Kamis, 19 Februari 2009

Wakil Politik

Ryan Sugiarto

Tidak ada, selain waktu menginginkan suara gambar para politisi dan partai dengan sengaja menempel pada gerobak sampah para pemungut. Tak ada selain maasa kampannya, wajah paras orang-orang kaya dan gede menempel pada pagar bamboo yang hamper roboh di sudut-sudut desa. Juga, tak ada selain waktu menjelang pemilu, manusia-manusia yang ingin menjadi wakil menyambangi barak-brak kumuh, sudut-sudut rawan penyakit.

Sekali lagi itu semuanya hanya pada masa ketika suara satu orang saja dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi wakit. Bukan menjadi orang mewakilkan. Bukankah orang yang mewakilkan seharusnnya menjadi nomor satu? Dan wakil menjadi orang nomor dua setelah yang mewakilkna? Tetapi memang menjadi wakil dalam bidang politik ini sebih terhormat, dimata mereka, ketimbang orang nomor satu itu sendiri.

Tapi memang begitulah cara kerja politik. Yang menjadi wakil malah lebih berkuasidari yang mewakilkan. Lebih enak dari yang member perwakilan, menjadi lebih mentereng dari yang sebenarnnya tak minta diwakili. Tapi toh wakil dalam politik lebih segela-galannya dari pada rakyat sendiri.

Nah, setelah mereka benar-benar dipilih oleh rakyat untuk mewakilinnya, sangat kecil kemungkinan mereka mengerti tentang apa yang seharusnnya diwakilkan. Siapa yang mewakilkannya, dan untuk apa sesungguhnya mereka menjadi wakil.

Lalu, mereka tak akan sudi mejenguk para pemungut sampah yang dahulu digerobannya wajah penccari posisi wakil ini menempel dan berkibar. Mereka tak akan menyambangi, sudut-sudut dimana bendera dan paras wajah menempel dip agar-pagar bambudi sudut desa.

[270109]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar