Ryan Sugiarto
Tiga kejut kita terima dari keadaan hukum dan keadilan negeri ini. Pertama, kasus pemerkaraan ketua non aktif, Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, yang di jerat dengan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan. Kedua, rekaman hasil sadapan KPk terhadap anggodo yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi. Ketiga, pengakuan atau kesaksian mantan kapolres Wliiardi WIzar tentang kasus pembunuhan yang menerdakwakan Antasari, mantakn ketua KPK yang menyatakan bahwa antasari adalah target dari operasi kepolisian.
Apa artinya ini? Logika awam saya mengatakan, bahwa kriminalisasi KPK benar-benar ada dan sedang berlangsung. Kriminalisasi ini melibatkan pelaku utama adalah oknum polri. Dan tentu ada kekuatan besar yang berada dibelakang polri. Kenapa? Rangkaian kasus yang terbeber dalam media ini saya kira bentuk dari kekuatan besar yang tengah berusaha melemahkan kekuatan pemberantasan korupsi.
Saya kira terlalu kecil untuk melihat bahwa perseteruan, antara Polisi + kejaksaan Vs KPK, judul terkenalnya Cicak Vs Buaya, karena keirian kewenangan dua lembaga ini. Keirian tentang keberhasilan kerja KPK. Tetapi, bukan tidak mungkin, ada kekuatan besar yang mendesain kondisi semacam ini. Bahwa oknum polri, menjadi bagian utama dari pelemahan pemberantasan korupsi yang ada di tubuh KPK sudah telanjang didepan mata publik.
Lalu bagaimana runtutan kejadianya? Pertama tentu dengan menghantam ketua pimpinan KPK. Oknum polri terlebih dahulu mengahntam Antasari Azhar, ketua KPK, dengan kasus pembunuhan. Kasus ini jauh dari gegap geimpita perhatian rakyat karena memang semula dianggap sebagai urusan atau pidana pribadi. Apalagi dibumbui dengan kisah cinta. Lalu berhasilah Antasari di penjara, dengan status terdakwa. Berkuranglah kekuatan KPK. Sebagaimana kita tahu, paling tidak, Antasari pada masa kejayaannya adalah sosok yang mengerikan bagi para koruptor dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Selanjutnya, empat orang tentu masih terlalu kuat. Lalu di buatlah cara bagaimana menjerat langsung pimpinan lainnya. Bibit S. Riyatnto dan candra M hamzah, mendapat ilirannya, dijerat dengan kasus awal penyalahgunaan wewenangan. Inilah yang kemudian membuat gembar rasa keadilan publik kita. Keduanya di tersangkakan oleh polisi karena cara kerja mereka yang sudah dilakukan semenjak KPK ada, menyalahi wewenang. Polisi terkesan mencari-cari bukti dan mengada-adakannya, agar keduanya bisa di pidanakan.
Perlu diingat bahwa candra dan bibit, sedang menangani kasus century yang melibatkan inti kekuasaan negara, termasuk oknum yang bercokol polri. Karena itu mereka berdua perlu disingkirkan dari kedudukannya. Yakni dengan jalan, minimal, menjadikan keduanya sebagai terdakwa. KPK pun dianggap limbung oleh bagian politik hingga presiden merasa perlu mengeluarkan perpu tentang pengangkatan pejabat sementara.
Namun keduanya tidak menerima dengan status tersangaka, karena mereka bekerja sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Maka mereka mengajukan uji materi UU KPK 30/2002 bahwa pasal tersebut bisa dijatuhkan pekada pimpinan KPK, siapapun, oleh sebuah rekayasa. MK meminta bukti . Lalu diperdengarkalah rekaman penyadapan KPK terhadap anggodo.
Pemutaran rekaman inilah kejut berikutnya. Seluruh rakyat indonesai dibuat tercengang, prihatin , dan mengutuk pejabat-pejabta busuk, sekaligus malu menjadi warga bangsa yang ditipu oleh pejabatnya sendiri. Rekaman menggambarkan dengan jelas mafia peradilan yang selama ini hanya selentingan semata. semakin menyayat public bahwa polisi tidak menindaklajuti rekaman tersebut. Bahkan membela diri dari keinginan rakyat, dengan alasan menjalankan hokum mormatifnya. Dalam rekaman lagi-lagi, ada oknum kepolisian dan kejaksaan yang tersangkut dalam mafia hukum, merekayasa. Tentu initamparankeras bagi wajah penegak hukun negeri ini. Meskipun begitu mereka tidak malu untuk tetap mendekap jabatannya. Apalagi anggota komisi III memihak apa yang dlakukan Polisi.
Inilah yang semakin membuat public perlu mengutarakan kegelisahannya ke jalan-jalan. Mengutarakan kekecewaannya dalam media onlie, membuat parlemen online. Menggunakan parlemen jalanan dan parlemen online, karena parlemen yang dipilih atas nama rakyat, yang menikmati dana rakyat, mbalelo dari suara dan keinginan rakyatnya.
Lembaga Rekayasa
Kita menyaksikan, dalam panggung hukum negeri ini, betapa mudah sebuah kejadian bisa direkayasa. Kasus Bibit dan candra, selama ini adalah rekayasa yang dilakukan oleh oknum polri untuk melemmahkan KPK. Reaman Anggodo yang di putar di MK itu adalah bukti nyata bagaimana oknum penegak hokum berkolaborasi dengan penguasaha, koruptor. Lalu kita juga disuguhi oleh pengakuan Williardi Wizar, yang menyatakan bahwa kasus Antasari adalah hasil dari pengkondisian petinggi polri, pimpinan polri.
Kita patut prihatin sedalam-dalamnya dengan adanya petunjuk perekayasaan terhadap pimpinan-pimpinan KPK ini. Dan oknum-oknum polisi itu telah menggunakan lembaga keloplisian yang terhormat ini menjadi lembaga rekayasa kasus. Bahkan terhadap lembaga yang ditugasi memberantas korupsi.
Rekaman di MK dan kesaksian williardi di pengadilan, adalah gambaran bagaimana kode etik kepolisian sudah diinjak-injak oleh aparaturnya sendiri. Menekan, membujuk, dan mengiming-imingi keringan adala modus yang dilakukan, selain tentu saja uang.
Jika lembaga penegak hokum seperti ini, perteterusnya lalu kemana warga negara mengadu tentang hukum dan keadilan, jika yang mengisi lembaga penegak hukum dan keadilan justru banyak oknum yang bisa membolak-balikkan rasa keadilan, dan aturanya sendiri. Yang memperdagangkan hokum dilembaganya. Jawabanya saya kira hanya satu, lakukan reformasi total.