Selasa, 07 April 2009

Pertanyaan- Pertanyan Seputar Pascakolonialisme

Ryan Sugiarto


Saya teringat apa yang disampaikan oleh kawan Ignas Cleruk, mahasiwa filsafat UGM, waktu itu, dalam sebuah diskusi Komunitas Kembang Merak. Tema waktu itu adalah Tembang Jawa: Soal Citra Rasa Bahasa. Ignas melontarkan,”kalau begitu apakah ini postkolonial? Apakah tidak post kerajaan? Post istana?”

Ungkapan ini juga mengusik diskusi lebih hangat tentang apa sebenarnya yang menjadi wilayah pembahasan dari kajian pascakolonial, dengan bahasa yang kurang lebih sama “setelah kolonial”, “setelah penjajahan”. Tidakkah kajian itu, dengan demikian, adalah kajian yang menggerakkan postkolonialis untuk menekuni eksotika bagaimana sesuatu sebelum sebuah penjajahan? Atau menilik seberapa murni sebuah kebudayaan, pemikiran? Atau bagaimana kajian kebudayaan setelah bercampur, tersusupi, bergumul dengan kebudayan barat? Bagai mana yang asli, yang bercampur, dan yang asing itu, dan berbagai perpaduan yang dihasilkannya?

Bisa jadi ini, pascakolonialisme adalah juga semacam gugatan atas terpinggirkannya, kajian tradisional. Khas ketimuran. Menggugat kajian-kajian yang barat sentris. Barat di sini memang kemudian diistilahkan atau disamasebangunkan dengan kolonial.

Lalu apa sejatinya dengan kajian pascakolonial? Dan dengan apa kita membatasi pemaknaannya? Dan bahkan apakah kajian pascakolonial, setelah penjajahan (barangkali dalam bahasa kita, harus dengan, sebaliknya, mengulik tentang sejarah perkembangan kajian dan peristiwa masa lampau, jauh sebelum kolonial itu, atau ketika kolonialisme berlangsung. Lalu bagaimana pascakolonial, benar-benar kajian baru yang lepas sama sekali dengan ilmu modernrasionalis yang didengang-dengungkan barat yang notabenennya (dulu) adalah penjajah)?

Apakah para pascakolonialis mendekami sejengkal demi sejengkal masa lampaunya? Dengan tujuan menyuarakan kembali apa yang telah terampas oleh doktin modernisme yang dibawa oleh barat. Dan Timur ini membangkitkan kembali romantismenya tentang masa lalu itu? Dan kalau tujuannya adalah memberi suara pada yang tidak bersuara, demikian kata Spivak, menengahkan yang terpinggirkan, “menggaulkan” yang “kuper”, dimanakah tepatnya posisi pascakolonial ini? Karena dengan pemahaman yang demikian toh makna kolonialisme masih terkekang pada bineritas atau lebih. Kecil dan besar, bersuara dan tidak bersuara, pinggir dan tengah, menguasai dan dikuasai.

Lalu bagaimana kita melihat pascakolonialisme ini? Apakah melihat seperti cara orang-orang barat, turis, melancong ke sudut-sudut desa, adat di timur, dan berkata “beautifully, eksotic, ammazing” ? Atau dengan kaca mata timur terdidik, yang mengagumi kemajuan jaman, sembari meratapi kondisi sosialnya, lingkungannya, tak sanggup menjangkau yang jauh itu? Bagaimana?

Meskipun sebenarnya dalam kehidupan social yang kita alami, tak sepenuhnya satu lawan satu (bineritas), melainkan segalannya saling berhadapan. Hemat saya inilah sesungguhnya yang ingin dilihat lebih subtil dari kajian pascamodern. Semuanya menyengaja untuk unjuk dan bersaing mengemuka. Yang lama ingin tampil, yang baru (modern) ingin mengedepan, dan bahkan perpaduan lama dan modern juga mengemuka. Begitulah pascakolonial melihat semua kejiadian. Meminjam istilah spivak, memberi kesempatan kepada yang redup untuk bersinar, kepada “yang lain” untuk ada, seluas-luasnnya.

Pada titik ini maka Pascakolonial sebangun dengan posmodernisme yang dilahirkan oleh orang-orang barat itu. Pascakolonialisme, adalah kajian yang lahir dari “anak pribumi”, anak koloni. Yang jengah dengan segala macam dominasi pikiran barat, terutama tentang modernisme. Lalu dengan itu, ia memberi suara kepada dunia tentang keadaannya. Mungkin seraya merintih –“tolong”-, seraya berteriak, “ini aku ada”.

Dan posmodernisme, adalah pemikiran barat yang juga jengah dengan hasil-hasil modernisme. Posmodernisme kembali melirik sesuatu yang diluar modernisme: mistisisme, tradisi, dan kearifan lokal yang menurut anggapan modernime diangap kolot dan ketinggalan jaman. Barangkali juga oarang-orang barat yang tertarik dengan tradisi timur yang belum pernah ia temui sebelumnya dalam masa hidupnya di barat. Mereka serius mengkaji sesuatu yang dianggap “baru” dalam khasanah barat. Saya pikir itu pulalah yang diteriakkan oleh Ayu Utami, dalam Bilangan Fu.

Saya pikir epistemologis yang mendasari kajian ini, dalam hemas saja, masih sebatas pada sentiment kepentingan ilmu. Kuasa ilmu. Artinya, dalam anggapan kita sehari-hari, maupun dunia akadenis-ilmiah pada khususnya, ilmu pengetahuan sering diklaim (mengkalaim) dirinya sebagai pengetahuan (baca: episteme) yang obyektif dan netral. Anggapan ini mendasarkan dirinya pada pemahaman bahwa ilmu pengetahuan—yang selanjutnya akan disebut ilmu—akan mencapai derajat kebenaranya tertinggi jika tidak ada hubungan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui. Obyek yang diketahui/dipelajari akan ditangkap secara benar dan obyektif bila tidak melibatkan unsur-unsur subyektif manusia. Obyek diibaratkan sebagai sesuatu yang ‘diluar sana’ dan menunggu subyek untuk diketahui. (sekali lagi ini adalah definisi yang digunakan dalam kajian modernis). Harus dibuktikan dan terukur.

Tetapi tentu kajian ini menjadi menarik sebagai salah satu pengetahuan yang lahir dari Negara-negara dunia ke tiga. Benar-benar memberi suara pada dunia ketiga yang bahkan tak bersuara soal sudut pandang ilmu. Seperti yang disitir oleh Ariel harainto, jarang sekali akademisi, intelektual, pemikir dari asia, terutama asia tenggara, yang mendapat kesempatan untuk urun rembug dalam perkembangan dunia keilmuan di jagat ini.

Di Timur, zaman-zaman tersebut yang digelar sebagai era “pembaratan”, analogus dengan fenomena pemodenan atau pembaharuan budaya, dilihat berlangsung dalam konteks apa yang disebut sebagai “Oriental Enlightenmenr atau di Timur Tengah ideologi pemodenan itu dikenali sebagai Nahda - secara literal bermaksud “kelahiran semula” atau “kebangktan semula”. Zaman tersebut dimanifestasikan oleh satu keinginan Timur untuk mencapai status yang sama dengan Barat. Kecenderungan ini telah mendorong kepada penyerapan yang canggih, bergaya pesat ideide dan budaya dari barat yang dan berwibawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar