Sabtu, 30 Agustus 2008

Mentalitas Menciptakan Ide Menjadi Kenyataan

Ryan Sugiarto

Mentalitas merealisasikan ide menjadi kenyataan. Sepertinya itulah yang tidak dimiliki oleh para intelektual-intelektual kita. Alam pikiran mereka dikabuti oleh ide-ide. Seperti langit-langit yang bertabur bintang.

Tapi sayangnya, ia selalu berada dirumah angin. Mengawang-awang dan tak membumi. Tak pernah jatuh dan tak menyendtuh.

Mentalitas merealisasikan ide ini begitu sulit bagi mereka. Maka dianggapnya intelektual itu hanya berbicara dan berpikir semata. Dan dengan demikian wilayah realisasi bukan tanggungjawab mereka, para intelektual. Perbedatan yang bersayap-sayap di media, polemik yang tak habis, dan ajakan adalah akhir dari intelektualisme.

Tapi, sekali lagi, mereka melupakan mentalitas merealisasi setiap ide. “Jangan lupa ide itu berkaki”. Dan karenanya ia akan menjadi real jika diperjalankan, terutama oleh karena ia seorang intelektual.

Dunia ide dan dunia nyata, sebagaimana para intelektual mengambil dari keduannya, harus bertemu pada satu titik realisasi. Dan untuk itu ia membutuhkan mentalitas yang serupa dengan atas. Tak sekadar bicara, apalagi diam[]

[150808]

Guru, Kobarkan Semangat Mimpi Kepada Anak Didikmu!

Ryan Sugiarto

Harapan kadang memang harus ditumbuhkan. Dan saya pikir peran orang tua ada merangkah harapan-harapan masa depan dari anaknya. Pertama rangsang kemana kecenderungan anak, asah dan lapisi setiap ingatan mereka dengan harapan akan masa depan. Mimpi akan masa depan. Orang tua yang optimis adalah cermin dari bagaimana anak menandang kehidupannya.

Anak akan bercermin tentang bagaimana mereka memandang hidup. Bagaimana mereka memupuk dan merealisasi mimpi.

Dan guru, yang setiap hari, lebih banyak wktu bersama seorang anak adalah semacam plencung. Pelambung bagi mimpi-mimpi. tugasnya adalah mengobarkan mimpi dan keinginan tentang masa depan yang lebih baik. Guru menjadi pelicin bagi keinginan-keingnan anak untuk meraih jalannya mimpi. dan merealisasikannya.

Guru: kobarkan semangat mimpi anak didikmu. Jadikan mereka para pejuang-pejuang yang akan membaharuai dunia. Tentu dunia yang lebih baik. Ada harapan diantara ucapan pra guru. Janganlah berbusa-busa oleh teori-teori yang kadang mengandalkan hafalan semata.

Anak, orangtua, dan guru. Memang perlu bahu-membahu, untuk memumbuhkan dan menjaga agar mimpi tetap tegak. Tetap bersemangat dan dapat diaraihnnya.[]

[220808]

Apa yang kaudapati dari kampus?

Ryan Sugiarto

Seorang wakil dekan fakultas saya masa briefing upacara wisuda menantang kami begini. Siapa yang berkat ia tidak mendapatkan apapun dari kampus? Majulah kemari, amil uang limapuluh ribu ini.

Lontaran ini adalah upayannya mencegah, mendengar kembali ungkapan seorang wisudawan: saya tak mendapatkan apapun dari kampus. Saya tak bisa memahami apakah ucapa wakil dekan ini tantangan, yang harus dialamatkan pada mahasiswa, atau ia berujud kesedihan, melihat wajah-wajah mahasiswanya yang hampir meinggalkan gelangang kampus. Suaranya sih menunjukkan ambigu. Dan kemudian aku menyimpulkan ini bukan suatu keprihatinan. Melainkan suatu kemarahan yang tak ingin ia ulang dari periode wisuda sebelumnya.

Seorang kawan yang dipilih untuk memberikan ucapan terakhir mahasiswa, dihadapan para orangtua wali dan sivitas akademika, mengatakan bahwa dirinya tidak mendapatkan apapun di kampus ini. Saya pikir sebuah langkan dan kata yang berani, mingkin juga jujur. Jujur disaat, perkuliaahan yang dialami sepanjang empat tahuan, dan hanya dijejali teori yang tek membentuk diri. Berani karena mahasiswa pilihan ini, tidak serta merta tertunduk pada birokrasi dan tata krama yang meniadakan kebenaran. Kebanyakn orang dinegara ini memng memilih ketenangan dari pada kebenaran.

Ungkapan teman ini adalah ungkapan kesungguhan. Kesungguhan, ketika menmandang bahwa msa kulaihnya selesai, dan kini ia menadang ruang kosong didepannya. Dan kebingungan dengan apa ia akan mewarnai ruangan masa depannya itu. Tak ada alatpun yang ia peroleh dari kampus. Tak ada senjata pun yang dibekali kampus, selain teori-teori yang tumpul untuk membentuk realitas.

Palin tidak kawan yang satu ini tersadar tentang apa yang telah ia alami dalam kampus. Yang kadang memang tak membentuk diri yang berkarakter. Dan krakter tak disediakan diruang kelas. Justru diluar ia tersedia untuk direngkuh.

Kawan ini saya pikir juga hanya menyuarakan keheningan dan kekosongan kwan-kawan yang ada didepannya. Memakai toga kehormatan akademis. Dan menatam dunia dengan wajah kosong. Tak berani berbuat.

Dan ketika kawan saya itu berucap: aku tak mendapatkan apapun dari kampus, justru ia sendiri telah mendapatkannya. Mendapatkan keberanian, dan kejujuran yang terungkapkan. Tidak semua yang menjadi sarjana pada waktu itu berani berkata dan melakukan hal ini. Justru ia telah mendapatkannya, walaupun ia usahakan sendiri ketikan kontra dengan kampus.[]

[220808]

Dunia para single

Ryan Sugiarto

Ah…dunia ini baik baik saja jikapun, single. Tetapi bukankah manusia diciptakan berpasang-pasang oleh tuhan? Dan seyogyanya ia adalah mahluk yang berlingga dan beryoni. Jika dua-duannya lingga apa jadinya? Jika dua-duannya yoni, bagaiamana pula kelakuannya. Tepatnya tentang reproduksi.

Tetapi berpasangan dan singgle hanyalah sebuah oilihan. Kita bisa memilih manapun yang bagi kita nyaman dalam menjalani kehidupan ini.

Dan para single dengan tenang akan menghadapinya sendiri apapun yang dihadapannya. Para single adalah peetualang yang siap kemanapun tanpa menanggun kehidupan yang lain. Bukankah demikian?

Para single, sepertinya adalah angka 1. Menjalani kehidupan sendiri, menyakitkan diri sendiri.

Ah…entah apa yang kutulis ini. Tetapi dunia para single tak banyak bertahan didalamnya.[]

[220808]

Tatkala Politik Kotor Puisilah yang Mensucikannya

Ryan sugiarto

Itulah ungkapan parni hadi. Dan saya pikir ini adalah langkah bagai mana sebuah puisi , dan lebih besar lagi sastra berperan dalam lingkup negra. Sudah banyak tulisan, sastra, puisi yang mengobok-obok kebobrokan negara. Kekotoran politik.

Puisi menjadi pengingat dan penyeimbang bagi politik yang kotor, negra yang rusak. Tapi negeri ini belum benre-benar cinta degan sastra. Melirikpun jarang. Apalagi membasuh dirinya dengan puisi. Politik terlalu dipusingkan tentang bagaimana membagi kursi, bagaimana menarik simpati, dan bagaimana kemudian menduduki.

Bahkan ada yang anti dengan puisi. Kakrena dianggap melecehkan dan menodai nama baik. Berapa banyak para penyair kita yang terbui. Bahkan menjadi sepi dari sosial, karena tak ditemi lagi.

Politik menutup mata dari gambran puisi, menutup telinga dari kerasnya ingatan puisi. Politik kita tak memerhati puisi. Apa lagi yang seperti ini:

Pengusaha mati meinggalkan hutang

Politisi mati meinggalkan janji

Dan

Orang miskin mati meninggalkan tulang belulang

Dengan demikian, memang tugas puisi mensucikannya.[]

[220808]

Buat Bapak Bangga, ‘Nak!

Ryan Sugiarto

Teriakan itu nyaring terdengar, bahkan oleh semua anak. Dari bapak-bapaknya. Bukan sebuah teriakan, tapi sebuah permintaan lirih. Atau lebih tepatnya, dorongan. “Buat bapak bangga, ‘Nak,” begitu kata hati lirih itu.

Dorongan lirih iru selalu ia pupuk semsaa kecil. Datang dari tiap-tiap bapak. Ia adalah juga sebuah ajakan. Ajakan tentang keinginan yang sama untuk menuju kebanggaan. Dalam diriku, juga anak-anak lain yang berbapak dan beribu, selalu berkata dalam hati “aku akan menyambut ajakan itu, karena ia juga keinginan dalam diriku.

Setiap bapak memang mengajak anak-anaknya untuk menjadi kebanggaan bagi dirinya. Dan sebaliknya setiap anak akan mengejar-ngejar apapun yang akan menjadikan ia bangga di mata bapaknya.

Logika kebanggaan memang jarang tumbuh. Ia adalah sejenis mimpi yang pasti akan terjadi. Pada setiap kejadian adalah ungkapan untuk mengejar kebanggaan-kebanggaan.

Yang lebih besar adalah menjadi kebanggan yang komplit. Bangga dengan diri, bangga untuk bapak, dan sebuah kebangaan sosial. Tidak sekadar sebuah kerja yang menjadikan diri tetapi juga sebuah kerja yang menjadikan nilai sosial bagi orang lain.

Ahh, jia demikan betapa menyenangkan menjadikan diri sebagai kebangaan-kebanggaan bapak dan juga orang lain. Tentu sebuah kepuasan yang tak ternilai.

Begitu mimpi-mimpi yang selalu tumbuh dan membesar dalam diri setiap anak. Kepada bapak-bapaknya. Kepada orang-orang lain dijangkauan sosialnya. Kepada semuanya. Menjadikan diri yang bermanfaat secara sosial. []

[140808]

Sabtu, 16 Agustus 2008

Bersahabatlah dan semuanya berjalan dengan baik

Ryan Sugiarto

Anda tentu mempunyai teman, siapa saja, tetapi adakah seorang sahabat diantara mereka? Yang dianggap sahabat mungkin tak sejulmlah teman yang kita kenal. Ia hanya satu atau beberapa.

Begitulah memang dunia ini tak sepenuhnya menyediakan sesuatu yang selalu lekat dalam tiap fase perjalanan hidup. Ia relasi yang sangat intim, dimana Anda bia bersama-sama mengaruhi perubahan dunia dalam jalina persahabatan. Jika Anda ingin merengkuh dunia-dunia Anda, bersahabatlah. Ia membantu dalam situasi-situasi yang kadang enggan kita jalani. Konon begitu sebuah persahabatan.

Seorang sahabat, bisa melapangkan jalan-jalan anda. Dan sebaliknya anda juga bisa memberi jalan-jalan yang terbaik untuknya. Ia bentuk silaturahmi yang lebih intim.

Bersahabatlah dan semuanya bisa berjalan dengan baik.[]

[070808]

Doa

Ryan Sugiarto

Untuk hal-hal positif semua orang pasti mendoakan. Tanpa saya sadari semua orang akan medoakan saya, meski kadang hanya setengah-setengah dalam doaanya. Saya pikir Tuhan akan selalu tahu, meskipun doa itu setengah-setengah. Bukanlah tuhan juga akan melihat setiap doa dalam hati manusia? Pikirku demikian.

Doa selalu sebagai sebuah ketundukan dalam diri manusia. Di saat itulah keadaan paling menghamba manusia kepada sang pencipta. Doa selalu dibawakan dengan nada yang meminta-minta. Menyanjung-nyanjung, memuja-muja dan pada akhirnya jatuh pada urusan meminta. Tetapi bukankan memang begitu, setiap sebuah ketundukan diajukan pada yang tak tertunduk kapanpun.

Doa mungkin bagiku serupa kekuatan kedua setelah mimpi-mimpi, ia yang akan menopang setiap impian. Ia, sebagaimana kekuatan-kekuatan motivasi yang lain, menghambur dalam ketundukan-ketundukan yang menghamba. Maka saat-saat menghamba hanya beberapa doa yang saya hambakan kepadanya. Bukan berangggapan Tuhan akan lupa pada setiap doa yang teruncat dari mulut, bukan juga berpikir tuhan sibuk mengurusi yang mana dulu dari doa-doa hambanya dimuka bumi. Tetapi hanya sekadar mengingatkan hamba itu sendiri, saya, doannya sudah terkabulkan belum oleh Yang tak Menghamba. Memfokuskan pada setiap doa, dan agar tuhan kemudian berpaling kepada doaku, karena intensitas dan kualitas ketundukan yang terpasrahkan.

Doa memang mengandung ketegangan. Ketengangan meengharap, dan sekaligus tarikan berprasrah secara total kepada setiap keputusannya. Saya pikir ,lagi, begitulah ilmu dan juga kondisi psikologi dari setiap doa-doa. []

[140809}

Harus: Tapi berdamailah dengan diri sendiri

Ryan Sugiarto

“Harus!” dan kemudian ada yang lain dari diri kita yang merasa harus memberontak kata itu. Barang kali saja karena sejak kecil kita dibiasakan mendengar kata-kata itu. Setiap nasehat slalu saja menyelipkan kata ini. Tidak, saja orang tua, guru-guru kita disekolah sering melontarkannya “Harusnya kamu itu….ini…itu…” dan seterusnya. Apalagi sang guru BK atau BP .

Waktu kita sekolah di tingkat semenjana, yang paling lekat tentang kata harus dan guru BK.

Dan setelah itu lalu kita patut sadar menetapkan pilihan harus ini dengan standart pencapaian kita dan apa yang diinginkan. Keharusan yang datang dari diri sendiri menjadi pendiri atas keinginan-keinginan yang menjadi tujuan sendiri. Dan sebuah keharusan membuat Anda street pada jalan mencapai sesuatu yang lebih besar.

Meski, pada saat-saat tertentu kita patut berdamai dengan diri kita sendiri. Stelah sekian lama berkutat dengan keharusan yang kita ciptakan sendiri untuk sendiri. Jika kita berani mengakumulasi pada kata harus untuk beberapa titik dalam hidup kita, maka kita telah mengambil sebuah jalan yang tepat bagi sebuah kesadaran untuk perbaikan diri. Harus adalah jalan menuju target.

Soal berdamai, janganlah terlalu sering, atau jangan pula sering. Bentuklah damai untuk hal-hal yang harus saja kita berdamai. Agar, kita tidak dengan mudah membatalkan keharusan-keharusan yang baru saja kita mulai.

Keharusan membutuhkan waktu, dan memsyaratkan kesadaran. Karena keharusan menjadi benar jika ia adalah hasil dari kesadaran. Saya harus membentuk keharusan saya sendiri, karena kesadaran saya membutuhkan keharusan itu sendiri. Ia menjadi begitu inhern dalam diri saya. Dan saya kira, Anda melakukannya kalau saja Anda mau. Dan saya tak bisa menciptakan keharusan Anda, karena sebuah kesetaraan.[]

[090808]

Ingatkah: Pakualaman, Angkringan Tugu, dan Bulaksumur?

Ryan Sugiarto

Tiba-tiba seorang kawan mengirimkan pesan pendek yang berbunyi “Ternyata Jogja ngangeni” lalu dia juga mencuplik lagu Kla Projek “pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu”. Romantisisme pun mendera.

Ingatkah kau tentang pakualaman, tentang angkringan tugu, dan juga bulaksumur? Beberapa dari sekian banyak tempat-tempat yang begitu lekat dalam alam pikir saya. Paling tidak beberapa dari sekian tempat yang juga masih “suci” dari gemerlap perlombaan dunia. Pakualaman tetap bersahaja, sebagaimana mulanya. Angkringan Tugu juga masih akrab, meski jarang seniman-seminam berkumpul lagi disana. Bulaksumur, Markas besar peradaban kebangsaan. Terutama tertuju pada sepetak rumah kecil b21. Ah, tak usahlah mengingat terlalu dalam tentang bagaimana orag-orang didalamnya bergelut letih.

Apalagi ketika malam, dengan sedikit provokasi, kami berkumpul. Hanya untuk sekadar ngobrol ngalor ngidul soal yang remeh. Tetapi memang sesungguhnya tak ada yang penting sebagaimana juga tak ada yang remeh dalam hidup ini.

Dan secepat kilat aku menyambar HP ku kembali dan mengirimkan pesan pendek kepada seorang teman yang masih di Jogja “Aku kangen Jogja”.

Rasa kangen selalu mensyaratkan sebuah jarak. Dan dan waktu yang lama untuk tak berjarak. Maka hanya mereka yang berjarak dengan kerinduannya yang bisa merasakan kedasyatan romantisisme masa lalu. Keberjarakan menimbulkan itu semua. Sebuah kegenitan ingatan yang menghujam dan menutupi kekinian dalam waktu yang relatif singkat. []

[070808]

Kita hanya membutuhkan terobosan dan keberanian berpikir

Ryan Sugiarto

Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya, juga karir, jika saya pikirkan sekilas, adalah orang-orang yang berani membuat terobosan-terobosan penting dalam dunianya. Dengan keberanian membuat terobosan, orang yang berhasil dan mereka yang akan berhasil, telah meledakkan kebaruan dri dunia. Paling tidak kebaruan, dari apa yang selalu mereka lakukan sebelumnya. Juga mengalahkan kebiasaan-kebiasaan yang umum dilakukan oleh orang lain.

Anehnya banyak orang, barangkali termasuk saya, yang enggan memulai hal-hal baru diluar adat kebiasaan. Merasa ewuh pakewuh, sungkan, juga tak kalah takut salah. Dan merekalah alasan-alasan yang menghamat kita menciptakan terobosan, kebaruan, dalam sebuah hidup, juga karir.

How to be person with new consept? Be Challanger? Anda, maaf, saya hanya membutuhkan keberanian untuk membuat terobosan dalam hidup saya. Paling tidak, saya terhindar dari kejenuhan yang memenjara. Bukankah kreatifitas muncul jika kita tak terpenjara, tentu untuk selanjutnya kita juga membutuhkan keharusan alami dalam diri kita. Demikian agar terobosn yang kita buat tak mati ditengah jalan (baca Harus:Tapi berdamailah dengan diri sendiri).

Setiap terobosan lahir dari keinginan, atau juga mimpi dan atau imajinasi. Ia, sekali lagi membutuhkan keberanian memulai, dan keketatan menjalankan keharusan murni. Dan setiap perjalanan terobosan, pun juga hasilnya, adalah pelajaran awal agar terobosan baru yang lebih berani dapat kita munculkan lagi.

Ketakutan memunculkan hal baru anggap saja sesuatu yang kuno dan tidak jamannya lagi. Dengan begitu kita telah membuang jauh-jauh rintangan awal memperoleh keberhasilan kita. Sejujurnya keberania berpikir bebas inilah yang menjadi dasar utama. Pikiran adalah aset awal kita, dan juga pergudangan dalam diri kita.

Keberanian berpikir adalah pangkal segalanya. Pikiran kita menentukan kesuksesan kita.

Berkait dengan ini saya ingin mengingat kembali cerita lama, yang saya yakin anda sudah pernah mendengarnnya atau membacanya:

Adalah seorang pematung di Kerajaan Amartaraya, ia begitu pandai dan sangat ahli dalam membuat patung-patung di sebuah padepokannya. Ia sering mendapat pesanan dari para kawula untuk membuatkan patung.

Keahlian ini sampai ditelinga sang raja, dan suatu hari pematung dipanggil sang Raja keistana.

“saya mendengar kamu sangat panda dalam membuat patung,” begitu kata sang raja.

“Iya Gusti.” Jawab pematung itu.

“Kalau begitu saya perintahkan kamu untuk membuat patungku, keluargaku, para punggawa, dan orang-orang penting di kerajaan ini, sebagus patung-patungmu yang lain!” titah raja.

Pematung kemudian pulang meninggalkan istana. Ditengah perjalan ia tampak gembira karena ia mendapat order langsung dari sang raja.

Lalu dia mulai membuat patung satu persatu, Raja , permaisuri, putra mahkota, keluarga raja, pejabat-pejabat kerajaan dan orang penting lainnya. Patung itu tepat selesai pada waktunya. Dan hasilnya luarbiasa.

“Bagus, bagus, saya suka patung-patung ini. Kamu luarbiasa,” puji sang raja.

“Tapi, setalah kuteliti lagi saya tidak mnemukan patungmu diantara patung-patung ini. Mana patungmu sendiri?” selidik sang raja.

“kalau begitu segera buatlah patungmu dan bawalah kemari segra,” lanjutnya memberititah.

Pematung terheran-heran dalam perjalanan. Dan ia berpikir kenapa sang raja menyuruhnya membuat patungya sendiri?

Dalam pikirnya ia berkata.

“Ah, paling patung saya , hanya akan dipasang sebagai hiasan ditaman, atau dibelakang. Paling juga hanya sebagai pelengkap taman,” pikirnya

“dan kalau ditamankan, tidak enak rasanya. Ia akan kepanasan, kehujanan, an kmudian rusak,” pikirnya semakin jauh.

“kalua begitu saya akan buat patus saya yang biasa saja,” begitu kesimpulannya.

Pematung kemudian sebera membuat patungnya sendiri. Ia tak memerlukan waktu lama untuk itu. Dan segeralah patung itu diseerahkan kepada sang raja.

Dan sesampainya di istana.

“Lho kok patungmu biasa-biasa saja, tidak seperti patung-patung buatanmu yang lain,” tanggap sang raja tentangpatung si pematung tadi.

“Mana bisa patung seperti ini diletakkan di ruang singgahsana. Tidak enak dilihat dan memalukan,” lanjut raja memberi alasan.

Maka lalu sang raja menitahkan punggawanya “Punggawa, bawalah patung ini kebelakang. Letakkan di Samping kandang Kuda”

Begitulah.

Apakah yang menentukan dan menutuskan patung si pematung itu diletakkan di kandang kuda adalah sang raja? Bukan! Yang memutuskan letak patung si pematung itu adalah pikiran pematung itu sendiri. Bahkan ia memutuskan sejak dalam pikirannya.

Begitulah sesungguhnya kekuatan pikiran. Ia menentukan dan memutuskan jauh sebelum sesuatu itu dilakukan. Karena itu berhati-hatilah dengan pikiran Anda.[]

[090808]

Kekuatan Berbagi

Ryan Sugiarto

Seorang teman menulis buku mukjijat sedekat. Sebuah kata lain dalam bahasa yang lebih umum adalah kekuatan berbagi. Berbagi memang menjadi satu dari sekian cara dari dunia ini yang bisa menggerakkan peradaban. Bagaimana tidak berbagi menjadi medaia lintas ekonomi, lintas, iman, lintasmotivasi, lintaskerja, dan lainya-danlainnya.

Teman itu, menulisnya tentang seseorang yang denga ketulusan berbagi maka ia akan mendapatkan hal yang lebih lagi dari apa yang ia bagikan. Analogi yang paling sering digunakan orang, yang pernah diajarkan kepada saya adalah.”berbailah ilmu kepada sesama yang membutuhkan.” Begitu yang diajarkan ibuku.

Tak ada yang akan hilang jika kita berucap, menulis, atau mengajarkan didepan semua orang. Sebaliknya kita akan semakin memahami dan menemukan yang baru. Sesuatu yang kita pikir belum ada dalam apa yang telah kita perdengarkan, telah kita tuliskan dan kita perbincangkan.

Saya ingin membagi apa yang saya pikirkan kepada Anda semua, harapan saya adalah saya bisa mengentalkan dan sekaligus juga mencairkan apa yang saya pikirkan.

“teman itu kemudian menuis lagi, jangan pelit bersedekah. Tuhan justru akan mempersulit riskimu nanti,”kira-kira bahasa lugunya demikian.

Maka, jangan pernah bosan berbagi, jangan pernah malu pula untuk berbagi. Ia akan meringankan bebanmu. Ungkapan itu yang muncul dalam pikiranku.

Orang yang sering sharring, curhat, dengna begitu sedikit banyak perasaannya akan lega. Mungkin hanya in yang akan berkurang dari tiap berbagi. Tapi bagian yang seharusnya tak ada “perasaan buruk” melegakan setiap perasaan adalah bentuk lain dari berbagi.

Kalau begitu saya dengan akan sangat senang memulai diri berbagi dengan Anda. Dan dengan begitu mari kita kenali kekuatan berbagi[]

[140808]

Kita memang Haarus memprovokasi diri

Ryan Sugiarto

Seorang provokator motivasi, Antoni Deo Martin, yang adalah juga, kalo tidak keliru dan kalo boleh mengklaim, satu almamater dan satu organisasi, pernah berkata “untuk berhasil kita harus memprovokasi diri kita untuk bangkit menyongsong masa depan,.

Mas Martin, rasanya tahu benar menerapkan provokasi masa ke dalam provokasi diri. Sbagai seorang mantan aktivis, provokasi menjadi modal utama dalam menggerakkan masa. Ia, provokasi adalah sejumlah kata-kata dan juga sebagai tindakan, dimana orang lain akan dengan segera dan dengan semangat luar biasa menggerakkan diri mereka sendiri agar segera bergrak bersama-sama.

Dan Seorang provokator yang ulung adalah bagaimana sang provokator dengan mudah menggerakkan masannya. Dan begitulah dengan segera provokasi-provokasi segera berhasil.

Diri kita sendiri memang membutuhkan provokasi. Terutama provokasi yang berasal dari diri sendiri pula. Kita harusnya bertindak sebagai provokator unruk memprovokasi diri kita sendiri.

Posisi yang diambil mas Martin, begitu tepat. Bagaimana membangkitkan massa, istilah lain untuk memprovokasi, kebangkitan dirinya sendiri.

Kita, yang kadang lemah motivatosi, butuh provokasi. Provokasi membawa diri kita bergerak kedepan, meninggalkanketeteran-keteteran kita soal pandangan hari depan.

Karana itu tak salah jika sebuah doa dialamatkan:

Kepada yang maha mengetahui, jadikanlah diri ini provokator atas diriku sendiri, agar tak ada lagi yang namanya tak bergairah memandang masa depan. Jadikanlah kami provokasi yang membangkitkan hari yang cerah didepan.jaadikanlah kami pula provokator-provokator yang menggerakkan yang lain untuk merengkuhmu dan dunia mereka masing-masing. Jadikanlah kami…

Beruntunglah para provokator, yang sanggup menggerakkan yang lain menuju sesuatu yang lebih baik. Karena didepan kita ada kondisi yang lebih baik itu, another word is possible, begitu arundati roy berujar.[]

[080808]

Sabtu, 02 Agustus 2008

Ke-ada-an Seorang Penulis

Ryan Sugiarto

Konon, seseorang bisa dibaca dari bagaimana cara dia menulis. Sebagaimana apa yang sering dia baca. Dan seorang kawan berkomentar “bagaimana jadinya kalau pemimpin seperti ini?” katanya mengomentari tulisan Riziek Shihab, ketua FPI. Tulisan ini sejatinya, hak jawab dari Tulisan GM dalam catatan pinggir Tempo edisi 22 Juni 2008. Oleh karena sangat sarkas dan tidak etik sebagai sebuah bacaan umum, maka ia tak ditayangkan rasanya.

Dalam citra bahasa saya, bahasa santun yang mempertanyakan dan menayakan komitmen ke-Indonesia-an Riziek Shihab oleh GM sangat Indah. Tetapi justru balasan tulisan yang disampaikan oleh Riziek, melukai pencitra bahasa yang saya miliki, meski disatu sisi menggelikan. Hingga terlontas juga “kok pemimpin nulisnya kayak gini?”.

Apakah Riziek, beliau ini tak pernah belajar menuis? Atau bahkan tak pernah mengenal kesantunan dalam keanekaragaman? Entahlah. Namun demikian tulisan kedua orang ini terasa jauh benar bedanya. Ini hanya soal pencitraan rasa bahasa saja.

Memang demikian, setiap bahasa, dalam hal ini tulisan menunjukkan seperti apa pikiran penulisnya. Lebih jauh, barangkali, seperti apa penulisnya.

Seperti yang dituliskan oleh Isaac Bashevis Singer “Every writer has an address.” Pernyataan ini, dikutip oleh Chynthia Ozick, seorang sastrawan Amerika dalam sebuah intervie dengan The New York Times. Dan ia juga mengutip Shakespeare bahwa kehidupan bermoral mempunyai “a habitatuin and a name”, bertempat tinggal dan bernama. Ozick menegaskan seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan, ini saya kutip dari tulisan R.William Liddle, rumah seorang penulis, dalam catatan pinggir 3.

Demikian tiap tulisn justru menunjukkan diri, dan setiap penulis menunjukkan peradaban yang dilaluinya dalam kehidupannya. Mungkin juga tilisan, saya, ini juga menunjukkan dimana rumah saya, dan bagaimana peradaban (baca) kecenderungan saya. []

[300708]

Logika Hak dan Kewajiban

Ryan Sugiarto

Pada sebuah kantor, seorang rekruiter berseru-seru mengingatkan agar administraturnya segera mengurus proses gaji seorang karyawan baru di perusahaannya. Konon karyawan itu sudah berkali-kali menelpon sang rekuriter hanya untuk menanyakan “Mana gaji saya bulan ini?”

Dan suatu keika pada suatu kesempatan yang lain, sang administrator berkata pada bagian pengurusan budget: “Cepet diposes dong, aku kasihan sama dia”.

Adakah yang nampak aneh dari percakapan ini? Ya memang begitu. Harusnya kalimat terakhir itu tidak keluar. Dan kalau pun toh kemudain keluar, ia salah sasaran. Ia tak seharusnya kasihan pada karyawan. Justru harus kasihan pada sistem dalam perusahaan tersebut.

Ini adalah pelajar soal logika hak dan kewajiban. Seorang karyawan sudah melakukan kewajibannya bekerja selama satu bulan, dan dengan demikian perusahaan telah memperoleh haknya atas kewajiban karyawan, yaitu suatu kerja. Dengan demikian sehingga hak dari karyawan sebagai akibat dari keajibannya adalah memperoleh gajinya selama sebulan itu. Hak dari karyawan adalah kewajiban dari perusahaan, dalam hal ini terwakilkan oleh orang-orang yang mengurusnya.

Maka jika ada yang diam saja, tidak menuntut haknya (gaji yang belum terbayar), atau hingga menelpon berkali-kali, itu adalah hanya sekadar cara memperingatkan para administratur ini untuk mengingat kewajibannya, atas hak yang telah mereka peroleh.

Dan seolah merekonstruksi percakapan itu, harusnya muncul kalimat “saya kasihan dengan sistem perusahaan ini yang tidak dengan segera mengurus kewajibannya kepada karyawan.”

Hak dan kewajiban adalah dua hal yang berkelindan, sebab dan akibat.[]

[020808]

Re: Tegur Sapa Untuk Sesama

Ryan sugiarto

Seorang teman menulis dalam sebuah note di Massenger nya “jangan hanya menyapa, selami kedalaman dirinya”. Saya jadi teringat dengan head Blog saya “Tegur sapa untuk sesama”. Dan saya menduga ia ingin mengomentari judul head blog ini.

Kemudian pikiran saya berasumsi “mbok jangan hanya menyapa. Berkenalanlah lebih dekat, mengenallah lebih dalam dan kalau bisa lebihlah intim!” begitu kurang lebih.selaiknya memang demikian, saling mengenal lebih dalam.

Tetapi apa yang aneh dari saling sapa? Saling salam, mungkin juga bersetara dengannya. Dan saya mencari-cari alsan apa yang sanggung menyandarkan tegus sapa ini. Ahh, tak harus bersandar barang kali. Paling tidak teman tadi memberi satu ide bagi saya untuk sekali lagi menggauli lebih intim setiap tulisan dengan tulisan dalam blog ini.

Tetapi mari kita lebih lebar lagi, menebar sapa adalah hal yang paling indah rasanya. Menyapa adalah sesuatu yang mulia, paling tidak dalam pengertian saya begitu. Bukankah sediannya setiap sapaan terlontar dengan senyum.

Mencuplik dalam praktik keagamaan, seorang muslim dalam tiap-tiap akhir sembahyangnya selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, sebagai pralambang menebarkan sapaan sejahtera dan keselamatan. Sungguh sebuah cara yang indah untuk sesama bukan?

Tulisan ini tak ingin menjadi pembelaan atas pilihan diksi dalam blog saya, hanya hitung-hitung sekadar mencari-cari diskripsi atas piliha itu. Bukankah setiap pilihan yang cerdas menuntuk alasan dan diskripsi yang cerdas pula?

Karena itu mari saling menyapa, agar hidup kita indah dan sejahtera. []

[020808]

Doa Sebagai Gaya Hidup

Ryan Sugiarto

Sebuah papan reklame besar di Kawasan Lippo Karawaci, sebelum tol, bertuliskan “Doa Sebagai Gaya Hidup”. Sungguh sebuah ajakan, (begitukan inti dari setiap iklan?) yang menarik. Mengajak kita semua , menjadikan Pray as a life style. Sebagaimana mode, elektroik booming, sebagaimanamakanan.

Bukan hal baru memang seruan ini. Sejak berpuluh tahun yang lalu, ajakan seperti ini, meski tidak sama, sudah muncul dikota-kota metro, terutama di barat. Kenapa? Apakah orang kota sudah sangat susah menciptakan trendsetter lain diluar dirinya? Ataukah ajakah orang-orang kota untuk mengkomersiilkan Tuhan dan segala sesuatu yang mengikutinya?

Apa yang saya ungkap ini tentu tak sendirian, di Roma, Itaia Andreotti, mantan Perdana Mentri bernah berkata: di Italia tak ada malaikat atau setan, yang ada hanyalah pendosa-pendosa kecil. Jangan mencari malaikat di Kota ini meski disini banyak gereja. Jangan pula mencari setan, Patung malaikat bisa ditemukan dan dibeli disembarang tempat, termasuk di tepi jalan. Tetapi patung setan, tak usahlah dicari.”

Seorang teman yang nyaris filosof, pernah menulis dalam jurnal mahasiswa “Kota yang Menyingkirkan Allah, tentang Tuhan dalam masyararakat Metropolis Modern”. Ia mengatakan, manusia kota tak lagi memerlukan Tuhan, jikapun ia memerlukan itu ia menjadi komersiil dan diperdagangkan. Mereka tidak lagi memersepsi Tuhan sebagaimana manusia duluar kota, atau sebagaimana pemeluk ajaran-ajaran agama masa lampau.

Teman ini dengan bahasa filosofis, paling tidak untuk menyebut istilah-istilah yang agak susah dicerna dengan pemikiran sederhana, menulisnya “hiruk pikuk metropolis modern, tanpa pernah benar-benar kita sadari, ternyata sanggung menistakan, memuntahkan, membuhun, dan mencampakkan kelura dari mistis metafisis (Tuhan) dari rumah adanya”. Begitu ia membaca Tuhan di Kota.

Namun dalam saat yang bersamaan, berduyun-duyun ajakan untuk mengingat Yang Maha Tak terpermanai ini. Berduyun duyun orang-orang kota berlatih Yoga, sebagai pelariah atas kesumpekan hatinya di Metropolitan. Beramai-ramai, memenuhi masjid pada pengajian-pengajian yang mampu meneteskan air mata. Atau berduyun-duyun ke tempat persekutuan bersama. Atau seperti tulisan siatas menjadikan doa sebagai gaya hidup.

Kota memang selalu terfragmentasi. Di Kota satu hal bis bermakna dua ambigu.

Seorang teman lain, antropolog gaya hidup, menusikan pada jurnal yang sama menulis sebuah judul besar “ Geliat dugem sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum Urban”. Teman ini melakukan analisis kasus pada pra clubbers. Dan ia membaca setiap bentuk aktifitas clubbers adalah sebagaimana sebuah ritual agama, hingga ia memperoleh hal yang dianggap nirwana “Fly”.

Demikianlah memang satu paham yang memunculkan tafsir yang berbeda. Dan kota mengalami keterpecahan pemahaman. Tak hanya dalam pikiran, juga tindakan , dan juga konstruksi tata ruang kehidupannya.

Orang kota selalu mencari hal-hal yang lepas dari dirinya, ketika yang lekat tak lagi sanggup melekatkannya sebagai sebuah sandaran.

Nun jauh di desa, anggap saja sebagai perlawanan kata dari kota, doa adalah juga sebuah kebutuhan, dan ia tak perlu ajakan yang begitu besar sebagaimana papan reklame di Lippo Park ini. Dengan sendirinya mereka menyandarkan hidupnya pada yang Maha tak Bersandar. Sungguh sebuah kesadaran, dan juga ketaksadaran yang tak perlu di iklankan.[]

[020808]

Spiritualitas Warga Kota

Ryan Sugiarto

Keluarga yang punya rumah dimana saya sekarang kos didalamnya, dengan agak berbisik berkata “mas, sebenarnya saya ingin bakar-bakar anu…agar rumah saya laku,”. Lalu sang bapak segera membakar sesuatudi ruang tamu. Kami, saya dan seorang teman, tersenyum-senyum geli saja meliat bapak dan ibu ini melakukan ritual keyakinannya.

dan itulah satu dari sekian kepercayaan, mungkin lebih tepanya spiritualitas, di kota. Tak hanya berpad pada urusan agama formal, tetapi hal-hal yang mistis yang mensugesti keyakinanna kembali untuk sebuah rumah. Barang kali seperti “aji panglimunan”, “jaran Goyang” dalam keilmuan dunia persilatan di sandiwara radio.

Kota dan berbagai arsitektur fisik bangunannya, rupanya tidak dengan serta merta, menghilangkan hal-hal mistis dari masa lalu. Pikiran tiap penghuninya tak pernah menghilangkan masa lalu yang dalam hal ini agak mistis.

Manusianya selalu membawa apa yang didapat dan diperoleh dari perjalanan panjang hidup pada satu tempat yang dinamakan kota. Maka, keanekaraganan bentuk spiritualitas menjadi kemestian. Ia membawa spiritualits jawa, spiritualitas sumatra, spiritualitas, lain-lain tentang yang namanya keyakinan yang mendatangkan keyakinan dalam dirinya. []

[300708]

Agustusan

Ryan Sugiarto

Apa yang haru dari setiap Agustusan, selain perjuangan sejarah yang memang sudah haru? Kira-kira kenangan masa kecil. Sejak setiap manusia, anak sekolah, yang berjajar ratusan kilometer menjadi pagar betis untuk “mengamankan” iring-iringan pelaksana upacara, drumband agustusan. Anak-anak SD dengan pakaian atas putih, bawah merah sebagai pralambang negara yang selalu dikenakannya, juga anak-anak SMP dengan bajunya sendiri.

Kami dulu menunggu-nunggu waktu itu datang, pagi dan sore hari, ketika iringan drumband peringatan itu melintas dijalan-jalan besar beraspal. Kami sudah siap beberapa jam sebelumnya, berdiri. Kegembiraan masa kecil pada tiap agustusan.

Dan waktu itu rasa haru menyelimuti hati kami semua anak SD. Betapa kami seolah ikut larut dalam pertempuran para pendiri bangsa. Tapi itu hanya kami rasakan selama beberapa jam, ketika kami harus berdiri berjajar, menjadi pagar betis dalam setiap perayaan Agustusan. Itu barangkali hal paling kolosan yang kami, anak-anak SD, lakukan.

Seragam merah putih itu seakan sakral, seperti bendera yang terlihat disepanjang iring-iringan. Sungguh sebenarnya tampak aneh, apa yang anak SD tahu soal nasionalisme, kebangsaan, dan arti besar merah putih itu? Tetapi kami dengan bangga hati dan rasa besar yang bergetar, berdiri berjajar dengan tangan saling rangkul dengan tangan yang lain, menjadi pagar diratusan kilometer jalan.

Komunitas ini, memang harus dipagari oleh merah dan putih. Juga dengan keharuan dan semangat. Agar komunitas yang bernama Indonesaia ini tetap satu semangat. Bung Karno pun pernah dengan gemetar menyatakan demikian. Indonesia adalah satu kesatuan semangat, dari sabang sampai merauke. Lebih dari semangat kami, anak-anak SD yang dengan haru mengikuti setiap agustusan, waktu itu.[]

[020808]

Tentang Aturan

Ryan Sugiarto


Sepanjang hari ini (02/08), nampak jelas paradoks dari sebuah aturan. Dan perkataan, Konon “aturan itu ada untuk dilanggar” nampak jelas. Atuaran, siap lagi kalau bukan pihak berwenang yang juga pejabat-pejabat itu. Akhirnya mereka juga yang melanggarnya bukan? “sepagi dan sesiang ini iring-iringan pejabat melintasi jalan-jalan kota. Al hasil setiap jalan ditutup, dan praktis terjadi kemacetan dimana-mana.

Olok-olok lama, lagu joshua terulang lagi. “Macet lagi-macet lagi. Gara-gara Si Komo lewat”, beitu lagu anak-anak ini dulu kita kenal. Ini bukan lagi Si Komo yang lewat. Bahkan lebih dari itu. Hingga lampu hijau, dimerahkan.

Inilah yang saya sebut sebagai paradok. Ada untuk dilanggar. Sang prajurit hukum di negeri inipun juga tak berani pada hal-hal kecil. Seperti pake hel tidak pengendarannya? Motor dibelakang ada stikernya tidak? Kalo ada ditilang saja. Dan yang kecil-kecil saja. Sementara, ya siapa beranidari mereka menghadang para pejabat yang membuat lampu merah menjadi lampu hijau begitu saja.

Tetapi barangkali memang begitulah, hukum hanya untuk dipatuhui orang-orang biasa saja. Rombongan bejabat bebas dari aturannya.

Ini bukan pesimisme tentang aturan dan juga hukum di negeri ini. Hanya realita menunjukkan yang demikian. Wacana kita memang sudah jauh melambung pada, upaya penegakan hukum. Tetapi pada level yang sangat dasar tak a da wacana yang menggaungkan mereka.

Memang selalu ada dua wacana yang prioritas pendahuluan di dunia ini. “hajar yang besar dulu, baru yang dasar ikut tunduk”. Untuk contoh ini, dalam perang misalnya matikan pimpinan dulu, prajurit akan tunduk. Kedua, “mulailah dari yang kecil”. Berbagaii kutbah selalu menyerukan ini.

Tetapi, selalu dalam pelaksanaan tiap wacana yang mendasar tak selalu bisa mendamaikan keduannya.[]

[020808}

Tamsil Perjalanan

Ryan Sugaiarto

Lagi tentang Perjalanan. Sejatinya kehidupan ini adalah juga sebuah perjalanan. Ia seperti halnya sebuah kematian. Hidup, juga mati, juga saat kita sebelum hidup, adalah perjalanan dengan jenis jalan yang berbeda

Perjalanan memang adalah diskursus yang tak habis dalam tamsi-tamsil. Dalam jawa kita mengenal “sejatine urip iku mung mampir ngombe” hidup didunia hanya serasa singgah untuk menghapus dahaga, terbayang perjalanan yang begitu jauh. Alam kandung dengan begitu juga adalah jalan dimana setiap pejalan melewatinya. Dan demikian juga mati, hanya jalan. Tujuannya masih jauh. Tuhan, entah jalan apalagi yang akan digunakan para pejalan untuk sampai padaNya.

Pada tiap-tiap persinggahan, para pejalan, bisa membuat, mencari, membeli, bahkan merampok bekal yang akan digunakan pada jalan berikutnya. Maka ada yang berbekal sedikit, ada yang berbekal banyak. Tergantung bekal apa yang akan mereka gunakan untuk meneguk obat dahaga dalam perjalanan, sebelum singgah dijalan lainnya.

Ahh. Memang demikian sebuah tamsil-tamsil. Didunia ini kita juga sedang berjalan, mengitari surga dunia. Memburu kenikmatan dunia, untuk juga meraup kenikmatan akhir yang tak berbatas.
Setiap fase menghasilkan tamsil.[]
[300708]

Perjalanan Spiritual

Ryan Sugiarto

Hari ini(30/07) kita memperingati hari perjalanan Sang Nabi Muhamad. Perjalanan horisontal dari masjidil Haram Palestina ke masjidil Aqsa yerusalem. Juga Perjalanan Vertikaldari masjidl Aqsa ke Sidratul Muntaha. Sebuah kemukjizatan yang tak seorangpun Selain Muhammad, pembawa wahyu, diberikan Tuhan kepadanya.

Dalam perjalanan Miraj,itu sang Rosul juga dipertayangkan sinema-sinema umatnya disisi kanan dan kirinya tentang perbuatan umatnya dan apa yang akan mereka dapati dihari akhirnya nanti. Dan perjalanan ini adalah perjalanan kenabian, perjalanan spiritual paling tinggi yang pernah ada dalam sejarah agama-agama. Perjalanan menembus langit dan sampai pada Sidrotul Muntaha, Arsy, tempat Tuhan berada. Muhamad diperintahkan langsung oleh Allah tentang sembahnyang lima waktu. Dan Kemudian inilah yang menjadi dasar bagi agama wahyu ini. (adakah Muhammad bertatap badan dengan Tuhan waktu itu?)

Keagungan apa lagi yang ditunjukkan Allah, yang memperjalankan hamba tercintanya, hanya dalam semalam?hanya dengan kecepatan Bourok Tuhan, Muhamad diperjalankan dengan dampingan jibril, malaikat paling populer dalam Al-Huda.

Ada perjalan spiritual lain yang kita kenal. Perjalanan seorang biksu mencari kitab suci. Adalah Biksu Tong, dan keempat muridnya, berjalan kebarat mencari kitab suci.Ssepanjang perjalannya, Biksu Tong selalu diganggu oleh siluman, dipertontonkan gambaran kekejaman siluman. SunGo kong, seekor kera yang lahir dari batu, sekaligus murid paling anyar Tong, mengawal perjalann mencari kitab Suci dan bertemu sang Budha. Mereka “hanya berjalan”, dan sampai sekarang kita, atau tepatnya saya, belum tahu bagaimana hasil dari perjalanan mencari kitab suci ini, hingga mereka kembali ketimur dan mengajarkan kitab Budha.

Begitulah perjalanan-perjalanan agung, perjalanan spiritualits yang maha tinggi yang dipertontonkan agama wahyu. Perjalanan vertikal yang diawali perjalan horisontal. Perjalanan hanya untuk menyelamatkan manusia dari “jaman yang gelap”. Dan jika kita seksama, adalah perjalan yang dimulai dengan kesendirian, kesenyapan, keheningan. Yang pada dasarnya agama berasal dari hening, dan bermuara kepada Yang Maha Hening. Bukan pada demonstrasi keimanan. Perjalan spiritual ini menghentak saya, betapa ia sungguh menggetarkan.

Adakah kita memiliki fase Perjalann horisontal dan vertikan dalam urusan spiritualitas? Semuan memilikinya, meski dengan fase dan kedasyatan yang berbeda, meski tanpa kemukjizatan. Dan setiap perjalan kita sejatinya adalah perjalanan-perjalanan sepiritual, hanya jika kita menyadari. Tuhan dalam ajaran muslim, Orang afika menyebutnya agama arab, memberikan dua surga kepada manusia. Surga Dunia dan juga Surga maha akhir yang tak berbatas. Dan, dan yang Maha Indah menitahkan kepada kita untuk merekngkuh keduanya. “bekerjalah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya. Dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari”.

Tepat hari ini juga, teman-teman saya seangkatan dulu yang kini berjuang di Ibukota dan sekitarnya mengajak untuk berjalan dan berkumpul di TMII, maket kebudayaan dan keanekaragaman Indonesia. Mempertemukan kenangan untuk bertemu meski dengan tempat baru. Itu juga perjalan, meski bukan pada keheningan, bukan berawal dari titah. Tapi bukan karena itu saya tak beranjak dari rumah dan ikut bersama mereka.

Seperti halnya hari ini, saya yakin berbondong manusia pergi ketempat yang ramai. Karena kalender membolehkan hari ini tidak bekerja.alias libur. Dan orang-orang merayakan setiap perjalanan mereka bersama-sama, dengan keramaian.

Salam dan sholawat padamu ya Rosul:
Sholatullah salamullah ala Thoha Rosulillah/Sholatullah salamullah ala Yaasin habibbillah/tawasalna bibismillah/ wa bil hadi Rosulillah/ Wakullimujahidilillah/ bi ahlilbadri ya Allah.
[300708]

Pemimpin

Ryan Sugiarto

Inilah saat dimana semua orang mulai mengaku-ngaku seorang pemimpin. Atau paling tidak akan mengaku-ngaku memiliki karaktersitik kepemimpinan. Sah-sah saja, memang, melakukan yang seperti itu.

Lalu berbagai cara dilakukan untuk menyatakan kesiapan untuk memimpin. Dengan Iklan yang memakan berjuta-juta rupiah sebagai model “ini lho saya”. Lalu ada yang berupaya mempertentangkan golongan tua dan golongan muda. Tujuannya tak lain untuk memperebutkan hati rakyat dalam sisitem pemilihan yang tentu saja sebuah cara menemukan, atau mengangkat sang pemimpin.

Pemimpin memang tak selalu, harus, hadir dari situasi yang bergelora. Ia bisa saja hadir dari waktu yang tenang-tenang saja. Suatu bentuk yang tertangkap calam citra. Itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap siap untuk memimpin. Hanya saya, Sukardi rinakit, yang mengutip ucapan frangki Sahilatua menulisnya “tanah punya mau”, seberapa banyak iklan berjor-joran ditelevisi koran, Atau juga spandung dan poster, yang kian merusah jarak pandang tetapi tanah punya mau. Dan dalam bahasanya sendiri sukardi rinakit, mengingatkan “Gusti ora sare”

Dalam sebuah sajaknya cak nun, mengungkap tantang bagaimana pemimpin itu. “kau bukanlah kepala bagi kami, kau adalah kaki yang diberikan Tuhan untuk menjaga keindahan negeri ini. Agar tidak sempoyongan. Kau hanyalah penerus kami, kamilah yang berkuasa atas kamu.” Kurang lebih demikian.

Mao seorang pemipimn besar Cina, Seorang pemimpin itu seperti danau, dia tak lsak seperti sungai di gunung, Ia tak berada di pucuk yang tinggi, tetapi menangpung. Dia tahu bahawa supernya adalah air yang bersumber dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula yang dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan.[]

[300708]

Hidup Sebagai Kenetralan

Ryan Sugiarto

Duka derita duka laraku didnunia/Tidak lah aku sesali juga takan aku tangisi/Sesakit apapun yang kurasakan dalam hidupku/Semoga tak membuatku kehilangan jernih jiwaku/Andaikan dunia mengusir aku dari buminya/Tak akan aku merintih/Juga tak akan aku mengemis/Ketidak adilan yang ditimpakan oleh manusia buklan alasan bagiku untuk membalasnya/Asalkan karena itu tuhan menjadi sayang padaku/Segala kehendakknya menjadi cinta bagi jiwanya/Bukanlah apa kata manusia yang aku ikuti/Tetapi pandangan Allah tuhanku yang kutakuti/Agar tiadaku semata-mata miliknya jua/Agar tiadaku semata-mata miliknya jua

Sebuah kepasrahan yang total keadilan Tuhan, dan sebuah kepasrahan yang sejatinya hanya mereka yang merengkuh dengan sungguh. Sebagai prasarat dari sayang dan cinta Tuhan kepada tuhannya. Kira-kira begitu lirik Sayang Padaku, gubahan Emha Ainun Najib, yang disenandungkan Novia Kolopaking dan diiringi Kiai Kanjeng.

Lirik yang brangkali bagi sebagian kita yang malam itu merenungkan dan menikmati secara langsung dalam setiap kendurinya, dalam etiap lesehan padangmbulannya,
Mnerima kenetralan sbagai jalan hidup. Menganggap netral saja apa yang terjadi pada kita. Apa yang disesalkan selain pandangan miring dari Tuhan? Apa kata mereka, apakah akan dihiraukan?

Sebagaimana sebuah kecacatan, bukankah ia bagian dari lara dan juga derita. Lalu apakah ia juga kehilangan jernih jiwa. Tuhan Kadang, dalam pikirannku, seciptakan segala sesuatu secara substitusi, tak sekadar komplementer. Begitulah riwayat setiap peniptaan. Dan keyakinan lbatiniah, dan emotion kadang turut menggantikan kecacatan fisik.

Anggaplah begitu setiap penciptaan, dan sikapilah dengan kenetralan. Karena setiap hidup hanyalah konstruksi bahasa sosial. Jika tak kita anggap serius dalam pikiran, toh kita tak akan mengalami kesakitan. Psikologi menyebutnya sebagai kekuatan pikiran semata. Jika anda berkikir bisa melakukan, maka anda bisa melakukan. “If there si a will, there is a way” begitu kata Mallarangeng dalam salah satu kampanyenya. []
[300708]

Air yang Menyatukan

Ryan Sugiarto


Ada hal menarik tentang air di tanah sengketa. Yaitu persahabatan menjaga air. Di tiga Negara, Israel, Paletina, dan Yordania, sdang dalam upaya bagaimana mempertahankan unsur penting bagi kehidupan ini. Ya, Air bersih.

Adalah sahabat bumi, salah satu komunitas remaja ketiga Negara sdang berusaha menjaga keimbangan air untuk ketiga Negara ini. Demikian, tayangan tentang green word, di Metro TV.

Dalam hal ini bukan agama yang menyatukan mereka. Kita tahu perang atas nama agama sampai saat ini masih saja berlangsung antara Israel dan paletina. Perebutan tanah suci. Di Israel ada tembok ratapan, tanah maha suci orang yahudi di manapun, di Palestina Masjid Muharom, masjid suci umat muslim,dan di Yordania ada gereja agung. Letahnya tak berjauhan.

Tetapi airlah yang menyatukan pandangan mereka tentang kehidupan. “kelangsungan hidup kami tergantung pada air. Inilah yang mempersatukan kami dalam sahabat bumi,” ungkap ketua sahabat bumi dalam tayangan itu.

Sungguh suatu hal yang sedrhana, keinginan yang disatukan oleh air. Air kehidupan. Karena tanpa menjaga iaru ini mereka jauh lebih sudah unrtuk mempetahankan kehidpan. Perdamaian dalam air jauh lebih terasa didalamnya. Kepentingan dalam air juga lebih terasa, sama-sama untuk menjaga kehidupan bersama. Tentu disaat Negara-negara sedang mengguncang berbagai minyak, dan hasil hutan. Musuhnya dengan demikian hanya, satu: para perusah hutan untuk kepentingan komersiil. Yang menghilangkan keanekaragana hayati. Yang pada akhirnya menghilangkan kualitas air yang menjadi bagian penting dalam kehidupan.[]

[280708}