*Berikut ini adalah tulisan-tulisan lama yang baru sempat di postingkan kali ini. Mari disantap*
Desember hari ketiga diperingati sebagai hari penyandang cacat internasional sejak di tetapkan PBB tahun 1992. Menurut PBB ditetapkan hari penyandang cacat agar masyarakat paham tentang persoalan-persoalan yang dialami penyandang cacat juga hak-haknya sebagai manusia.
Meskipun demikian sosialisasi hari penyandang cacat bukan soal mudah. Apalagi memberikan pengertian dan penyadaran terhadap keberadaan, kebutuhan, dan hak atas kesejahteraan penyandang cacat. Tidak saja pada level masyarakat, tetapi juga negara itu sendiri, legislatif, maupun eksekutif. Sejauh ini pandangan tentang penyandang cacat sendiri adalah pemahaman tentang ketidakmampuan dalam menjalankan hidup sebagaimana manusia lain yang tidak dikaruniai kecacatan. Pengetian bahwa penyandang cacat adalah sekelompok orang yang tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain, perlu selalu mendapatkan kasihan, adalah pandangan yang semakin memarjinalkan penyandang cacat dari kehidupan bersama sebagai bangsa. Tidak jarang keluarga sering menyembunyikan anggotanya yang cacat untuk menghindari rasa malu, sebab kecacatan dianggap sebagai “aib” bagi keluarga.
Itulah yang menyebabkan keadilan semakin terasa jauh dari para penyandang cacat. Ketidakadilan kadang-kadang muncul dari matrix presepsi yang diresapi terus menerus, direproduksi hingga menjadi kebenaran yang membatin. Persepsi terus menerus itulah yang selama ini dihidupi dalam alam sadar masyarakat mayoritas. Sehingga mayoritas pun bisa menjadi tidak adil. Saya kira postulat yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi relevan, “bersikaplah adil sejak dalam pikiran”.
Selama ini alam pikiran negara selalu menempatkan warga penyandang cacat sebagai kelompok nomor sekian yang hak-haknya sebagai warga negara bisa dikesampingkan. Negara lupa, atau pura-pura lupa bahwa semsetinya negara juga menjamin hajat hidup warganya tanpa membedakan cacat atau tidak cacat. Miskin atau kaya. Hanya dengan demikian negara bisa menjalankan amanat undang-undang dasar. Tetapi di negara ini bukan saja soal persepsi, alam pikiran, yang memarginalkan, tetapi peminggiran perlakuan itu terjadi di berbagai bidang: politik, hukum, ketenagakerjaan, budaya, tata kota yang tidak memberikan rasa adil bagi pennyandang cacat.
Di negeri ini, penyandang cacat, merupakan “kelompok minoritas” yang jumlahnya cukup signifikan. Tidak kurang dari 10 % orang difabel dari 250 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 25 juta orang. Jumlah ini lebih besar dari minorotas Tionghoa yang sebesar 6 %. Namun begitu, angka tentu saja tidak bermakna, sebab berapapun jumlahnya, mereka toh tetap bagian yang menjadi warga negara. Jumlah ini terus bertambah sebagai akibat bencana alam gempa bumi, tsunami, atau kecelakaan yang jumlahnya juga fantastis.
Hingga kini, jumlah sebesar itu, penyandang cacat tidak mendapat perhatian negara. Bahkan negara cenderung abai terhadap hak akan kesejahteraan warganya. Dalam undang-undang dasar jelas di sebutkan, seluruh warga negara behak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Sedemikian burukkah pelayanan negara, dalam hal ini pemangku pemerintahan terhadap warga penyandang cacat? Atau karena penyandang cacat sendiri yang tidak banyak bersuara untuk haknya. Membunyikan tuntutannya sekeras-kerasnya. Atau barangkali memang suara yang keluar dari penyandang cacat sendiri tidak cukup riuh untuk bersaing dengan tuntutan-tuntutan lain yang lebih besar gaungnya di dalam alam media. Bisa juga mereka telah menganggap negara sudah tidak mampu lagi menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan mereka sebagai warga negara, sehingga berlaku diam, dan hidup tanpa peran negara.
Sebagai negara yang bertanggung jawab sudah semestinya ada atau tidak adanya tuntutan dari warganya, negara wajib memenuhi hak-hak warga. Persoalan-persoalan yang riil di rasakan penyandang cacat paling sedikit ada bebrapa hal. Baik dalam sektor Pendidikan yang layak, pekerjaan, maupun fasliitas umum. Inilah sektir yang paling tidak acsesable bagi penyandang cacat.
Praktik diskriminatif negara dan penyelenggara pendidikan terhadap penyandang cacat, masih saja terjadi hingga era sekarang ini. Sekolah luar Bisa adalah salah satunya. Tidak jarang siswa penyandang cacat di tolak masuk sekolah umum, dan disarankan saja ke SLB. Kasus-kasus yang sering mencuat ke umum adalah diskriminasi calom mahasiswa saat mendaftar di sebuah universitas negeri.
Setelah pendidikan praktik diskriminatis juga terjadi di ranah pekerjaan. Dalam sebuah media Olnine, Wuri Handayani, Direktur D Care, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi bagi penyandang cacat, menyebutkan, berdasarkan data yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, 80 persen dari penyandang cacat tidak memiliki pekerjaan akibat perilaku diskriminatif dari perusahaan dan penyedia lapangan kerja. Ditambahkannya, 63 persen atau hampir sepuluh juta penyandang cacat yang tidak bekerja justru berada pada usia produktif alias angkatan kerja (Kompas.com, 10/01.
Sebenarnya negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, khususnya Pasal 14 menyatakan perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya satu orang atau 1 persen penyandang cacat dari jumlah karyawan. Tetapi nyatanya ini tidak pernah dilakukan, sebab sistem perekrutan yang diskriminatif. Lembaga eksekutif bahkan cenderung tidak menjalankan undang-undang ini. Tidak juga memberikan sangsi atas pelanggaran terhadap undang-undang ini. Terlebih pembuat undang-undang juga tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang yang telah mereka hasilkan. Jika sudah demikian, kita hidup tanpa negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar