itu? Apa makna simbolisasi lilin yang menyala itu? Atau apa maksa perilaku meniup lilin itu bagi sebuah peringatan?

Bukankah lilin berarpi itu adalah tanda dari sebuah kehiduoan? Api adalah cahaya, dan ia tanda dalam sebuah kehidupan yang dimulai. Pada alam ini. Setiap orok bayi yang baru lahir merasakan adannya dunia yang terang, meski dengan suasa baru, ia kini memempati dunia terang. Salah satunnya ditandai dengan matahari, bergerak kepada api, dan lokomotif lampu hingga sekarang ini.

Seoarang teman dulu pernah mencari-cari sebatang korek api untuk menyalakan rokonya. Ia tidak menemukannya dan berkata “korek api saja kalian tak punya, bagaimana menerangi dunia. Mencerahkan manusia?” barangkali guyonan teman itu ada benarnya juga. Kira-kira begitu simbol api ini dari sudut pandang sebuah kearifan.

Lalu kenapa dalam perayaan ualangtahun tadi, kita mematikan lilin yang berapi ini? Apakah tidak sama artinnya dengan mematikan semangat kehidupan? Meredam kehidupan yang akan segra dilanjutkan lagi setelah detik-detik perayaan berlangsung. “atau apa yang akan dipadamkan dengan simbol api ini? Kita perlu cari tahu, minimal kita punya dasar dari setiap perayaan dengan simbol itu.

[050309]

Kearifan dari tepi Pasar Senen

Ryan Sugiarto

Inilah kearifan dari seorang lelaki tua, pejualan vocer grosiran, di tepi stasiun Pasar Senen. “bangsa ini tidak maju-maju, karena pemimpinnya tak punya visi kedepan,” begitulah kalimat itu terluncur dai lelaki 70an tahun ini, sembari menyedot gudang garam dalam-dalam. Menurutnya, Negara ini tidak mempunyai pemimpin yang bisa mengatur sebuah Negara.

Hal yang sangat dekat dengan saya, misalnnya, kereta yang saban hari saya haus bergaul dengannya, selalu mengalami keterlambatan. Seperti ii sering terjadi, katannya lebih lanjut. Ini salah stu bukti bahwa kitapun tak kusa menguasai ilmu merawat kereta, maintenance kereta. Entah apa yang dikoar-korarkan mereka yang nyaleg itu. Seoalah merea punya kemapuan menyelesaikan permasalahan kita seperti ini.

“dan siapapun presidennya nanti tak akan mampu menyelesaikan konndisi kebangsan seperti ini. Kita ini bangsa yang gemar menyombongkan diri,” katannya.
“Pernah dengar guyonan satir seperti ini?
“Sebuah perlombaan penembak jitu sesame tentara

“Tentara asal amerika meninta sebuah semangka untuk menjai sasaran tembaknnya. Diletakkan semangka itu diatas ubun-ubuh salah salah satu tentara lainnya. Dibidiknnya,” kata lelaki tua ini sembara mengarahkan tangan kakanya, dengan jari-jari menyerupai huurf L berdiri, “DOOR…tembuslah semangak itu, tak meleset sedikitpun,” katannya.

Tentara Amerika ini lalu berteriak “I am a Rambo.”
Tentara kedua, berkebangsaan Inggris. Lelaki tua mengulangi gerak tangan dan jarinnya, kali ini diikuti dengan memicingkan mata kanannya. Lanjutnya, “saya bisa melakukannya bahkan pada buah yang lebih kecil. Dipilhlah oleh tentara itu apel, dan diletakkan di kepa tentara yang tadi.”

“Door..!!”

“Lihat,” kata bapak tua ini sembara berkcak pinggang disela duduknya diatas sandal jepitnnya yang lusuh.

“I am a james Bond,” begitu kata tentara inggris, yang ditirrukan sang bapak.
Dan, unjuklah seorang tentara dari Indonesia.

“hei..jangan sombong dulu, saya akan pilih buah yang lebih kecil dari kalian,” kata sang tentara, “duku”
Diletakkanlah sebutir duku diatas kepala tentara sukarelawan tadi.
“Dooor…!!!”

“See…I am Sorry” begitu pak tua ini terkekeh menirukan ucapan tentara penembak dari Indonesia yang telah berhasil menewaskan tentara sukarelawan.

“Betapa kita ini begitu menyombong akan ketidak mampuan kita,” tukasnnya.
“Sepertinya kita patut meminjam orang luar untuk menjadi presiden kita. Seperti Fujimori yang berhasil mengelola jepang. “ lanjut laki-laki tua lulusan STM ini sembari menghitung lagi jumlah voucernya.

Dalam sudut-sudut seperti inilah tersimpan kearifan dan kkecerdasan, dari pemikir udik. Keluasan pikiran dan kesederhanaa pikir. Pikiran sebagai sebuah bangsa.