*Masih tulisan lama yang baru bisa dihidangkan sekarang. mari dinikmati*
Pernyataan Presiden dalam Rapat Kabinet Terbatas, di Kantor Presiden (26/11) tentang sistem monarki yang bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi, terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY dari sisi komunikasi kepemimpinan tentu menarik untuk diperbincangkan.
Pernyataan presiden itu lalu mengundang reaksi berupa pertanyaan menggelitik bagi Sri Sultan Hamengku Buwono X. Baru kemudian, melahirkan reaksi besar dari rakyat Yogyakarta Hadiningrat. Polemik di media berlangsung berhari-hari. Baru Selasa, tanggal 30 November, juru bicara presiden Julian Adrin Pasha menyatakan ada kesalahpahaman para pihak yang mendengar pernyataan Presiden tentang Keistimeyaan Yogyakarta dan karenanya presiden akan memberikan penjelasan secara komprehensif (Kompas.com, 1/12).
Pernyataan presiden dan juru bicara ini mengundang sejumlah komentar di jejaring sosial Twitter. Misalnya, pemilik akun @tommyfawuy menulis tweetnya: “Di kompas,lewat jurubicara,pak beye mau jelasin kesalahpahaman pihak2 menanggapi pernytnnya ttg jogya. Jadi,lagi2 masyarakat yg salah? Duuh”. Ada lagi @budionodarsono menuliskan dalam tweetnya :“ Yang bener itu salah pernyataan apa salah paham sih”. Sementara @Gus_Sholah: “Atau paham yg salah?”. Berkait dengan pertanyaan itu pula pemilik akun @masbutet dalam twetnya menulis “Yg salah otak org se indonesia, tafsirnya kok bisa sama.”
Bahkan pernyataan jubir bahwa presiden akan memberikan penjelasan pada Kamis, 2 Desember, atau dua hari setelah pernyataan jubir, dikomentari dengan apik oleh @masbutet dengan tweetnya “Jadwal RI 1 hari ini latihan monolog, bsk mau pentas lakon "Opera Monarki" di panggung sidang kabinet”.
Barangkali memang Presiden butuh waktu untuk mempelajari dan merancang apa yang akan disampaikan agar penjelasannya memuaskan rakyat. Tentu rakyat Jogja dan Indonesia pada umumnya menunggu-nunggu apa yang akan disampaikan presiden. Tetapi kita punya pengalaman “menunggu” pernyataan dari presiden yang sama, yang terjadi justru mengecewakan. Masih lamat-lamat dalam ingatan kita betapa rakyat menunggu dan menginginkan pernyataan yang keras dari presiden terhadap malaysia atas insiden penangkapan dua pejabatat kementrian KKP oleh petugas Malaysia. Namun pernyataan presiden dihadapan para jendral dan tentara di markas besar TNI oleh banyak kalangan dinilai lembek dan mengecewakan.
Kita sering mendapati kejadian yang demikian. Parahnya lagi pihak yang disewa untuk juru bicara presiden juga gelagepan menjelaskan maksud presiden. Sang jurubicara cenderung copy paste atas pernyataan presiden dan tidak jarang menjadi juru bantah.
Bukan kali ini saja para penyelenggara menganggap rakyat salah paham dengan pernyataan-pernyataannya. Kegagapan berkomunikasi bukan saja dialami presiden, jurubicara presiden, atau para mentri. Kegegapan yang sama juga terjadi pada wakil rakyat. Ketua DPR Marzuki Alie berlaku sama. Ia melontarkan kata yang tidak simpatik terhadap korban stunami Mentawai. Ia sempat menulis opini di Kompas, saya kutip disini “…tetapi banyak pihak sepertinya tak paham dengan apa yang ada di hati dan pikiran Marzuki Alie” (Kompas, 4 November). Tulisan opini di kompas yang berjudul Mentawai adalah Indonesia ini untuk menanggapi, sebab justru tidak memberi penjelasan atau penerangan, tentang kritikan banyak pihak terhadap statemen marjuki bahwa bencana stunami itu adalah resiko bagi penduduk yang berada di daerah kepulauan. Pernyataan itu mendapat reaksi dan caci maki dimana-mana, karana dianggap tidak berempati.
Sungguh periode ini kita dihadapkan pada penguasa yang mengalami kesusahan berkomunikasi verbal maupun tulis dengan rakyatnya. Dan anehnya oleh sebab kegagapan berkomunikasi itu rakyat yang dipersalahkan, karena dianggap tidak memahami pernyataan yang disampaikan pemimpin. Atau tidak jarang kesalahan dilemparkan kepada media yang dianggap membesar-besarkan masalah.
Gaya komunikasi pemimpin negeri ini memang sungguh buruk. Bukankah aneh, jika rakyat yang diminta memahami apa yang disampaikan pemimpin? Sudah semestinya pemimpin yang memahami kemauan rakyatnya dan berkomunikasi dengan gaya yang bisa dipahami oleh rakyatnya. Bukankah idealisasi dari demokrasi adalah rakyat memilih pemimpin yang mengerti benar kemauan rakyatnya. Bukan sebaliknya rakyat diminta memilih pemimpin yang bisa memahami kemauan pemimpinnya jika sudah berkuasa. Atau jangan-jangan memang rakyat juga salah paham ketika memilih dalam pemilu dulu?
Saya ingat di ruang-ruang kelas dulu guru saya pernah berkata,”Jika hanya satu atau dua dari kalian ini tidak paham dengan apa yang kusampaikan, barangkali memang anak-anak itu yang goblok. Tapi jika seisi kelas tidak paham dengan apa yang kusampaikan, maka saya yang goblok”.
Para pemimpin bisa belajar dari pernyataan ini. Mereka musti belajar cara berkomunikasi yang mudah dipahami oleh rakyat dan memenuhi harapan rakyatnya. Sehingga mereka tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Pepatah lama ini masih berlaku, bahkan sampai kapanpun: “kata kamu, harimau kamu, mengerkah kepala kamu”. Mulutmu harimaumu. Pepatah itu mengajarkan kearifan agar kita berpandai-pandai mengucapkan sesuatu. Dalam konteks ini pemimpin yang selalu diperhatikan kata-katanya, mustinya berhati-hati dan mengambil sikap dan ucapan yang arif, apa lagi pada isu-isu yang sensitif terhadap hati rakyat.
Bayangkan bagaimana seorang jika seorang komandan perang dilapangan berbicara salah atau susah di pahami oleh pasukannya? Apakah tidak kalangkabut pasukan itu. Saya kira itupula yang terjadi dan dilakukan oleh presiden susilo bambang yudoyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar