Ryan Sugiarto
Ditengah kasak kusuk soal video porno yang melibatkan aktor mirip luna-ariel-dan cut tari, sayup-sayup kasus dana 15 miliar untuk anggota dewan, semakin terkuaknya kehebatan mantan pegawai pajak gayus tambunan, juga kenaikan tarif dasar listrik, kita konsumen berita, masih juga disuguhi oleh tewasnya warga pengguna tabung gas. Korban nyawa terus berjatuhan akibat ledakan tabung gas. Hilangnya nyawa manusia sebagai korban ledakan tabung gas buka sekali saja, tetapi sudah terjadi sejak konversi dari minyak ke gas yang tak sepenuhnya mulus.
Harus berapa lagi terjadi, jatuh korban tewas oleh sebab kualitas tabung gas yang tidak aman. Sebagai pengingat, pada 17 April lalu terjadi ledakan gas di kelurahan harapan mulya, kecamatan kemayoran, jakarta pusat dari 10 orang yang mengalami luka bakar 5 diantaranya meninggal (kompas.com, 19/4); 27 Mei kita membaca terjadi ledakan tabung gas di Apartemen riverside Pluit (detik.com, 27/5).; 4 juni, sebuah kantin SD margamulya, bekasi utara hancur (republika Online, 4/6); dan dua orang tewas saat terjadi ledakan tabung gas pada 18 juni di cilandak (kompas, 19/6). Setelah itu masih banyak lagi.
Kejadian bersambung kejadian seperti ini negara tetap saja mengelak dan tidak menjadi perhatian serius. Berapa orang lagi yang akan mengalami peristiwa serupa? Sebab beredar berita 10 juta tabung gas palsu beredar dimasyarakat (poskota, 7/1). Kalau keluaran resmi negara saja bisa menyebabkan ledakan semacam itu, bagaimana jadinya dengan tabung palsu. Jika yang seperti ini tidak mendapat perhatian saya kira kecemasan akan melanda masyarakat pengguna. Ujungnya adalah rasa takut. . Pengguna yang menangung rasa was-was dan ketakutan akan bisa meledaknya tabung gas milik penerintah itu.
Lalu apa bedanya dengan teroris. Jika teroris, mengatasnamakan agama dan keyakinanya, melakukan aksinya dengan bom, negara entah mengatasnamakan apa telah melakukannya dengan tabung gas. Keduanya sama-sama menebarkan rasa takut dan kekerasan. Bahkan ancaman kehilangan nyawa. Laku negara semacam ini lebih halus dan kejam dari cara kerja teroris. Sebab diwaktu lain negara menampakkan wajah seperti sinterklas yang membagi-bagikan uang kepada rakyatnya.
Dengan lebih sangar Nietzche mengatakan negara adalah monster yang terdingin hatinya dibandingkan semua monster. Ia kisahkan itu dalam Also Sparch Zarathustra. Dan saat ini kisahnya seakan tergambar di negeri ini. Bagaimana tidak , dengan alasan uang gas dijual murah keluar negeri, sedang dalam negri gas untuk kepentingan rakyatnya dijual mahal dan selalu naik. Juga tabung gas dengan kualitas yang siap meledak dan ada saja memakan korban. Negara macam apa ini yang harga nyawa manusiannya setara dengan harga tabung gas senilai 3 kg hingga 12 kg? begitulah ancaman dari pihak penyelenggara negara itu sendiri. Memang menjadi kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya bebas dari rasa takut dan menjamin kesejahteraannya. Tetapi arah itu akan menyimpang jika negara itu digerakkan oleh nyamuk penghisap hidup rakyat, sebab di tangannya ada kekuasaan yang membuatnya bebas untuk berbuat apa saja. Ia tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang akan merugikan rakyat demi keamanan diri dan kelompoknya.
Bukankah negara semestinya, meminjam istilah Hegel, menjadi si penjaga kepentingan dan kebaikan bersama? Bukankah menjadi tugas dan kewajiban negara menyediaka rasa aman warga negaranya. Menjauhkan rakyat dari rasa takut dan was-was menjalani kehidupan kesehariannya? Lalu dimana tugas yang satu ini diemban negara? Kenyamanan dan beraktivitas serta terjaminnya kebebasan dari rasa takut merupakan suatu parameter meningkatnya ambang keberadaban tatanan hidup bersama suatu masyarakat.
Negara memiliki kekuatan efektif dalam mengelola dan menata kehidupan warganya.
Atas dasar pemahaman seperti itulah maka “negara wajib melindungi warganya, bukan saja dari praktek kejahatan oleh masyarakat lain, tetapi juga dari praktek kekuasaannya sendiri yang cenderung melanggar hak-hak warga”.
130510