Minggu, 07 Desember 2008

Pendidikan (tak) Berkarakter

Ryan Sugiarto

“Mencari orang pinter itu banyak. Tetapi menemukan yang berkarakter sungguh susah. Karena itu jadilah orang yang berkarakter”. Begitulah Bung Hatta berseru tentang apa yang dibutuhkan negeri ini menuju masa depan. Orang yang berkarakter.
Bisakah pendidikan tinggi saat ini membentuk orang-orang berkarakter? Yang ketika keluar dari jenjang akademiknya dengan optimis menatap masa depannya? Yang mampu mewarnai kebangsaannya.Yang punya harga diri, kebanggaan diri. Manusia yang mempunyai keberanian mengambil tindakan, dan memiliki visi jauh kedepan.

Saya teringat pada sebuah peristiwa ketika pembekalan upacara wisuda di fakultas. Seorang wakil dekan memberi pengarahan dan menantang kami begini; “Siapa yang berkata, bahwa selama berada dikampus ia tidak mendapatkan apapun? Majulah kemari, ambil uang limapuluh ribu ini!”

Lontaran ini adalah upayanya mencegah, mendengar kembali ungkapan seorang wisudawan periode sebelumnya: “Saya merasa tidak mendapatkan apapun dari kampus.” Saya tak bisa memahami apakah ucapan wakil dekan ini sepenuhnya tantangan, atau ia berujud kesedihan, melihat wajah-wajah mahasiswanya yang hampir meninggalkan gelanggang kampus dengan pandangan kosong? Suaranya menyirat ambiguitas makna. Kesedihan yang berbalut kemarahan. Dan, aku menyimpulkan ini bukan suatu keprihatinan. Melainkan suatu kemarahan, tak ingin ia dengar kembali pernyataan serupa dari periode wisuda sebelumnya.

Seorang kawan, dipilih untuk memberikan ucapan terakhir, pidato perpisahan mahasiswa, dihadapan para orangtua wali dan sivitas akademika, mengatakan bahwa dirinya merasa tidak mendapatkan apapun di kampus ini. Ia adalah salah satu aktivis mahasiswa di kampus yang merasa bahwa kampus tidak memberikan pendidikan yang lebih dalam kepadanya. Kampus tidak mengajarkan kepribadian yang dibutuhkan untuk menangkap masa depan. Menurutnya, kampus lebih berkutat pada cara agar mahasiswa dapat menyelesaikan jumlah minimal sks nya dan selesai pada waktu yang ditentukan. Menurutnya lagi, kampus, melupakan fungsi bahwa pendidikan harus membentuk watak berkarakter.

Saya pikir sebuah tindakan berani, mungkin juga jujur, dari teman tadi. Jujur disaat, perkuliahan yang dialami sepanjang empat tahunan, hanya mendapatkan teori, tak membentuk berkarakter. Berani karena mahasiswa pilihan ini, tidak serta merta tertunduk pada birokrasi dan tata krama yang meniadakan rasa kebenaran. Ia berani untuk tidak munduk-munduk, berucap terimakasih yang berlebihan dan berbusa-busa kepada kampusnya, kepada birokrasi kampusnya, juga dosen-dosennya. Ia mungkin tidak menyiapkan teks pidato tertulis, yang biasa dibaca para mahasiswa “pilihan” lain ketika menyampaikan pidato perpisahan, yang berisi rentetan ucapan terimakasih dan permohonan maaf dari A-Z. “Kebanyakan orang dinegara ini memang memilih ketenangan dari pada kebenaran,” begitu tulis Ayu Utami dalam Bilangan Fu.

Saya menangkap ungkapan teman ini adalah kesungguhan. Kesungguhan, ketika memandang bahwa masa kuliahnya selesai. Kini ia memandang ruang kosong didepannya. Kebingungan dengan apa yang akan dilakukanya. Tak ada alat pun yang ia peroleh dari kampus. Tak ada senjata pun yang dibekali kampus, selain teori-teori yang tumpul untuk membentuk realitas. Tidakkah hampir semua calon sarjana dan sarjana baru mengalami kondisi psikologis yang demikian?

Namun, paling tidak kawan yang satu ini tersadar atas apa yang telah ia alami dalam kampus. Yang, memang, tak membentuk diri berkarakter. Karena menurutnya, mustahil. Pembentukan karakter tidak disediakan diruang kelas. Justru diluar ia tersedia untuk direngkuh.

Ia, saya pikir, menyuarakan kebisuan dan kekosongan kawan-kawan didepannya. Mereka yang memakai toga kehormatan akademis. Dengan wajah sumringah karena baru saja memperoleh gelar kesarjanaan. Namun jauh didalam, menatap dunia dengan tatapan kosong. Tak berani berbuat.

Saya jadi teringat kembali pada sebuah film yang dibintangi Dustin Hoffman. The Graduate. Dipertontonkan disana, ben Braddon (Hoffman) pulang setelah lulus dari perguruan tinggi. Tatapi ia merasa segalanya kosong. Seperti gelembung, ruang-ruang rumahnya yang besar, rasa bangga dan ambisi bapak- ibunya, juga omongan para tamu. Si anak pulang, tapi ia hanya melayang-layang. “Hello darkness...” begitu sambutan bagi kelulusannya. Film ini bisa jadi mewakili semua lulusan perguruan tinggi kita.
Saya menyepakati, pendidikan kita secara umum tidak membentuk karakter seperti keinginan bung Hatta.Paling tidak belum sampai menghasilkan lulusan berkarakter hebat. Dari jamaknya para calon wisudawan yang pernah ada, barangkali juga saya, waktu transisi menjelang wisuda adalah waktu yang paling menggelisahkan. Oleh karena di depan, tak ada yang bisa dilakukan dengan pasti.

Kemudian terbukti ketika sekian banyak lulusan kita tidak siap berkompetisi dengan dunia pasca universiter. Data statistik negera ini menunjukkan, bahwa pemasok pengangguran terbesar adalah perguruan tinggi. Setiap tahun perguruan tinggi menambah angkatan statistik pada jumlah pengangguran dari tahun ketahun.
Saya tidak mengganggap bahwa karakter yang dibentuk selalu terkait dengan kecepatan seseorang memperoleh kerja. Lebih dari itu, insan yang berkarakter, kembali pada Bung Hatta mereka yang siap dengan percaya diri mampu membangun masa depan diri dan bangsannya.

Negeri ini akan terus membutuhkan orang-orang yang berkarakter untuk membangun. Mereka yang memiliki keberanian untuk menyuarakan. Keberanian yang ditopang data dan pemahaman realitas sosialnnya.

Anehnya, sering hal-hal seperti ini tidak ditemui diruang perkuliahan atau obrolan-obrolan seputar kuliah. Justru sebaliknya, bisa ditimba dalam kelompok-kelompok diskusi, organisasi-organisasi mahasiswa ekstra maupun intra kampus. Telah jauh-jauh hari disampaikan oleh Prof. T. Jacob, mantan Rektor UGM, mengikuti kegiatan-kegiatan diluar perkuliahan kampus, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah menyiapkan kehidupan pascauniversiter, begitu beliau tulis dalam sebuah majalah mahasiswa kampus ini.

Dan akhirnya memang wajar jika kegelisahan seperti ini menyeruak. Kegelisahan bahwa perguruan tinggi, tidak lagi menawarkan karakter kebangsaan. Melainkan profesionalisme individualis. Bahasa paling sederhana, tak ada semangat aktivisme yang muncul dalam diri mahasiswa. Kegelisahan ini pula yang muncul dalam acara Silaturahmi Antar Generasi Mantan Aktivis Mahasiswa dan Pers Mahasiswa se-UGM dari angkatan 70-an sampai 2000-an, di Gedung Granada, Universitas Paramadina, Jakarta (22/9). Dengan lontaran agak menyindir, bang Anies R.Baswedan berkata, sekarang kita bisa berkumpul di ruang yang bersahaja ini, sambil berbincang hal-hal seperti ini. Bayangkan, tahun 2028 apakah mantan-mantan aktivis, setelah kita, tidak di Hyatt? Masih menurut bang Anies Baswedan, yang Rektor Universitas Paramadina, penyebabnya adalah rekruitmen universitas telah berubah. Hampir seluruhnya berasal dari kalangan menengah keatas, yang dituntut lulus cepat karena desakan biaya tinggi.

Lalu, mungkin, tak ada lagi teriakan-teriakan keras, seperti dalam pidato perpisahan fakultas, teman saya tadi.

Maka, ketika kawan tadi berucap: aku merasa tak mendapatkan apapun dari kampus, justru ia telah mendapatkannya. Mendapatkan keberanian, dan kejujuran yang terungkapkan. Tidak semua sarjana pada waktu itu berani berkata dan melakukannya. Ia mendapatkannya, walaupun ia usahakan sendiri diluar urusan perkuliahan.[]


[220808]


Majalah Kagama, November 2008

Jumat, 14 November 2008

Yang Besar dan Yang Kecil

Ryan Sugiarto


Berapa banyak hal-hal besar yang bisa dilakukan untuk mengubah dunia ini? Tetapi begitu banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk mengubah dunia.

Memang demikian adanya. Hal-hal kecil selalu luput dari perhatian kita. Luput dari pikiran-pikiran kita yang ingin menjadi besar dan melakukan hal-hal besar. Bukankah Schumaker pernah mneulis” small is beautifull”? Kecil itu indah.

Setiap saat kita selalu bergelut dan diiringi oleh hal-hal kecil yang kita bertindak bersamannya. Tapi kita sering meremehkan hal-hal kecil itu.

Setiap saat kita berpikir tentang hal-hal yang besar. Yang masih angkuh rengkuh.

Berpikir besar dan bertindak untuk perubahan besar adalah impian banyak orang. Tetapi melakukan hal-hal kecil adalah milik setiap orang.

[111108]

Senin dengan Langit Biru Terang

Ryan Sugiarto

Sebenarnya hari ini tak terbayangkan akan menemui warna yang begitu indah
Pada langit yang biru terang. Tak seperti biasa, ia menawarkan segala keindahan dan kecerahan yang luar biasa menembus pada aras kepercayaan. Menembus pada hati yang memancarkan pikiran yang tak memandang kelam.

Senin dengan langit biru terang. Sebuah keindahan pada pagi hari yang menakjubkan. Suatu pagi yang ak biasannya. Yang menawarkan sejuta harapan. Dan melapangkan berbagai kemungkinan hari untuk diraih.

Inilah pagi dimana langit biru terang. Segenap optimisme langit yang dihujankan kebumi. Menandai adannya masa yang lebih baik. Untuk hari ini. Melangkah dengan keengganan untuk berhenti.

Seandainnya tiap pagi langit nampak seperti ini. Tapi rasannya tidak. Karena tak seindah dengan menyebutnya “senin dengan langit yang biru terang”

[131108]

Filsafat Waktu?

Ryan Sugiarto

Seandainnya kita tersadar bahwa lama kita telah kehilangan waktu. Kehilangan hari ini. Kehilangan hari kemarin.

Tetapi betapa kita tidak pernah merasa kehilangan hari kita? Betapa waktu menjadi hal yang tidak penting dalam siklus hidup kita. Menjadi hal yang remeh temeh. Kita sering bilang “masih ada besok, masih ada waktu” untuk sebagia hal bisalah kita berkomentar demikian, tetapi pda hal yang lain, rasannya sangat menyedihkan ketika kita berujar dan dengan santai meniti kehilangan demi kehilangan waktu kita.

Konon filsafat agama, dan kaitannya dengan filsafat manusia, waktu adalah sesuatu yang berjalan mundur. Tetapi dalam filsafat modern, waktu itu bergerak maju. Ia akan mencapai pda titik yang disebut masa depan. Meninggalkan kesekarangan, bahkan kelampauan.

Dan karennannya, maka kita diantara dua pengertian filsafat ini, yakni tarikan bergrak maju dan tolehan kebelakang panjang waktu kita, atau sisa waktu kita. Tarikan antra mendekati siswa waktu dan menuju waktu yang panjang, masa depan.

Tapi sayangnya kita tidak pernah berpaham-paham dengan filsafat faktu ini. “udahlah, jalani saja hidup ini” begitulah kita. Ada baiknya memang kita yang bergerak mengendalikan waktu. Menghabiskan sisa waktu yang ditentukan melalui filsafat agama, atau menuju waktu panjang dalam filsafat masa depan.


[121108]

Senin, 10 November 2008

Rencana Memiliki

Ryan Sugiarto


“Memilikimu adalah maksud dari sebuah rencana besar mengubah hidupku” [rencana Besar, Padi]

Lirik ini Anda bisa menafsirkan sendiri. Apakah sebuah keegoisan, ketamakan, atau siasat licik? Atau bisa juga rencana bsar melakukan perubahan mendasar, atau apapun bisa anda alamatkan kepada lirik ini.

Konon, setiap teks yang sudah dilepaskan adalah menjadi hak bagi pembaca atau pendengarnnya. Jadi apapun tafsirnya tergantung pada tafsir masing-masing. Kira-kira begitu kekuatan sebuah teks. Ia berdiri sendiri dan pada yang sama mendefiniskan diri sesuai dan sana dengan definisi orang yang menggaulinnya.

Teks bukankah selalu terbuka dengan segala kemungkina definisi, dimanapun ia berada dan singgah dalam alam pikir. Penulis teks tak lagi mampu menguasai kemana makna teks itu melayang-layang. Ia hanya sanggung menguasai maksannya sendnri dalam alam pikirannya. Sehingga dengan demikian ia tak akan mampu menguasai makna teks yang sudah dilontarkan keluar,msekipun ia memiliki tafsirnnya.

Meski demikian, "kata-kata tak akan pernah jadi pisau di negeri para orator…"
(puisiFilm Bisu Dorothea Rosa Herliany)


[061108]

Kebenaran Melobangi Pengetahuan

Ryan Sugiarto

Begitulah Lacan berujar tentang kebenaran dan pengetahuan. Pengetahuan adalah hamparan-hamparan ilmu yang begitu luas. Pengetahuan tidak membedakan baik dan buruk. Benar dan tidak benar. Ia adalah seperti layar yang luas dan datar.

Dan kebenaran adalah pelobang dari layar yang luas tadi. Dari lobang itu kita bisa melihat apa yang terjadi sebenarnnya dibalik lubang. Kebenaran mengantarkan manusia pada satu gambaran yang berada dibalik datarnnya pengetahuan atau layar yang berhampar-hampar.

Oleh sebab itu bukanlah hal yang paling diinginkan dari pendidikan adalah melobangi pengetahuan dengan kebenaran-kebenaran. Kebenaran tidak tunggal bukan? Maka kebenran menjadi begitu banyak dan relatif. Pengetahuan menjadi berlubang-lubang oleh mata kebenaran.

Maka benar kirannya bahwa kita tidak bisa berhenti pada hampran atau dataran pengetahuan. Tetapi harus melihat apa dibalik dari hambaran-hamparan tersebut, melalui lobang kebenaran.

Atau pada bahasa lain yang sering kita dengar. Bengetahuan adalah baju.

[051108]

Pribadi yang Tenang

Ryan Sugiarto


Ketenangan membawa kepada kekuatan pribadi. Kira-kira demikian yang bisa kit baca dari orang-orang besar yang menemukan jalannya untuk melakukan perubahan. Konon ketenangan juga membawa diri pada kematangan untuk menemukenali jalan perubahan.

Ketenangan adalah pntu untuk memandang sesuatu secara lebih jelas. Memandang segala hal dengan pikiran yang dingin. Dalam hiruk dan pikuk, kita membutuhkan ketenangan untuk berpikir besar dan sadar. Hidup konon dipenuhi dengan gemerisik ocehan yang siampang dan siur tak karuan. Mungkin seperti gelombang informasi, longitudinal yang riuh rendah.

Maka jadilah pribadi yang tenang. Yang siap menangkap segala perubahan dengan kcamata dan cara pikir yang lebih dalam. Pribadi yang tenang adalah cerminan kehidupan yang anggun dan menenetrakan. Ketenangan tidaklah menafikan kebenaran. Sesungguhnya dibalik ketengangan orang mampu berikir dalam utnuk merengkuh yang benar. Bukan justru menutupi kebenaran. Seharunnya begitu yang terjadi. Tapi Ayu utami pernah menuliskan bahwa: “orang dinegeri ini lebih menyukai ketenangan dari pra kebenaran.”

Sejatinnya dalam ketenangan itu tadi orang mampu merengkuh kebenran yang dalam. Pribadi yang tenang dan menenangkan orang lain merupakan sosok yang mampu merengkuh masa lebih banyak. Sosok inilah yang (mungkin) sebenrannya diidamkan dalam melakukan perubahan yang diinginkan bersama.

Bukankah kalau begitu ketenngan itu menyembuhkan?

[061108]

Pada Masanya Setiap Individu Mampu Membuat Sejarah Baru

Ryan Sugiarto


Mengapresiasi kemenangan Presiden Amerika Serikat 2008, Barak Huesin Obama Junior, seorang teman berselorh “pada masannya setiap individu mampu bikin sejaranh baru”.

Pasti. Saya meyakini bahwa setiap individu mampu membuat gebrakan bagi sejarahnya sendiri. Sebagai pribadi, ia telah memiliki hak hidupnya, dan dia bisa kapanpun meomentumnnya, membuat sejarah kehidupan. Terutama bagi dirinnya sendiri.

Namun untuk membuat sejarah yang sanggup menginspirasi orang lain dan sebanyak-banyaknya masyarakt dunia. Bukan saja momentum pribadi yang berjalan disini. Tetapi momentum bersama un tuk membuat gebrakan, membuat lembaran sejarah baru dalam hidup bersama.

Sejarah membuktikan hanya orang-orang yang siap dan berani yang bisa merubah sejarah peradaban. Itu semua ditunjukkan dengan kematangan pribadi. Orang yang sadar dan matang secara pribadi pada gilirannya akan mempu melakukan perubahan dalam masyarakatnya, dalam peradaban yang lebih luas.

[061108]

Persahabatan dan Bunga Krisan

Ryan Sugiarto

Teman saya dalam sebuah Blognya tentang sebuah ucapan bunga krisan kepada temannnya. She, untuk menyebut dia perempau, dengan agak romantis nostalgis, mengingat sebuah persahabatan yang nampaknnya masih ada hingga sekarang. Mungkin dari pertemuan yang sudah hamper lima tahun.

Nampaknnya setiap pertemuan selalu memunculkan kerinduan. Kerinduan pada masa depan, sesunggunya. Baik untuk sekedar berkeluh atau berkesah, sembari pada saat yang sama memberikan ucapan selamat pda kemajuan demi kemajuan yang telah dan sedang dicapai.

Saya menajdi teringat tentang sebuah percakapan yang kami langsungkan beberawa wpaktu yang lalu melalui yahoo massanger. Ia , juga saya nampak berkelu dengan pekerjaan masing-masing. Seraya mengkritisi dan mendukung setiap ucapan yang kami sampaikan.

“Soal pekerjaan itu yan,” katannya, “Wang sinawang.” Lanjutnya, kamu mungkin memahi pekerjaan saya sangat dinamis dan membutuhkan mobilitas yang tinggi, menulis dengan integritas jurnalis yang luar biasa. Tapi tak semua jurnalis di Indonesia ini memiliki Integritas yang dibayangkan dulu. Semuannya seraya hanya pekerja. Bukan seperti Intelektual seperti yang kita bayangkan dulu semasa mahasiswa, mungkin begitu terjemahan bebas dari teman itu

“dan kamu memahami pekerjaanku deminkian nyaman dan menyenangkan.” Lanjutnya.

Kita sekarang sekadar menjalaninnya untuk membuat satu model rencana kehidupan yang lebih baik. Tentang tujuan hidup semacam apa yang kita inginkan, dan melalui jembatan kerja mana untuk mencapai itu.

Idealisme mahasiswa kami, waktu itu juga sekarang, masih nampak. Rasannya tak ingin membiarkan diri menjadi sekrup-rekrup usaha yang begitu saja. Paling tidak jika Anda menjadi sekrup, jadilah yang kritis terhadap tindakan diri Anda sendiri. Kadang begitu pikiranku.

[051108]

Menghukum yang tidak ramah

Ryan Sugiarto

Atau yang tidak ramah akan mendapat hukumannya. Konon demikian yang bias kita belajari dan kita jadikan pengalaman dari kontestasi pemilu di amerika. Hillary pada masa kampanye pendahuluan dari partai democrat nampak begitu arogan dengan mengatakan “tak ada yang bisa mengalahkan saya.” Tapi dia sekarang tersadar bahwa pemilih telah menghukumnya oleh arogansinnya sendiri.

Terutama pemilih berpendidikan tidak mau didekte oleh calon-calon yang arogan. Hillare dan Mc Cain telah membukikan hukumannya. Hukuman dari pra pemilih mereka. Kedua rival Obama dan ajang pemilihan yang berbeda ini begitu mengagung-agungkan pengalaman. Namun mereka lupa bahawa da hal lai dibalik pengalaman dalam mencapai apapun itu.

Ketidakramahan adalah sebuah jarak. Dan jarak sangat menentukan dalam sebuah pencapaian. Jika kita berjarak maka rasannya begitu susah untuk meraih apapun. Keberjarakan adalah sesuatu yang perlu diantisipasi dan dipahami dalam setiap usaha pencapaian.

Keramahan adalah modal yang bisa merengkuh sebanyak-banyaknya dukungan pencapaian. Keramahan adalah awal dari kedekatan.

[061108]

Politik Multikulturalisme

Ryan Sugiarto

Impian Mrtin Luther King Jr, akhirnya menjadi kenyataan setelah 55 tahun kemudian, demikian tulis Kompas.

28 Agustu 1963, dihadapan 200.000 orangd ari berbagai ras di dekat Loncoln Memorial, Washington DC yang menuntut keadilan sama dihadapan hukum, Martin Luther Kin Jr menyampaikan pidatonya yang tersohot: I Have A Dream.

Begini kutipannya:” Saya mempunyai satu impian bahwa suatu hari setiap lembah akan ditumbun, setiap bukit dan gunung akan diratakan, tempat-tempat yang kasar akan dihaluskan, dan jalan-jalan yang berkelok-kelok akan diluruskan, dan (akhirnya) kemuliaan Tuhan akan dinyatakan serta selurh umat manusia bersama-sama melihatnya.”

Kini impian tersebut sudah terwujud, meskipun belum terejawahtahkan secara kese;uruhan. Terpilihnya obama adalah pintu bagi segala kesetaraan seperti yang dicita-citakan King.

Dan kini itulah yang juga dijunjung tinggi sebagai jargon politik yang diusung oleh Preisden Barack Obama semasa kampanye pemenangan pemilu. Dan kita menunggu dunia untuk memandang multikulturalisme secara serius. Tiak saja untuk, paradigma pemikiran politik, tetapi juga paradigma kehidupan yang lebih luas.

Seperti halnnya fitah manusia yang tidak sama satu dengan lainnya. Maka pengakuan multikulturalisme menjadi sangat jamak untuk dikumandangkan secara serius. “Pangeran demokrasi”, demikian Amerika disebut telah membuktikan ini melalu pemilu presiden yang baru saja terpilih. Presiden Barak Obama.

Amerika telah membuktikan, paling tidak saat ini, kedewasaan dalam memandang politik dan ,ultikulturalisme. Rasisme telah ditepis dalam pemilu kali ini.

Dan McCain, rival Obama, mengakui dengan etika politik yang luar biasa. “Kita tidak berjalan kebelakang. Tetapi kita menuju ke masa depan. Dan Presiden Barak Obama adalah Presiden kita semua,” begitulah Mc Cain melontarkan statemen pertamannya mengakui kekalahan dan menjunjung etika politik yang luar biasa.

Saatnya politik multikulturalimse berkumandang dengan santer.

[051108]

Jumat, 24 Oktober 2008

Bilangan Nol (0)

Ryan Sugiarto


Bilangan Nol. Dalam bilangan nol semuannya adalah sama. Ia mengandung apa yang dimaksud dengan kesetaraan. Olehnya, apappun yang akan dikenakan kepadannya adalah sesuatu yang luarbiasa. Jika dikalikan ia akan menjadi blangan tak terhingga, jika dibagi demikian juga.

Bilangan Nol adalah pralambang dari multikulturalise, pluralisme, kesetaraan dalam perbedaan. “tak ada yang didepan, juga tak ada yang dibelakang”. Semuannya satu posisi yang sama dalam lintasan yang tak putus.

Inilah makna terpenting bagi bilangan nol, dalam memandang kehidupan kita yang serba berkasta. Sekali lagi bilangan nol mengingatkan kita, justru buakn kekosongan yang kita maknai hari inji. Tak berisi dan pada titik tertentu tak berarti. Nol, semenjak kecil bagi kita selalu dimaknai dengan ketololan. Kebodohan. Anehnya, kenapa banyak diantara kalimat ketololan dan kebodohan mengggunakan huruf yang menyerupai bilangan 0.

Tetapi hematnya, bilangan 0 adalah bentuk perayaan pada persamaan. Menghaargai perbedaan. Tak tersirat didalamnya yang merasa unggul dan terabaikan. Bilangan 0 merangkum semua dalam satu lintasan yang tak membeda, posisi sama, ada didalamnya. []

[201008]

Sabtu, 18 Oktober 2008

Inilah Pelajaran tentang Pikiran

Ryan Sugiarto

Pada sebuah kalender meja yang tampak anggun meski kecil dan mungil, mengutarakan pelajaran tentang pikiran. Inilah katanya:

Pikiran yang besar membicarakan ide-ide, pikiran yang rata-rata membicarakan kejadian-kejadian, dan pikiran yang kecil (kerdil) membicarakan orang-orang.

Inilah pelajaran tentang pikiran. Dan oleh itu, kita bisa bertanya, dimana taraf pikiran kita? Apakah kita bisa dan biasa berpikir besar. Atau rata-rata saja, atau malah sebaliknya. Tidak banyak orang yang berpikir besar. Apalagi berpikir besar bersama, masal, berjamaah.

Berpikir besar adalah bepikir tentang apa dan bagaimana. Sebentuk pencarian tentang hal diluar jangkauannya sekarang. Diluar kemampuannya sekarang untuk membuat definisi dan merangkai cara “bagaimana” ia akan dilanjutkan menjadi “apa” tadi. Jangkauannya, kalau begitu, adalah masa di depan kesekarangan. Dan oleh sebab itu ia membutuhkan daya yang lebih besar pula.

Pikiran yang rata-rata, selalu membicarakan kejadian. Kejadian yang ditangkap dalam keseharian. Karenannya pikiran rata-rata disibukkan dengan kejadian yang dialami disekitarnya. Ia disibukkan pada tataran muka.“Kapan” dan “Dimana” adalah kata petunjuknya. Pikiran rata-rata menyambut baik lingkungan oleh setiap kejadian dijadikannya pelajaran.

Sementara pikiran yang kerdil adalah pikiran yang membicarakan orang-perorang. Ia selalu update dalam hal pembicaraan. Inilah kapasitas terbesar negeri ini. Lihat saja, dalam televisi, dimanakah jam-jam tayang lepas dari yang namannya gossip? Infotainment? Atau apalah namannya. “Si anu ternyata selingkuh lho,”, “Oh…dia sekarang di sini, begini,”bagaimana kalo….,”,” dst

Begitulah orang-orang di negeri ini begitu gandrung pada yang namannya gossip. Kita jarang diajarkan pada bagaimana cara berpikir besar. Tetapi kita tiap hari disodorkan untuk mengkonsumsi cara-cara berpikir kerdil.

Berpikir besar adalah memulai menyisihkan yang namnya cara berpikir kerdil, membicarakan orang-orang. Berpikir besar adalah cara kita diterima dengan gagasan-gagasan dan pengalaman. Berpikir besar , membantu agar perubahan bisa dilakukan. Ia sebentuk kata menjadikan perubahan. []

[151008]

Manusia Posmodern dan Laku Kritik

Ryan Sugiarto


Benar kiranya yang dilakukan oleh Parang Jati, dalam Novel Ayu Utami , Bilangan Fu: manusia postmodern sesungguhnya adalah manusia yang mampu menjalankan laku kritik. Ia adalah manusia yang telah selesai dari masa kegelapan, renaissance, doktrin agama, rasionalisme, dan modernisme itu sendiri.

Manusia postmodern mungkin juga manusia yang telah selesai membaca dan pada gilirannya adalah yang mampu memberikan komentar, koreksi dan juga mungkin sanggahan pada apa yang dibaca orang modern. Manusia posmedern selangkah lebih maju dari manusia modern. Manusia modern, berada dalam tarap membaca. Sedangkan manusa postmodern, dalam taraf laku kritik. Laku kritik adalah hasil dari proses pembacaan.

Posmodern, sebagaimana yang telah pada beberapa waktu lalu, adalah sikretisme yang malu-malu. Ia adalah pencampuran antara positif modernisme, takhayul, dan barangkali juga tradisionalise, dan post-tradisionalisme. Dan oleh karenannya, sesungguhnya, pemikiran postmodern adalah pemikiran yang kembali merangkul seluruhnya, belajar untuk bijak. Meski menjadi bijak tidak pernah ada. Belajar bijak dalam membaca keadaan akan kesekarangan, dan juga keduluan yang pernah ada.

Membaca kesekarangan adalah membaca tanda-tanda, yang pada masa dulu adalah keadaan yang bisa jadi larangan. Kesekaranngan memberikan banyak tanda, bahwa ia telah berbeda dalam larangan.

Maka posmodeernisme adalah pengingatan. Pengingatan akan masa tradisional, dimana yang namanya takhayul berlaku. Takhayul tidak untuk penyembahan, tapi hanya sekadar penghormatan kepada penguasa-penguasa alam selain yang maha esa.

Dalam agama monoteisme seperti yang ditulis ayu utami tidak ada Tuhan selain tuhan itu sendiri.., dan ia terwadahi dalam agama timur.

Memang panguasa, selalu ada dimana-mana. Tentu selain dia. Penguasa inilah utusan tuhan. Ia berada dalam roh-roh, dalam mungkin juga batu-batu dan gunung-gunung, goa, juga pepohonan, yang dipercaya tuhan untuk menjaga bumi dari kepentingan kerakusan manusia. Maka manusia tradisional, juga manusia postmodern yang sekarang menjadikan yang seperti itu adalah penguasa, penjaga. Penjaga dari kerakusan manusia rasional. []

[151008]

Rokok dalam (upaya) Perbandingan Ilmiah

Ryan Sugiarto


Soal ini kita memang bisa berbeda dalam memandangnya. Sebaaimana kita jrang sama dalam memandang beberapa hal.

Merokok! Ahli medis dan juga mereka yang (merasa) sadar akan kesehatan diri dan lingkungannya tentu menyetujui larangan merokok. Baik ditempat umum atau bagi pribadi. Ada banyak kampanye yang dilakukan, misalnya: “Stop Merokok”,”merokok merugikan kesehatan”, bahkan ada hari tanpa tembakau sedunia, meski hanya satu hari.

Pedukung golongan ini tentu telah memaparkan betapa rokok telah banyak merugikan manusia. Betapa rokok adalah sama bahayannya dengan pembunuh lainnya. Maka, berapa banyak perhari nyama hilang gara-gara rokok. Banyak publikasi dan kampanye yang menyatakan, betapa roko adalah musuh besar kesehatan, mungkin juga manusia.oleh karenannya kita selalu disodorkan statiska tentang jumlah-jumlah kematian yang tidak sedikit.atinya betapa banyak nyawa elayang gara-gara menghisap rokok.

Lawannya. Vs-nya adalah mereka yang perokok. Terutama perokok berat.fillosofinya: “merokok adalah pangkal kesenangan”, mungkin juga “rokok sumber kenikmatan”. Tetapi sayangnya belum ada tindakan riil dari para perokok sendiri untuk mengkonter pendapat para penentang rokok secara ilmiah. Misalnya saja sekadar untuk membuktikan pertanyaan: Berapakah jumlah manusia yang merokok secara aktif dan berumur lebih dari setengah abad, atau mungkin ¾ abad? Apakah mereka sakit-sakitan? Atau apakah mereka hidup sehat dan mampu menjalankan aktivitas dengan baik?

Para perokok dan jika ia peneliti, mungkin ia bisa menjadikan lokasi pegunungan sebagai lokasi penelitian. Apakah masih banyak bapak-bapak yang hidup dipenggunungan yang merokok, dan ia hidup sehat? Berapakah jumlahnnya? Atau kalau tidak dipegunungan, jadikan saja lokasi di desa-desa sebagai objek penelitian. Masihkah banyak kakek-kakek yang merokok, agar hidupnya nyaman?

Atau misalnya saja, berapa banyak orang merokok yang menghasilkan karya-karya besar oleh karena bantuan pengkondisian ketika ia merokok?

Dari hasil penelitian ini dengan mengambil sampel sekian dari daerah desa dan terutama pegunungan, peneliti bisa mendapatkan jumlah perokok aktif berapa diusia sekian? Hal ini tentu bisa menjadi perbandingann ilmiah atas penelitian dari kaum penentang roko bahawa setiap detik didunia ini ada kematian yang disebabkan oleh rokok.

Asalkan saja peneliti yang pro rokok tidak terjebak pada perusahaan rokok. Karenan saya pikir belum ada penelitian manapun terutama yang dilakukan oleh para perokok tentang ini. Bisa menjadi bahan perbandingan ilmiah kan? Atau bisa jadi, jika perusahaan roko membaca ini, mereka akan membuat penelitian untuk mempertahankan rokoknya tetap bertahan dipasar.

Agar kita tidak sekadar menutup mata dan membukannya pada saat-saat tertentu bahwa satu hal hanya mengandung kerugian. Dan kita bisa berpikir kritis tentang diri kita sendiri. []

[191008]

Manusia Pasca Putus Cinta Jilid dua

Ryan Sugiarto


Jika dimulai dengan baik-baik. Maka akhirilah dengan baik-baik pula. Seorang teman agak dekat pernah bercerita, lebih tepatnya curhat. Curhat tentang bagaimana hubungannya dengan kekasihnya sekarang. Kabarnnya sudah hampir setengah tahunan ini mereka tidak berkomunikasi. Konon penyebabnya sepele. Sms agak genit yang harusnnya disampaikan kepada kakak keponakannya, tanpa dia sadari terkirim kepada kekasihnya.

Kontan, tanpa babibu…sang kekasih marah. Karena telah menganggap, teman tadi sudah selingkuh. Atau paling tidak dikira menggoda cewek lain. Maka pacar teman tadi marah-marah…tanpa perlu konfirmasi lagi. Dan segala macam sms mesra yang ditulis kawan tadi, semasa aktif pacaran, dikembalikan pula dalam bentuk sms seketika itu pula. Sejak saat itu maka komunikasi ini tak terjalan.

Sang teman tadi menjadi berpikir dua kali. Jika harus meneruskan hubungan dengan ceweknya. Ia berkata padaku:”saya bahkan takut membayangkan membina hubungan keluarga, jika disertai dengan letupan amarah yang seperti ini. Apalagi sebuah hubungan yang tidak dilandasi dengan kepercayaan,” begitu kayannya serius.

Hampir setengah tahun itu, dia menganggap bahwa mustahil hubungan itu diteruskan. Meskipun mereka telah memperkenalkan diri kepada masing-masing keluargannya.

Tetapi gambaran menakutkan tadi yang mengalahkan rasa sayangnya kepada pasanngannya. Begitu katannya selanjutnya. “Ah Bukan cinta sejati kamu ini,” selorohku.

“Entahlah. Tipe Ekstrovet seperti aku ini memang tidak mudah ditebak-tebak. Bahkan oleh pasanganku waktu itu. Ia tak pernah memahami diriku sepenuhnya,” begitu alasannya dari lontaran singkatku tadi.

“maka kami tak pernah berkomunikasi lag. Hanya pada ulangtahunnya aku menyapannya. Meskipun tanpa jawaban. Juga pada hari raya lebaran lalu. Juga tidak ada balasan yang menandakan amarahnya mereda,” terusnnya.

Lalu tiba-tiba dia melontarkan sms yang isinnya dia juga harus minta maaf kepada kdua orang tuannya. Teman tadi masih merasakan amarah yang begitu besar dari pasangannya. Dia mencoba beralasan tentang kemangkirannya selama berbulan-bulan.

Bukankah memperbaiki hubungan tidak hanya dari satu pihak saja. “toh selama ini dia juga tidak menunjukkan gelagat untuk memperbaiki hubungan. Posisinya hanya menunggu-dan menunggu. Entah apa yang dipikirkannya, dirasakannya” begitu paparnya panjang lebar. Waktu itu kami memang sedang menyedup kopi di salah satu kafe, di ibu kota. Ia tampak berserius dengan apa yang dialamminya.

Teman tadi sempat berterimakasi kepada ceweknnya, oleh sebab telah menghubunginya walaupun dengan nada marah. “Ia mempertanyakan bagaimana sekarang? “ lanjutnya. Dia katakan, alasan-alasannya yang panjang lebar. Dan pada bagian akhir ia menulis “baik kalau begitu sekarang kita berjalan sendiri-sendiri (barangkali kamu lebih menyukai kata putus).” Alasan salah satunya adalah kepercayaan. Pasangan temen tadi membalikkan. Pacar temen tadi menyebarkan sms salah kirim itu kepada teman-teman, pasangannya. Juga memberitahu urusan orang muda ini kepada orang tua sang lelaki.

Aku mendengarkannya dengan sangat bosan. Serius aku dibosankan oleh curhatan teman ini yang berlama-lama. Sampai-sampai kami memesan cangkir kedua untuk biaya curhat.

Kini teman ini, katanya akan membiarkan semua mengalir saja. Barang kali lain waktu ia akan memperbaiki hubungannya. Meskipun, tentu saja, sedikit banyak reputasinya, kalau dia punya, telah lain dimata teman-temannya sendiri. Oleh sebab penyebaran kesalahan yang tidak berdasar.

Ini yang terpenting.

Curhatan teman tadi adalah satu dari sekian masalah anak muda. Yang saya herankan, kenapa seorang lelaki dewasa seperti teman tadi menjadi begitu sendu menghadapi persoalan cintannya. Saya baru menemui seorang teman, yang bisa curhat ndakik-ndakik. Berjam-jam. Dan seolah ia telah dihadapkan pada pilihan yang semuannya buruk saja. Aneh saja bagiku.

Tapi paling tidak teman tadi, berani dan tanpa malu-malu mengeluarkan persoalan cintannya kepada orang lain. Satu hal yang barangkali, sebagai cowok jarang terjadi dan berani. Termasuk saya.

Apakah begini tipe kedua manusia pasca putus cinta. Merasa nelangsa, dan jika ia mersa sedikit bersalah, ia telah merasa hancur. “Ahh…begitulah cinta, deritannya tiada akhir” begitu kata Pathkai, murid ke dua biksu Thong dalam pencarian kitab suci.

Konon dia kini tak belum akan berpikir soal kehidupan cintannya. Ia ingin mewujudkan rencana-rencana besarnya. Merengkuh dunia. Membahagiakan orang tuanya.

Di akhir perbincangan ia tak meminta saran apapun pada saya. Ia tahu, aku tak pernah berpengalaman dalam hal cinta. Meski lulusan psikologi, yang konon katannya tempat orang curhat.

Dan saya harus menyadari itu. Menyadari untuk tidak memberikan komentar atau saran soal cinta. Disamping, tak banyak pengalaman. Juga saya ini bukan konsultan psikologi, seperti yang ada di koran-koran itu. Tapi toh demikian, saya tetap bersedia menjadi bak sampah bagi kegelisahannya itu. Bagi kotoran hatinya itu, bagi hatinya yang terluka itu.

Meskipun begitu, toh dia juga yang membayar empat gelas kopi ini. Hargannya lumayan. Saya memandang dibalik matannya yang sendu karena baru saja diterpai badai putus cinta, ia merasa lega. Dan “siap memulai merengkuh dunia,” katanya.

Manusi pasca putus cinta jilid dua adalah mereka yang mengalihkan rana hatinya utnuk merengkut yang lebih besar. Masa depan yang lebih besar, dari (sekadar) cinta erotisnya.

Sekali lagi aku menemukan tipe kedua, manusia pasca putus cinta.[]

[081008]

Tafsir Kerinduan

Ryan Sugiarto


Ijinkan aku menulis tentang suatu masa dimana menulis adalah bagian dari kegilaan yang dalam. Hingga kini aku masih merasakannya. Disaat kerutinan melanda, dan kerja hanyalah menjadi bagian dari mengisi kekurangan.

Masa dimana ia dalah penyemangat dri kehidupan. Yang bertujuan besar dengan pikiran yang besaar pula. Sebuah masa yang menjadi beda. Mada dimana hasilnya dalah perubahan pda alam piker manusia yang rata-rata, mungkin juga kerdil.

Ia adalah masa dimana tak ada waktu yang berhenti. Dimana waktu ditentukan oleh sebuah pikiran yang terus bergerak. Bukan oleh waktu yang disetop oleh jam kerja-jam kerja, sebagai rutinitas belaka. Rutinitas yang menjadikan sekrup-sekrup pelengkap sang pemilik modal.

Ia adalah masa dimana kerinduan menjadi tafsir bagi kebebasan berpikir besar (bersama). Menulis pada masa-masa itu membantu memberikan kekuatan. Kekuatan untuk menghadapi yang berbeda dengan sudut pandang berbeda. Dan pendekatan yang sangat harmonis. Ia memberi tafsir padabagian-bagian yang terserpih menjadi bagian yang utuh untuk ditafsir menjadi kelengkapan. Yang lengkap terbangun dari serpihal-serpihan yang dikumpulkan. Ia adalah sejamak fakta-fakta yang mengandung nilai muka yang bisa. Tak tertangkap degan biasa.

Inilah kerinduan pada malam-malam yang diisi dengan gemeleak nyaring tut keyboard. Juga jalang terang cahaya monitor. Juga kadang lirih-liris kerinduan pada setangkup syair. []

[151008]

Tentang kesendirian

Ryan Sugiarto


Seorang eman mengingatkankan pada kesendirian. Melalui smsnya dia menulisakan, diambilnya dari archbishob,

Dalam sepi sendiri aku tinggal/ tak tampak wajah manusia
Sebab itu kita berdua mesti saling saying/
Duhai pohon ceri/tiada karibku kecuali kamu//

Betigulah kita, dikala memasuki kenedirian. Bercumbu dengan kesendirian. Mungkin hamper sejamak dengan kesepian yang akut. Tapi idak. Ia adalah kala dimana tak seorangpun mmeraih diri. Tak seorangpun mampu berbincang tentang profane-profan hidup.

Kesendirian adalah kekuatan besar untuk mengingat yang lalu. Mengingat yang tak pernah tersimpan sekalipun dalam jangka pendek pengingat kita. Semuannya tampak seperti laying yang digantikan dengan cepat. Membentuk sebentuk frame yang membangun cerita. Kesendirian, kalau begitu, adalah jalan mengingat yang maha dalam. Yang paling tidak ingin kita ingat sekalipun. Karena ia adalah menuntut keintiman yang klimaks.

Namun bisa jadi ia adalah dunia bagi keramaian yang lain. Dunia dimana kala menjadi sangat pendek untuk bertegur sapa dengan benda-benda. Bukan benda, tetapi yang lain. Ya, bertegur sapa dengan yang lain. Tak hanya dengan sesame. Juga dengan yang tidak sama. Kesendirian telah menjemput. Atau mendatangi keramaian yang tak tersedia dalam keramaian badaniah yang menghancurkan.

O, kesendirian adalah obat. Bagi jiwa-jiwa yang letih bertarung dengan profannya dunia. Dalam kesendirian, aku menemukan kekuatan. Yang bisa ku pendar-pendar dalam cahaya dan kegelapan berpikir. []

[161008]

Jumat, 10 Oktober 2008

Tidakkah Posmodernisme adalah (juga semacam) sinkretisme?

Ryan Sugiarto


Mungkin pertanyaan yang terlalu biasa. Tetapi memang tidakkah demikian adanya? Pandangan Posmodernisme semacam tangkisan bagi modernisme itu sendiri. Modernisme selalu mengedepankan bukti dan keterjangkauan rasio, kesadaran yang utuh. Maka alat bagi segala macam varian modernisme adalah teknologi. Juga, segala sesuatu yang terukur dan terprediksi dengan tepat melalui hitung-hitungan otak.

Dan Posmodernisme, meski kadang-kadang kita ragu menggunakan kata itu. Kenapa? Jawabannya dalah pertanyaan tentang apakah kita khatam dengan modernisme? Apakah pula modernisme talah berakhir dari zaman pemikiran ini, sehingga fase selanjutna adalah post—pasca modernisme. Kedua kata ini memang berbeda. Tapi sementara anggaplah sama.

Degan ukuran apakah modernisme berakhir? Apakah ia secara otomatis (sebuah kata yang sangat Modernis, (otomatis = hanya dan hanya jika)) berakhir dengan munculnya pandangan, gagasan posmodernisme?

Posmodernisme memang kemudian mengelabuhi modernisme dengan mencoba mengembalikan pemikiran yang diluar rasionalitas. Mungkin irasional, juga mungkin meta rasional. Tapi ia toh tidak sama sekali abai dari beberapa dasar modernisme, yang tetap saja memakai fungsi rasionalitas, “Kritis”. Kata ini selalu menandai fungsi rasionalitas manusia dalam memandang segala hal, terutama yang berasal dari masa sebelum modern. Masa-masa mistis berkembag dengan subur. Atau tepatnya masa-masa pencampuran yang panjang dengan berbagai pikiran. Dan terutama keyakinan.

Maka ia adalah semacam sinkretsme,yang dilarang-larang oleh monoteisme. Lebih tepatnya sinkretisme pemikiran. Jika demikian, kalau benar, tidakkah posmodernisme adalah juga semacam neo sinkretisme yang malu-malu?

[101008]

Para Pemohon (Atau Pemohon yang bersyair)

Ryan Sugiarto


Seorang teman mengirimkan pesan pendek dalam rangka berbagi maaf, pada hari lebaran. Begini smsnya:
“banyak penyair muncul dihari lebaran. Tapi saya hanya mau jadi pemohon maaf atas dosa dan salah, sekecil apapun itu…..”

Bersamaan pula untuk saling berbagi, atau lebih tepatnya menjadi pemohon, aku kirim bertubi-tubi permohonanku pada sasaran yang berbeda. Kutulis demikian: “ijinkan aku penjadi peminta sejati bagi kata maafmu. Pun ku ingin menjadi pengasih sejati untuk itu……”

Sejatinya pada saat aku membuat kalimat itu, rasanya gamang. Tiap tahun, bahkan untaian kata ndakik-ndakik dibuat untuk menyertakan sebuah permohonan maaf. Mulai dari bahasa jawa ndakik-ndakik, bahasa dan tulisan arab, sampai pada puisi yang bersajak a-b-a-b.

Kepikiran dalam otakku, kenapa tidak dengan satu kata saja ku kurim “maaf”, atau “maafin ye..” atau “maaf yack…”. Seperti juga seorang teman yang hanya pendek mengirimkan kata “MAAF”

Tapi kok ya, rasa-rasanya memang saat itu adalah sebuah euforia. Mendadak menjadi penyair. Atau lebih tepatnya pemohon yang bersyair. Karena setiap permohonan, mungkin lebih indah jika didahului dengan rayuan, dan juga menyenangkan diri kepada termohon. Harapannya, termohon dengan senang hati dan dada terbuka akan meberikan permohonan yang diminta sang pemohon, dalam hal ini adalah “maaf”.

Sedangkah, kata “maaf” saja kok ya rasa bahasannya agar kering. Satu, mungkin kerena terlalu terbisa membaca untaian yang berbunga-bungan, yang ndakik-ndakik tadi.kedua, mungkin juga kerena kita terbiasa membayangkan bahasa tulis dengan bahasa lisan orang yang mengirimkannya. Membayangkan cara dia melisankannya. Jadi agak terasa aneh saja.

Kira-kira hanya itu perbedaannya. Yang satu adalah pemohon yang bersyair, yang satu adalah pemohon saja. Toh kedua-duannya adalah sama-sama sebagai pemohon. Juga sama-sama sebagai pengharap maaf.

[101008]

Fitrah

Ryan Sugiarto

Kita barangkali mesti selalu bertanya, apakah selaku muslim kita benar-benar menang dalam menyelesaikan ramadan? Bahasa umunya, sudahkah kita kembali fitrah? Karena lantaran menjalankan puasa ramadan, dan membayar zakaf fitrah?

Kalau iya, apakah kita selalu menang dalam setiap ramadan yang kita lalui sepanjang hidup? Jika tidak, kapan kita kalah dalam menjalankan ramadan? Artinya, kapan kita tidak menjadi fitrah setelah ramadan?

Fitrah, dalam tafsir Almisbah, mengandung tiga unsur utama. Dan ketigannya adalah satu kesatuan. Ia adalah Indah, Benar, dan suci. Lalu jik demikian, sudahkah kita indah dimata orang lain, atau paling tidak merasa indah, dimata orang lain. Kedua, sudahkah kita berlaku benar dalam banyak hal? Dan sudah merasa sucikah kita?

Mungkin memang kita perlu merasa gelisah, memikirkan pertanyaan menang dan tidak menang. Konon pula meningggalkan bulan itu haruslah dengan gembira dan hati suka ria, kalau merasa menang. Lalu? Kegembiraan semacam apa yang menandai keindahan, kebenaran, dan kesucian pasca ramadan?

[101008]

Mudik

Ryan Sugiarto



Kita ini memang kadang menjadi orang-orang yang bebal. Bayangkan, kita tidak pernah belajar dari tahun-tahun sebelumnya tentang transportsai mudik. Tepatnya bukan kita mungkin. Tapi yang mengurusi negara ini. Kritik-demi kritik selalu mengalir dati tiap-tiap tahun acara mudik. Toh, tak ada perubahan yang berarti.



Orang mengantri tiket kerati masih berjumbel, hingga berela diri bermalam-malam distatiun kereta? Kemacetan masih menyertai setiap mudik? Kecelakaan masih menjadi warna di setiap mudik? Lalu apa yang diperbuat dari tahun-ketahun oleh pengurus negara ini kalau demikian?



Dua belas bulan apakah tidak cukup untuk berbenah di tiap tahunnya, agar mudik menjadi nyaman bagi mereka yang melakukannya. Mungkin juga jarang kita belajar teori antisipasi jauh hari. Kecenderungan spontanitas yang luar biasa besar.

Kita, mengerti mudik adalah gerakan budaya yang mendarah dan mendaging dalam masyarakt kita. Tapi tak pernah ada strategi pelayanan kebudayaan yang pas untuk gerakan budaya ini.



Jika demikian, lalu apa bedannya adannya negara dan tak bernegara?

[101008]

Minggu, 28 September 2008

Kembali “Udik”

Ryan Sugiarto



Untuk kali pertama, aku akan merasakan mudik. Sebuah tradisi purba yang dasyat. Bayangkan saja, para perantau dari satu dan dua titik berbondong-bondong menyebar ke berbagai daerah. Muasalnnya. Dasyatnya karena melalu jalur-jalur yang sama.


Barangkali ini adalah satu dari sedikit peristiwa besar dunia. Setelah ibadah haji. Bedannya ibadah haji dari penjuru menuju satu. Dan mudik dari beberapa menuju penjuru.


Ratusan ribu orang-orang urban akan kembali ke daerahnya. Desa. Udik. Tak ku tahu secara pasti terserap dari bahasa apa udik-mudik ini. Tetapi artinya barangkali menuju asal. Udik cenderung, dalam bahasa dianggap tak modern. Ndesolah.


Jadi pada dasarnya mudik adalah kembali keasal. Mengingat sebuah kenangan. Yang tentu bisa jadi udik pada jamannya.


Inilah saat dimana orang-orang urbang yang menjadi warga kota, mengingat asal usulnya. Menjadi udik kembali. Melepaskan atrubut kekotaan dan menyebar baur bersama warga asal yang setia dengan daerahnya.


Atau bisa jadi malah sebaliknya. Orang-orang urban yang merasa kota, mengkota, menjadikan ajang mudik sebagai panggung bagi mereka. Sebagai catwalk atas perubahan tubuhn yang didapatnya di kota. Inilah ajang pamer paling dasyat dan masal. Bagi mereka yang ingin melakukannya.dan saya pikir itu telah lepas dari esensi mudik. aah...


Kali pertama juga, barangkali akan mersakan kemacetan yang luar biasa, keletihan yang luarbiasa berbalut rasa nggumun. Laiknya orang baru mengerti dan melihat berbondong orang menuju asalnya. Dan kali pertama pula, menandatangani prosesi mudik yang sebagaimana dirasakan orang-orang urbang pada umumnya. Mudik dari jarah yang begitu jauh, mungkin.


Karenannya semoga keselamatan berlimpah pada kita semua, kaum pemudik. Yang ingin kembali menemu dunia asal, dunia ia bermula. Amin. []


[190908]


Sebuah Ketundukan

Ryan Sugiarto


Proses meminta adalah pertanda kelemahan sebuah makhluk. Sekaligus sebagai tanda sebuah ketundukan. Ketundukan yang sungguh.


Sikap menghamba yang sesungguhnya adalah ketundukan pada yang maha satu. Pun kepasrahan hidup dari ketundukan menghasilkan diri yang senantiasa ingin bersetubuh dengan tuhannnya.


Ia tak tergambar dalam posisi horisontal. Namun pada kelandaian dengan kemiringan 45 derajat. Gusti yang di singgah sana kebesarannya. Dalan Al Arsy-nya. Dan hamba dalam tanah yang tertunduk membentuk sujud. Angka 45 derajat.


Ketundukan senantiasa penuh harap. Harapan untuk dikasihi, harapan untuk tetap disayang. Dan harapan akan kelimpahan segala-galannya yang datang dari tangan-tangan gustinya.


Ketundukan adalah sikap sopan dan terimakasih. Atas sebuah kesederhanaan yang terberi. Posisi yang senantiasa datang pada sifat seorang hamba.


“tunduklah padaku setunduk-tunduknya. Dan akan kami beri kalian kelimpahan.” Demikian tuhan berfirman. Tidak dalam posisi meminta, apa lagi tawar menawar. Tetapi posisi yang datar searah dengan memerintah.


Ketundukan adalah posisi paling abdi yang dimiliki oleh manusia. Meski pada kenyataannya, ia beringkust dan beralih muka.


Gusti maha tahu,hati setiap yang tertunduk ke hadapannya. Tanpa demontrasi dan atraksi. []

[180908]

Memiliki kehilangan (adapted)

Ryan Sugiarto


Konon kita baru merasa mencintai begitu besar jika kehilangan. Kita tak pernah mengira bahwa sesuatu akan sirna. Dan tepat disana, ketika sesuatu yang sirna itu adalah sesuatu yang sesungguhnnya milik kita yang paling berharga.


Kita telah memiliki kehilangan. Seorang teman kantor, senior, sebut saja demikian, mengatakan: jaga dan sayangi kedua orang tuamu. Sesungguhnya kita akan sangat kehilangan besar atas ketiadaan mereka”.


Kehilangan mereka adalah, kehilangan cahaya. Orang tua adalah cahaya. Jangan biarkan mereka redup dalam hidup. Cerahkanlah wajah mereka dengan kebanggan.


Seperti umumnya yang waras pikirnya, tak mau kehilangan orang tua,kan? Tidak mau memiliki kehilangan.


Rasa kehilangan hanya akan ada//Jika kau tenang, merasa memilikinya(letto).[]

[180908]

Sudut Pandang adalah Kemewahan Disaat Kepala Diterpa Kebingungan

Ryan Sugiarto


Bukankan memang begitu. Sudut pandang itu adalah sebuah kemewahan, ketika kita dihadapkan pada kebingungan masal. Dan kebimbangan hati.


Rasannya tak semua orang mampu memilih sudut pandang dalam memandang segala sesuatu dengan benar. Tentu sebuah sudut pandang yang cerdas. Yang begitu mewah. Ada banyak sudut pandang yang ada dalam kepala, tapi tidak sebagai kemewahan. Karena ia tak menawarkan kecerdasan dalam bertindak.


Dalam bahasa jurnalisme, pengambilan sudut pandang adalah sesuatu yang multak dimiliki penulisnya. Dan itulah yang mencirikan media yang satu dengan media yang lainnya. Wartawan yang satu dengan wartawan yang lainnya.


Dan memang sudut pandang yang berbeda, menjadi sukar ditemukan ketika satu masalah diblejeti banyak orang. Pada titik itu, sudut pandang lain adalah sebuah kemewahan bukan?


Lalu bagaimana cara memperoleh kemewahan sudut pandang itu? []


[190908]

Menggeliatlah pada Setiap Fase Hidup

Ryan Sugiarto


Setiap prestasi itu menghadapkan kita berunjuk pada setiap fase kerja. Karena hanya dengan demikian ia akan memperoleh pengakuan. Apapun pekerjaannya ia membutuhkan. Pengunjuk dirian untuk sebuah pengakuan. Itu saja.


Prestasi karena kita untuk “gigi”, unjuk kerja, unjuk kemampuan. Dan selalu demikian dalam setiap penilaian dalam hal-hal kinerja. Tak kecuali seorang sastrawan yang bekerja pada diri sendiri. Penulis yang bahkan tanpa institusi. Mereka mengunjukkan diri melalui hasil karyanya. Sastra dan buku.


Dan pada fase-fase tersebut, selalu ada tuntutan peningkatan dair dalam diri. Dan tentu saja juga dari dalam institusi. Karena hanya dengan melakukan hal yang demikian ia bisa mendapat pengakuan. Sebuan tanda.


Dan jika demikian,bisa ditarik bahwa setiap fase hidup orang membutuhkan pengakuan. Dengan hanya menggeliatkan diri, unjuk diri akan diperoleh pengakuan.[]


[170908]

Manusia Pasca putus Cinta

Ryan Sugiarto

Menulusurii sms-demi sms lampau, kutemukan satu istilah menerik dari seorang kawan yang nyaris filosof.

Ketika kutanya, sebuah pertanyaan yang sebenarnya paling tidak boleh diutarakan,: sudah luluskah? Ia dengan semangat berjawab: lulus, lulus dari jeratan si wati dan Jeni. Manusia pasca putus cinta. Begitu jawabnya.

Menariknya ungkapan itu adalah pelabelan yang senantiasa berawal dari diskursus-diskursus yang menguras energi untuk menulisnya. Pelabelan yang sekarang digunakan pada kata, yang sebagian orang dianggap paling akrab ditelinga manusia, yang laing mudah dicerna, yaitu cinta.

Kombinasi yang sederhana dan agak rumit. Manusia pasca putus cinta.

Terlepas dari bagaimana seorang kawan tari rengkontruski bahasa psikologisnya dan menelorkan istilah manusia pasca putus cinta, sesungguhnya ia terbebas. Terbebas dari cinta yang selalu menuntut. Menuntut untuk mengejar, dan seolah-olah sangat membutuhkan.

Tak usahlah membahasa apa itu cinta dan bagaimana peran psikologi cinta dalan hidup manusia. Tetapi mencermati manusia putus cinta, hanya ada dua jalan yang membedakanya. Mengalami lumpuh layu dan menganggap hidup tak berjalan tanpa dia. Kedua, menganggap memperoleh hidup baru, kesempatan baru untuk memulai hal baru. Tanpa terbebani tuntutan-tuntutan perasaan untuk mengejar atau dikejar.

Manusia pasca putus cinta adalah manusia yang merdeka. Seyogyanya. Merdeka dari kelemahan yang mendera ditiap malam. Terlepas dari ingatan yang menjerat. Dan terbebas lekas dari romantisme manusia. Meski bisa dikenang keindahan dan kesakitannta. Manusia pasca putus cinta adalah manusia baru dengan bekal baru.dan tentu langkah baru.

Menjadi kiai atau pendeta suci.[]

[180908]

Dimana Letak Kemajuan Bangsa ini?

Ryan Sugiarto


Bu muslimah, seorang guru taladan yang digambarkan Andea Hirata dalam laskar pelangi, dalam acara talkshow kick andi berucap” lalu dimana letak kemajuan bangsa ini?” tanyanya ringan. Pertanyaan tanpa menuntut.

Pertanyaan itu dilontarkan bu Muslimah setelah melihat dalam tayangan layar bahwa pada tahun ini pula masih ada sekolah yang bertapkan rumbai dan dinding-dinding kayu yang lapuk dimakan tanah.

Sepatutnya memang kita bertanya, meski tak bisa menadingi rasa penasaran bu muslimah: dimana letak kemajuan bangsa ini? Dari dulu hingga sekarang masih ada saja sekolah yang reyot. Masih ada saja daerah yang tak ada sekolah sekalipun. Dimana?

Tak perlu membuka mata untuk sekedar melihat kondisi rill ini ada. Tak perlu suara keras untuk bisa terdengar kondisi ini memang ada.

Meski ada bu muslimah lain yang menganggap demikian banyak pendidikan yang seadannya, ia telah tersuarakan oleh anak muridnya yang juga mencintai pendidikan.[]

[190908]

Ryan Sugiarto


Bu muslimah, seorang guru taladan yang digambarkan Andea Hirata dalam laskar pelangi, dalam acara talkshow kick andi berucap” lalu dimana letak kemajuan bangsa ini?” tanyanya ringan. Pertanyaan tanpa menuntut.

Pertanyaan itu dilontarkan bu Muslimah setelah melihat dalam tayangan layar bahwa pada tahun ini pula masih ada sekolah yang bertapkan rumbai dan dinding-dinding kayu yang lapuk dimakan tanah.

Sepatutnya memang kita bertanya, meski tak bisa menadingi rasa penasaran bu muslimah: dimana letak kemajuan bangsa ini? Dari dulu hingga sekarang masih ada saja sekolah yang reyot. Masih ada saja daerah yang tak ada sekolah sekalipun. Dimana?

Tak perlu membuka mata untuk sekedar melihat kondisi rill ini ada. Tak perlu suara keras untuk bisa terdengar kondisi ini memang ada.

Meski ada bu muslimah lain yang menganggap demikian banyak pendidikan yang seadannya, ia telah tersuarakan oleh anak muridnya yang juga mencintai pendidikan.[]

[190908]

Sabtu, 30 Agustus 2008

Mentalitas Menciptakan Ide Menjadi Kenyataan

Ryan Sugiarto

Mentalitas merealisasikan ide menjadi kenyataan. Sepertinya itulah yang tidak dimiliki oleh para intelektual-intelektual kita. Alam pikiran mereka dikabuti oleh ide-ide. Seperti langit-langit yang bertabur bintang.

Tapi sayangnya, ia selalu berada dirumah angin. Mengawang-awang dan tak membumi. Tak pernah jatuh dan tak menyendtuh.

Mentalitas merealisasikan ide ini begitu sulit bagi mereka. Maka dianggapnya intelektual itu hanya berbicara dan berpikir semata. Dan dengan demikian wilayah realisasi bukan tanggungjawab mereka, para intelektual. Perbedatan yang bersayap-sayap di media, polemik yang tak habis, dan ajakan adalah akhir dari intelektualisme.

Tapi, sekali lagi, mereka melupakan mentalitas merealisasi setiap ide. “Jangan lupa ide itu berkaki”. Dan karenanya ia akan menjadi real jika diperjalankan, terutama oleh karena ia seorang intelektual.

Dunia ide dan dunia nyata, sebagaimana para intelektual mengambil dari keduannya, harus bertemu pada satu titik realisasi. Dan untuk itu ia membutuhkan mentalitas yang serupa dengan atas. Tak sekadar bicara, apalagi diam[]

[150808]

Guru, Kobarkan Semangat Mimpi Kepada Anak Didikmu!

Ryan Sugiarto

Harapan kadang memang harus ditumbuhkan. Dan saya pikir peran orang tua ada merangkah harapan-harapan masa depan dari anaknya. Pertama rangsang kemana kecenderungan anak, asah dan lapisi setiap ingatan mereka dengan harapan akan masa depan. Mimpi akan masa depan. Orang tua yang optimis adalah cermin dari bagaimana anak menandang kehidupannya.

Anak akan bercermin tentang bagaimana mereka memandang hidup. Bagaimana mereka memupuk dan merealisasi mimpi.

Dan guru, yang setiap hari, lebih banyak wktu bersama seorang anak adalah semacam plencung. Pelambung bagi mimpi-mimpi. tugasnya adalah mengobarkan mimpi dan keinginan tentang masa depan yang lebih baik. Guru menjadi pelicin bagi keinginan-keingnan anak untuk meraih jalannya mimpi. dan merealisasikannya.

Guru: kobarkan semangat mimpi anak didikmu. Jadikan mereka para pejuang-pejuang yang akan membaharuai dunia. Tentu dunia yang lebih baik. Ada harapan diantara ucapan pra guru. Janganlah berbusa-busa oleh teori-teori yang kadang mengandalkan hafalan semata.

Anak, orangtua, dan guru. Memang perlu bahu-membahu, untuk memumbuhkan dan menjaga agar mimpi tetap tegak. Tetap bersemangat dan dapat diaraihnnya.[]

[220808]

Apa yang kaudapati dari kampus?

Ryan Sugiarto

Seorang wakil dekan fakultas saya masa briefing upacara wisuda menantang kami begini. Siapa yang berkat ia tidak mendapatkan apapun dari kampus? Majulah kemari, amil uang limapuluh ribu ini.

Lontaran ini adalah upayannya mencegah, mendengar kembali ungkapan seorang wisudawan: saya tak mendapatkan apapun dari kampus. Saya tak bisa memahami apakah ucapa wakil dekan ini tantangan, yang harus dialamatkan pada mahasiswa, atau ia berujud kesedihan, melihat wajah-wajah mahasiswanya yang hampir meinggalkan gelangang kampus. Suaranya sih menunjukkan ambigu. Dan kemudian aku menyimpulkan ini bukan suatu keprihatinan. Melainkan suatu kemarahan yang tak ingin ia ulang dari periode wisuda sebelumnya.

Seorang kawan yang dipilih untuk memberikan ucapan terakhir mahasiswa, dihadapan para orangtua wali dan sivitas akademika, mengatakan bahwa dirinya tidak mendapatkan apapun di kampus ini. Saya pikir sebuah langkan dan kata yang berani, mingkin juga jujur. Jujur disaat, perkuliaahan yang dialami sepanjang empat tahuan, dan hanya dijejali teori yang tek membentuk diri. Berani karena mahasiswa pilihan ini, tidak serta merta tertunduk pada birokrasi dan tata krama yang meniadakan kebenaran. Kebanyakn orang dinegara ini memng memilih ketenangan dari pada kebenaran.

Ungkapan teman ini adalah ungkapan kesungguhan. Kesungguhan, ketika menmandang bahwa msa kulaihnya selesai, dan kini ia menadang ruang kosong didepannya. Dan kebingungan dengan apa ia akan mewarnai ruangan masa depannya itu. Tak ada alatpun yang ia peroleh dari kampus. Tak ada senjata pun yang dibekali kampus, selain teori-teori yang tumpul untuk membentuk realitas.

Palin tidak kawan yang satu ini tersadar tentang apa yang telah ia alami dalam kampus. Yang kadang memang tak membentuk diri yang berkarakter. Dan krakter tak disediakan diruang kelas. Justru diluar ia tersedia untuk direngkuh.

Kawan ini saya pikir juga hanya menyuarakan keheningan dan kekosongan kwan-kawan yang ada didepannya. Memakai toga kehormatan akademis. Dan menatam dunia dengan wajah kosong. Tak berani berbuat.

Dan ketika kawan saya itu berucap: aku tak mendapatkan apapun dari kampus, justru ia sendiri telah mendapatkannya. Mendapatkan keberanian, dan kejujuran yang terungkapkan. Tidak semua yang menjadi sarjana pada waktu itu berani berkata dan melakukan hal ini. Justru ia telah mendapatkannya, walaupun ia usahakan sendiri ketikan kontra dengan kampus.[]

[220808]

Dunia para single

Ryan Sugiarto

Ah…dunia ini baik baik saja jikapun, single. Tetapi bukankah manusia diciptakan berpasang-pasang oleh tuhan? Dan seyogyanya ia adalah mahluk yang berlingga dan beryoni. Jika dua-duannya lingga apa jadinya? Jika dua-duannya yoni, bagaiamana pula kelakuannya. Tepatnya tentang reproduksi.

Tetapi berpasangan dan singgle hanyalah sebuah oilihan. Kita bisa memilih manapun yang bagi kita nyaman dalam menjalani kehidupan ini.

Dan para single dengan tenang akan menghadapinya sendiri apapun yang dihadapannya. Para single adalah peetualang yang siap kemanapun tanpa menanggun kehidupan yang lain. Bukankah demikian?

Para single, sepertinya adalah angka 1. Menjalani kehidupan sendiri, menyakitkan diri sendiri.

Ah…entah apa yang kutulis ini. Tetapi dunia para single tak banyak bertahan didalamnya.[]

[220808]

Tatkala Politik Kotor Puisilah yang Mensucikannya

Ryan sugiarto

Itulah ungkapan parni hadi. Dan saya pikir ini adalah langkah bagai mana sebuah puisi , dan lebih besar lagi sastra berperan dalam lingkup negra. Sudah banyak tulisan, sastra, puisi yang mengobok-obok kebobrokan negara. Kekotoran politik.

Puisi menjadi pengingat dan penyeimbang bagi politik yang kotor, negra yang rusak. Tapi negeri ini belum benre-benar cinta degan sastra. Melirikpun jarang. Apalagi membasuh dirinya dengan puisi. Politik terlalu dipusingkan tentang bagaimana membagi kursi, bagaimana menarik simpati, dan bagaimana kemudian menduduki.

Bahkan ada yang anti dengan puisi. Kakrena dianggap melecehkan dan menodai nama baik. Berapa banyak para penyair kita yang terbui. Bahkan menjadi sepi dari sosial, karena tak ditemi lagi.

Politik menutup mata dari gambran puisi, menutup telinga dari kerasnya ingatan puisi. Politik kita tak memerhati puisi. Apa lagi yang seperti ini:

Pengusaha mati meinggalkan hutang

Politisi mati meinggalkan janji

Dan

Orang miskin mati meninggalkan tulang belulang

Dengan demikian, memang tugas puisi mensucikannya.[]

[220808]

Buat Bapak Bangga, ‘Nak!

Ryan Sugiarto

Teriakan itu nyaring terdengar, bahkan oleh semua anak. Dari bapak-bapaknya. Bukan sebuah teriakan, tapi sebuah permintaan lirih. Atau lebih tepatnya, dorongan. “Buat bapak bangga, ‘Nak,” begitu kata hati lirih itu.

Dorongan lirih iru selalu ia pupuk semsaa kecil. Datang dari tiap-tiap bapak. Ia adalah juga sebuah ajakan. Ajakan tentang keinginan yang sama untuk menuju kebanggaan. Dalam diriku, juga anak-anak lain yang berbapak dan beribu, selalu berkata dalam hati “aku akan menyambut ajakan itu, karena ia juga keinginan dalam diriku.

Setiap bapak memang mengajak anak-anaknya untuk menjadi kebanggaan bagi dirinya. Dan sebaliknya setiap anak akan mengejar-ngejar apapun yang akan menjadikan ia bangga di mata bapaknya.

Logika kebanggaan memang jarang tumbuh. Ia adalah sejenis mimpi yang pasti akan terjadi. Pada setiap kejadian adalah ungkapan untuk mengejar kebanggaan-kebanggaan.

Yang lebih besar adalah menjadi kebanggan yang komplit. Bangga dengan diri, bangga untuk bapak, dan sebuah kebangaan sosial. Tidak sekadar sebuah kerja yang menjadikan diri tetapi juga sebuah kerja yang menjadikan nilai sosial bagi orang lain.

Ahh, jia demikan betapa menyenangkan menjadikan diri sebagai kebangaan-kebanggaan bapak dan juga orang lain. Tentu sebuah kepuasan yang tak ternilai.

Begitu mimpi-mimpi yang selalu tumbuh dan membesar dalam diri setiap anak. Kepada bapak-bapaknya. Kepada orang-orang lain dijangkauan sosialnya. Kepada semuanya. Menjadikan diri yang bermanfaat secara sosial. []

[140808]

Sabtu, 16 Agustus 2008

Bersahabatlah dan semuanya berjalan dengan baik

Ryan Sugiarto

Anda tentu mempunyai teman, siapa saja, tetapi adakah seorang sahabat diantara mereka? Yang dianggap sahabat mungkin tak sejulmlah teman yang kita kenal. Ia hanya satu atau beberapa.

Begitulah memang dunia ini tak sepenuhnya menyediakan sesuatu yang selalu lekat dalam tiap fase perjalanan hidup. Ia relasi yang sangat intim, dimana Anda bia bersama-sama mengaruhi perubahan dunia dalam jalina persahabatan. Jika Anda ingin merengkuh dunia-dunia Anda, bersahabatlah. Ia membantu dalam situasi-situasi yang kadang enggan kita jalani. Konon begitu sebuah persahabatan.

Seorang sahabat, bisa melapangkan jalan-jalan anda. Dan sebaliknya anda juga bisa memberi jalan-jalan yang terbaik untuknya. Ia bentuk silaturahmi yang lebih intim.

Bersahabatlah dan semuanya bisa berjalan dengan baik.[]

[070808]

Doa

Ryan Sugiarto

Untuk hal-hal positif semua orang pasti mendoakan. Tanpa saya sadari semua orang akan medoakan saya, meski kadang hanya setengah-setengah dalam doaanya. Saya pikir Tuhan akan selalu tahu, meskipun doa itu setengah-setengah. Bukanlah tuhan juga akan melihat setiap doa dalam hati manusia? Pikirku demikian.

Doa selalu sebagai sebuah ketundukan dalam diri manusia. Di saat itulah keadaan paling menghamba manusia kepada sang pencipta. Doa selalu dibawakan dengan nada yang meminta-minta. Menyanjung-nyanjung, memuja-muja dan pada akhirnya jatuh pada urusan meminta. Tetapi bukankan memang begitu, setiap sebuah ketundukan diajukan pada yang tak tertunduk kapanpun.

Doa mungkin bagiku serupa kekuatan kedua setelah mimpi-mimpi, ia yang akan menopang setiap impian. Ia, sebagaimana kekuatan-kekuatan motivasi yang lain, menghambur dalam ketundukan-ketundukan yang menghamba. Maka saat-saat menghamba hanya beberapa doa yang saya hambakan kepadanya. Bukan berangggapan Tuhan akan lupa pada setiap doa yang teruncat dari mulut, bukan juga berpikir tuhan sibuk mengurusi yang mana dulu dari doa-doa hambanya dimuka bumi. Tetapi hanya sekadar mengingatkan hamba itu sendiri, saya, doannya sudah terkabulkan belum oleh Yang tak Menghamba. Memfokuskan pada setiap doa, dan agar tuhan kemudian berpaling kepada doaku, karena intensitas dan kualitas ketundukan yang terpasrahkan.

Doa memang mengandung ketegangan. Ketengangan meengharap, dan sekaligus tarikan berprasrah secara total kepada setiap keputusannya. Saya pikir ,lagi, begitulah ilmu dan juga kondisi psikologi dari setiap doa-doa. []

[140809}

Harus: Tapi berdamailah dengan diri sendiri

Ryan Sugiarto

“Harus!” dan kemudian ada yang lain dari diri kita yang merasa harus memberontak kata itu. Barang kali saja karena sejak kecil kita dibiasakan mendengar kata-kata itu. Setiap nasehat slalu saja menyelipkan kata ini. Tidak, saja orang tua, guru-guru kita disekolah sering melontarkannya “Harusnya kamu itu….ini…itu…” dan seterusnya. Apalagi sang guru BK atau BP .

Waktu kita sekolah di tingkat semenjana, yang paling lekat tentang kata harus dan guru BK.

Dan setelah itu lalu kita patut sadar menetapkan pilihan harus ini dengan standart pencapaian kita dan apa yang diinginkan. Keharusan yang datang dari diri sendiri menjadi pendiri atas keinginan-keinginan yang menjadi tujuan sendiri. Dan sebuah keharusan membuat Anda street pada jalan mencapai sesuatu yang lebih besar.

Meski, pada saat-saat tertentu kita patut berdamai dengan diri kita sendiri. Stelah sekian lama berkutat dengan keharusan yang kita ciptakan sendiri untuk sendiri. Jika kita berani mengakumulasi pada kata harus untuk beberapa titik dalam hidup kita, maka kita telah mengambil sebuah jalan yang tepat bagi sebuah kesadaran untuk perbaikan diri. Harus adalah jalan menuju target.

Soal berdamai, janganlah terlalu sering, atau jangan pula sering. Bentuklah damai untuk hal-hal yang harus saja kita berdamai. Agar, kita tidak dengan mudah membatalkan keharusan-keharusan yang baru saja kita mulai.

Keharusan membutuhkan waktu, dan memsyaratkan kesadaran. Karena keharusan menjadi benar jika ia adalah hasil dari kesadaran. Saya harus membentuk keharusan saya sendiri, karena kesadaran saya membutuhkan keharusan itu sendiri. Ia menjadi begitu inhern dalam diri saya. Dan saya kira, Anda melakukannya kalau saja Anda mau. Dan saya tak bisa menciptakan keharusan Anda, karena sebuah kesetaraan.[]

[090808]

Ingatkah: Pakualaman, Angkringan Tugu, dan Bulaksumur?

Ryan Sugiarto

Tiba-tiba seorang kawan mengirimkan pesan pendek yang berbunyi “Ternyata Jogja ngangeni” lalu dia juga mencuplik lagu Kla Projek “pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu”. Romantisisme pun mendera.

Ingatkah kau tentang pakualaman, tentang angkringan tugu, dan juga bulaksumur? Beberapa dari sekian banyak tempat-tempat yang begitu lekat dalam alam pikir saya. Paling tidak beberapa dari sekian tempat yang juga masih “suci” dari gemerlap perlombaan dunia. Pakualaman tetap bersahaja, sebagaimana mulanya. Angkringan Tugu juga masih akrab, meski jarang seniman-seminam berkumpul lagi disana. Bulaksumur, Markas besar peradaban kebangsaan. Terutama tertuju pada sepetak rumah kecil b21. Ah, tak usahlah mengingat terlalu dalam tentang bagaimana orag-orang didalamnya bergelut letih.

Apalagi ketika malam, dengan sedikit provokasi, kami berkumpul. Hanya untuk sekadar ngobrol ngalor ngidul soal yang remeh. Tetapi memang sesungguhnya tak ada yang penting sebagaimana juga tak ada yang remeh dalam hidup ini.

Dan secepat kilat aku menyambar HP ku kembali dan mengirimkan pesan pendek kepada seorang teman yang masih di Jogja “Aku kangen Jogja”.

Rasa kangen selalu mensyaratkan sebuah jarak. Dan dan waktu yang lama untuk tak berjarak. Maka hanya mereka yang berjarak dengan kerinduannya yang bisa merasakan kedasyatan romantisisme masa lalu. Keberjarakan menimbulkan itu semua. Sebuah kegenitan ingatan yang menghujam dan menutupi kekinian dalam waktu yang relatif singkat. []

[070808]

Kita hanya membutuhkan terobosan dan keberanian berpikir

Ryan Sugiarto

Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya, juga karir, jika saya pikirkan sekilas, adalah orang-orang yang berani membuat terobosan-terobosan penting dalam dunianya. Dengan keberanian membuat terobosan, orang yang berhasil dan mereka yang akan berhasil, telah meledakkan kebaruan dri dunia. Paling tidak kebaruan, dari apa yang selalu mereka lakukan sebelumnya. Juga mengalahkan kebiasaan-kebiasaan yang umum dilakukan oleh orang lain.

Anehnya banyak orang, barangkali termasuk saya, yang enggan memulai hal-hal baru diluar adat kebiasaan. Merasa ewuh pakewuh, sungkan, juga tak kalah takut salah. Dan merekalah alasan-alasan yang menghamat kita menciptakan terobosan, kebaruan, dalam sebuah hidup, juga karir.

How to be person with new consept? Be Challanger? Anda, maaf, saya hanya membutuhkan keberanian untuk membuat terobosan dalam hidup saya. Paling tidak, saya terhindar dari kejenuhan yang memenjara. Bukankah kreatifitas muncul jika kita tak terpenjara, tentu untuk selanjutnya kita juga membutuhkan keharusan alami dalam diri kita. Demikian agar terobosn yang kita buat tak mati ditengah jalan (baca Harus:Tapi berdamailah dengan diri sendiri).

Setiap terobosan lahir dari keinginan, atau juga mimpi dan atau imajinasi. Ia, sekali lagi membutuhkan keberanian memulai, dan keketatan menjalankan keharusan murni. Dan setiap perjalanan terobosan, pun juga hasilnya, adalah pelajaran awal agar terobosan baru yang lebih berani dapat kita munculkan lagi.

Ketakutan memunculkan hal baru anggap saja sesuatu yang kuno dan tidak jamannya lagi. Dengan begitu kita telah membuang jauh-jauh rintangan awal memperoleh keberhasilan kita. Sejujurnya keberania berpikir bebas inilah yang menjadi dasar utama. Pikiran adalah aset awal kita, dan juga pergudangan dalam diri kita.

Keberanian berpikir adalah pangkal segalanya. Pikiran kita menentukan kesuksesan kita.

Berkait dengan ini saya ingin mengingat kembali cerita lama, yang saya yakin anda sudah pernah mendengarnnya atau membacanya:

Adalah seorang pematung di Kerajaan Amartaraya, ia begitu pandai dan sangat ahli dalam membuat patung-patung di sebuah padepokannya. Ia sering mendapat pesanan dari para kawula untuk membuatkan patung.

Keahlian ini sampai ditelinga sang raja, dan suatu hari pematung dipanggil sang Raja keistana.

“saya mendengar kamu sangat panda dalam membuat patung,” begitu kata sang raja.

“Iya Gusti.” Jawab pematung itu.

“Kalau begitu saya perintahkan kamu untuk membuat patungku, keluargaku, para punggawa, dan orang-orang penting di kerajaan ini, sebagus patung-patungmu yang lain!” titah raja.

Pematung kemudian pulang meninggalkan istana. Ditengah perjalan ia tampak gembira karena ia mendapat order langsung dari sang raja.

Lalu dia mulai membuat patung satu persatu, Raja , permaisuri, putra mahkota, keluarga raja, pejabat-pejabat kerajaan dan orang penting lainnya. Patung itu tepat selesai pada waktunya. Dan hasilnya luarbiasa.

“Bagus, bagus, saya suka patung-patung ini. Kamu luarbiasa,” puji sang raja.

“Tapi, setalah kuteliti lagi saya tidak mnemukan patungmu diantara patung-patung ini. Mana patungmu sendiri?” selidik sang raja.

“kalau begitu segera buatlah patungmu dan bawalah kemari segra,” lanjutnya memberititah.

Pematung terheran-heran dalam perjalanan. Dan ia berpikir kenapa sang raja menyuruhnya membuat patungya sendiri?

Dalam pikirnya ia berkata.

“Ah, paling patung saya , hanya akan dipasang sebagai hiasan ditaman, atau dibelakang. Paling juga hanya sebagai pelengkap taman,” pikirnya

“dan kalau ditamankan, tidak enak rasanya. Ia akan kepanasan, kehujanan, an kmudian rusak,” pikirnya semakin jauh.

“kalua begitu saya akan buat patus saya yang biasa saja,” begitu kesimpulannya.

Pematung kemudian sebera membuat patungnya sendiri. Ia tak memerlukan waktu lama untuk itu. Dan segeralah patung itu diseerahkan kepada sang raja.

Dan sesampainya di istana.

“Lho kok patungmu biasa-biasa saja, tidak seperti patung-patung buatanmu yang lain,” tanggap sang raja tentangpatung si pematung tadi.

“Mana bisa patung seperti ini diletakkan di ruang singgahsana. Tidak enak dilihat dan memalukan,” lanjut raja memberi alasan.

Maka lalu sang raja menitahkan punggawanya “Punggawa, bawalah patung ini kebelakang. Letakkan di Samping kandang Kuda”

Begitulah.

Apakah yang menentukan dan menutuskan patung si pematung itu diletakkan di kandang kuda adalah sang raja? Bukan! Yang memutuskan letak patung si pematung itu adalah pikiran pematung itu sendiri. Bahkan ia memutuskan sejak dalam pikirannya.

Begitulah sesungguhnya kekuatan pikiran. Ia menentukan dan memutuskan jauh sebelum sesuatu itu dilakukan. Karena itu berhati-hatilah dengan pikiran Anda.[]

[090808]

Kekuatan Berbagi

Ryan Sugiarto

Seorang teman menulis buku mukjijat sedekat. Sebuah kata lain dalam bahasa yang lebih umum adalah kekuatan berbagi. Berbagi memang menjadi satu dari sekian cara dari dunia ini yang bisa menggerakkan peradaban. Bagaimana tidak berbagi menjadi medaia lintas ekonomi, lintas, iman, lintasmotivasi, lintaskerja, dan lainya-danlainnya.

Teman itu, menulisnya tentang seseorang yang denga ketulusan berbagi maka ia akan mendapatkan hal yang lebih lagi dari apa yang ia bagikan. Analogi yang paling sering digunakan orang, yang pernah diajarkan kepada saya adalah.”berbailah ilmu kepada sesama yang membutuhkan.” Begitu yang diajarkan ibuku.

Tak ada yang akan hilang jika kita berucap, menulis, atau mengajarkan didepan semua orang. Sebaliknya kita akan semakin memahami dan menemukan yang baru. Sesuatu yang kita pikir belum ada dalam apa yang telah kita perdengarkan, telah kita tuliskan dan kita perbincangkan.

Saya ingin membagi apa yang saya pikirkan kepada Anda semua, harapan saya adalah saya bisa mengentalkan dan sekaligus juga mencairkan apa yang saya pikirkan.

“teman itu kemudian menuis lagi, jangan pelit bersedekah. Tuhan justru akan mempersulit riskimu nanti,”kira-kira bahasa lugunya demikian.

Maka, jangan pernah bosan berbagi, jangan pernah malu pula untuk berbagi. Ia akan meringankan bebanmu. Ungkapan itu yang muncul dalam pikiranku.

Orang yang sering sharring, curhat, dengna begitu sedikit banyak perasaannya akan lega. Mungkin hanya in yang akan berkurang dari tiap berbagi. Tapi bagian yang seharusnya tak ada “perasaan buruk” melegakan setiap perasaan adalah bentuk lain dari berbagi.

Kalau begitu saya dengan akan sangat senang memulai diri berbagi dengan Anda. Dan dengan begitu mari kita kenali kekuatan berbagi[]

[140808]

Kita memang Haarus memprovokasi diri

Ryan Sugiarto

Seorang provokator motivasi, Antoni Deo Martin, yang adalah juga, kalo tidak keliru dan kalo boleh mengklaim, satu almamater dan satu organisasi, pernah berkata “untuk berhasil kita harus memprovokasi diri kita untuk bangkit menyongsong masa depan,.

Mas Martin, rasanya tahu benar menerapkan provokasi masa ke dalam provokasi diri. Sbagai seorang mantan aktivis, provokasi menjadi modal utama dalam menggerakkan masa. Ia, provokasi adalah sejumlah kata-kata dan juga sebagai tindakan, dimana orang lain akan dengan segera dan dengan semangat luar biasa menggerakkan diri mereka sendiri agar segera bergrak bersama-sama.

Dan Seorang provokator yang ulung adalah bagaimana sang provokator dengan mudah menggerakkan masannya. Dan begitulah dengan segera provokasi-provokasi segera berhasil.

Diri kita sendiri memang membutuhkan provokasi. Terutama provokasi yang berasal dari diri sendiri pula. Kita harusnya bertindak sebagai provokator unruk memprovokasi diri kita sendiri.

Posisi yang diambil mas Martin, begitu tepat. Bagaimana membangkitkan massa, istilah lain untuk memprovokasi, kebangkitan dirinya sendiri.

Kita, yang kadang lemah motivatosi, butuh provokasi. Provokasi membawa diri kita bergerak kedepan, meninggalkanketeteran-keteteran kita soal pandangan hari depan.

Karana itu tak salah jika sebuah doa dialamatkan:

Kepada yang maha mengetahui, jadikanlah diri ini provokator atas diriku sendiri, agar tak ada lagi yang namanya tak bergairah memandang masa depan. Jadikanlah kami provokasi yang membangkitkan hari yang cerah didepan.jaadikanlah kami pula provokator-provokator yang menggerakkan yang lain untuk merengkuhmu dan dunia mereka masing-masing. Jadikanlah kami…

Beruntunglah para provokator, yang sanggup menggerakkan yang lain menuju sesuatu yang lebih baik. Karena didepan kita ada kondisi yang lebih baik itu, another word is possible, begitu arundati roy berujar.[]

[080808]

Sabtu, 02 Agustus 2008

Ke-ada-an Seorang Penulis

Ryan Sugiarto

Konon, seseorang bisa dibaca dari bagaimana cara dia menulis. Sebagaimana apa yang sering dia baca. Dan seorang kawan berkomentar “bagaimana jadinya kalau pemimpin seperti ini?” katanya mengomentari tulisan Riziek Shihab, ketua FPI. Tulisan ini sejatinya, hak jawab dari Tulisan GM dalam catatan pinggir Tempo edisi 22 Juni 2008. Oleh karena sangat sarkas dan tidak etik sebagai sebuah bacaan umum, maka ia tak ditayangkan rasanya.

Dalam citra bahasa saya, bahasa santun yang mempertanyakan dan menayakan komitmen ke-Indonesia-an Riziek Shihab oleh GM sangat Indah. Tetapi justru balasan tulisan yang disampaikan oleh Riziek, melukai pencitra bahasa yang saya miliki, meski disatu sisi menggelikan. Hingga terlontas juga “kok pemimpin nulisnya kayak gini?”.

Apakah Riziek, beliau ini tak pernah belajar menuis? Atau bahkan tak pernah mengenal kesantunan dalam keanekaragaman? Entahlah. Namun demikian tulisan kedua orang ini terasa jauh benar bedanya. Ini hanya soal pencitraan rasa bahasa saja.

Memang demikian, setiap bahasa, dalam hal ini tulisan menunjukkan seperti apa pikiran penulisnya. Lebih jauh, barangkali, seperti apa penulisnya.

Seperti yang dituliskan oleh Isaac Bashevis Singer “Every writer has an address.” Pernyataan ini, dikutip oleh Chynthia Ozick, seorang sastrawan Amerika dalam sebuah intervie dengan The New York Times. Dan ia juga mengutip Shakespeare bahwa kehidupan bermoral mempunyai “a habitatuin and a name”, bertempat tinggal dan bernama. Ozick menegaskan seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan, ini saya kutip dari tulisan R.William Liddle, rumah seorang penulis, dalam catatan pinggir 3.

Demikian tiap tulisn justru menunjukkan diri, dan setiap penulis menunjukkan peradaban yang dilaluinya dalam kehidupannya. Mungkin juga tilisan, saya, ini juga menunjukkan dimana rumah saya, dan bagaimana peradaban (baca) kecenderungan saya. []

[300708]

Logika Hak dan Kewajiban

Ryan Sugiarto

Pada sebuah kantor, seorang rekruiter berseru-seru mengingatkan agar administraturnya segera mengurus proses gaji seorang karyawan baru di perusahaannya. Konon karyawan itu sudah berkali-kali menelpon sang rekuriter hanya untuk menanyakan “Mana gaji saya bulan ini?”

Dan suatu keika pada suatu kesempatan yang lain, sang administrator berkata pada bagian pengurusan budget: “Cepet diposes dong, aku kasihan sama dia”.

Adakah yang nampak aneh dari percakapan ini? Ya memang begitu. Harusnya kalimat terakhir itu tidak keluar. Dan kalau pun toh kemudain keluar, ia salah sasaran. Ia tak seharusnya kasihan pada karyawan. Justru harus kasihan pada sistem dalam perusahaan tersebut.

Ini adalah pelajar soal logika hak dan kewajiban. Seorang karyawan sudah melakukan kewajibannya bekerja selama satu bulan, dan dengan demikian perusahaan telah memperoleh haknya atas kewajiban karyawan, yaitu suatu kerja. Dengan demikian sehingga hak dari karyawan sebagai akibat dari keajibannya adalah memperoleh gajinya selama sebulan itu. Hak dari karyawan adalah kewajiban dari perusahaan, dalam hal ini terwakilkan oleh orang-orang yang mengurusnya.

Maka jika ada yang diam saja, tidak menuntut haknya (gaji yang belum terbayar), atau hingga menelpon berkali-kali, itu adalah hanya sekadar cara memperingatkan para administratur ini untuk mengingat kewajibannya, atas hak yang telah mereka peroleh.

Dan seolah merekonstruksi percakapan itu, harusnya muncul kalimat “saya kasihan dengan sistem perusahaan ini yang tidak dengan segera mengurus kewajibannya kepada karyawan.”

Hak dan kewajiban adalah dua hal yang berkelindan, sebab dan akibat.[]

[020808]

Re: Tegur Sapa Untuk Sesama

Ryan sugiarto

Seorang teman menulis dalam sebuah note di Massenger nya “jangan hanya menyapa, selami kedalaman dirinya”. Saya jadi teringat dengan head Blog saya “Tegur sapa untuk sesama”. Dan saya menduga ia ingin mengomentari judul head blog ini.

Kemudian pikiran saya berasumsi “mbok jangan hanya menyapa. Berkenalanlah lebih dekat, mengenallah lebih dalam dan kalau bisa lebihlah intim!” begitu kurang lebih.selaiknya memang demikian, saling mengenal lebih dalam.

Tetapi apa yang aneh dari saling sapa? Saling salam, mungkin juga bersetara dengannya. Dan saya mencari-cari alsan apa yang sanggung menyandarkan tegus sapa ini. Ahh, tak harus bersandar barang kali. Paling tidak teman tadi memberi satu ide bagi saya untuk sekali lagi menggauli lebih intim setiap tulisan dengan tulisan dalam blog ini.

Tetapi mari kita lebih lebar lagi, menebar sapa adalah hal yang paling indah rasanya. Menyapa adalah sesuatu yang mulia, paling tidak dalam pengertian saya begitu. Bukankah sediannya setiap sapaan terlontar dengan senyum.

Mencuplik dalam praktik keagamaan, seorang muslim dalam tiap-tiap akhir sembahyangnya selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, sebagai pralambang menebarkan sapaan sejahtera dan keselamatan. Sungguh sebuah cara yang indah untuk sesama bukan?

Tulisan ini tak ingin menjadi pembelaan atas pilihan diksi dalam blog saya, hanya hitung-hitung sekadar mencari-cari diskripsi atas piliha itu. Bukankah setiap pilihan yang cerdas menuntuk alasan dan diskripsi yang cerdas pula?

Karena itu mari saling menyapa, agar hidup kita indah dan sejahtera. []

[020808]

Doa Sebagai Gaya Hidup

Ryan Sugiarto

Sebuah papan reklame besar di Kawasan Lippo Karawaci, sebelum tol, bertuliskan “Doa Sebagai Gaya Hidup”. Sungguh sebuah ajakan, (begitukan inti dari setiap iklan?) yang menarik. Mengajak kita semua , menjadikan Pray as a life style. Sebagaimana mode, elektroik booming, sebagaimanamakanan.

Bukan hal baru memang seruan ini. Sejak berpuluh tahun yang lalu, ajakan seperti ini, meski tidak sama, sudah muncul dikota-kota metro, terutama di barat. Kenapa? Apakah orang kota sudah sangat susah menciptakan trendsetter lain diluar dirinya? Ataukah ajakah orang-orang kota untuk mengkomersiilkan Tuhan dan segala sesuatu yang mengikutinya?

Apa yang saya ungkap ini tentu tak sendirian, di Roma, Itaia Andreotti, mantan Perdana Mentri bernah berkata: di Italia tak ada malaikat atau setan, yang ada hanyalah pendosa-pendosa kecil. Jangan mencari malaikat di Kota ini meski disini banyak gereja. Jangan pula mencari setan, Patung malaikat bisa ditemukan dan dibeli disembarang tempat, termasuk di tepi jalan. Tetapi patung setan, tak usahlah dicari.”

Seorang teman yang nyaris filosof, pernah menulis dalam jurnal mahasiswa “Kota yang Menyingkirkan Allah, tentang Tuhan dalam masyararakat Metropolis Modern”. Ia mengatakan, manusia kota tak lagi memerlukan Tuhan, jikapun ia memerlukan itu ia menjadi komersiil dan diperdagangkan. Mereka tidak lagi memersepsi Tuhan sebagaimana manusia duluar kota, atau sebagaimana pemeluk ajaran-ajaran agama masa lampau.

Teman ini dengan bahasa filosofis, paling tidak untuk menyebut istilah-istilah yang agak susah dicerna dengan pemikiran sederhana, menulisnya “hiruk pikuk metropolis modern, tanpa pernah benar-benar kita sadari, ternyata sanggung menistakan, memuntahkan, membuhun, dan mencampakkan kelura dari mistis metafisis (Tuhan) dari rumah adanya”. Begitu ia membaca Tuhan di Kota.

Namun dalam saat yang bersamaan, berduyun-duyun ajakan untuk mengingat Yang Maha Tak terpermanai ini. Berduyun duyun orang-orang kota berlatih Yoga, sebagai pelariah atas kesumpekan hatinya di Metropolitan. Beramai-ramai, memenuhi masjid pada pengajian-pengajian yang mampu meneteskan air mata. Atau berduyun-duyun ke tempat persekutuan bersama. Atau seperti tulisan siatas menjadikan doa sebagai gaya hidup.

Kota memang selalu terfragmentasi. Di Kota satu hal bis bermakna dua ambigu.

Seorang teman lain, antropolog gaya hidup, menusikan pada jurnal yang sama menulis sebuah judul besar “ Geliat dugem sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum Urban”. Teman ini melakukan analisis kasus pada pra clubbers. Dan ia membaca setiap bentuk aktifitas clubbers adalah sebagaimana sebuah ritual agama, hingga ia memperoleh hal yang dianggap nirwana “Fly”.

Demikianlah memang satu paham yang memunculkan tafsir yang berbeda. Dan kota mengalami keterpecahan pemahaman. Tak hanya dalam pikiran, juga tindakan , dan juga konstruksi tata ruang kehidupannya.

Orang kota selalu mencari hal-hal yang lepas dari dirinya, ketika yang lekat tak lagi sanggup melekatkannya sebagai sebuah sandaran.

Nun jauh di desa, anggap saja sebagai perlawanan kata dari kota, doa adalah juga sebuah kebutuhan, dan ia tak perlu ajakan yang begitu besar sebagaimana papan reklame di Lippo Park ini. Dengan sendirinya mereka menyandarkan hidupnya pada yang Maha tak Bersandar. Sungguh sebuah kesadaran, dan juga ketaksadaran yang tak perlu di iklankan.[]

[020808]

Spiritualitas Warga Kota

Ryan Sugiarto

Keluarga yang punya rumah dimana saya sekarang kos didalamnya, dengan agak berbisik berkata “mas, sebenarnya saya ingin bakar-bakar anu…agar rumah saya laku,”. Lalu sang bapak segera membakar sesuatudi ruang tamu. Kami, saya dan seorang teman, tersenyum-senyum geli saja meliat bapak dan ibu ini melakukan ritual keyakinannya.

dan itulah satu dari sekian kepercayaan, mungkin lebih tepanya spiritualitas, di kota. Tak hanya berpad pada urusan agama formal, tetapi hal-hal yang mistis yang mensugesti keyakinanna kembali untuk sebuah rumah. Barang kali seperti “aji panglimunan”, “jaran Goyang” dalam keilmuan dunia persilatan di sandiwara radio.

Kota dan berbagai arsitektur fisik bangunannya, rupanya tidak dengan serta merta, menghilangkan hal-hal mistis dari masa lalu. Pikiran tiap penghuninya tak pernah menghilangkan masa lalu yang dalam hal ini agak mistis.

Manusianya selalu membawa apa yang didapat dan diperoleh dari perjalanan panjang hidup pada satu tempat yang dinamakan kota. Maka, keanekaraganan bentuk spiritualitas menjadi kemestian. Ia membawa spiritualits jawa, spiritualitas sumatra, spiritualitas, lain-lain tentang yang namanya keyakinan yang mendatangkan keyakinan dalam dirinya. []

[300708]