“Tidak ada yang cacat kecuali mereka yang jahat,”
kata shakespeare
Dunia anak adalah dunia imajinasi. Dunia bermain,
dan kegembiraan. Dunia yang penuh warna, dengan bahasa yang berbeda dari bahasa
orang dewasa. Dunia anak adalah dunia yang diselimuti banyak pertanyaan
filosofis, yang justru tidak mereka sadari. Oleh karena itu, tidak salah jika Novelis
kaliber Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie, mengatakan anak-anak adalah filsuf.
Anak-anak
selalu melemparkan pertanyaan yang berawal dari rasa terpukau terhadap dunia
dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir.
Bahkan bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa
berpikir. “Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga
rasa penasaran itu” kata Gaarder.
Tetapi sayang,
tidak semua orang dewasa memahami anak
dengan cara pandang seperti Gaarder memaknai anak-anak. Orang dewasa,
dan orang tua pada umumnya, melihat anak adalah miliknya. Sebagai objek yang
dengan mudah dibentuk menjadi apa, sesuai kemauan orang dewasa (orang tua). Orang
dewasa seolah tahu segalanya, dan merasa paling tahu
kebutuhan anaknya. Maka
tidak jarang orang tua mendidik, menyekolahkan, dan memperlakukan anak
sebagaimana keinginannya, agar anak kelak menjadi apa yang dicita-citakan orang
tuanya.
Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Disemua
lini hidup anak. Di layar televisi, mereka dibuat menyanyi seperti para biduan
komersial bernyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti
para pecundang dewasa bersaing. Model mereka bukan datang dari imajinasi
sendiri, tetapi mereka dibentuk. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di
tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti
menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.
Orang dewasa
selalu merasa benar ketika berhadapan dengan anak-anak. Maka yang terjadi
selalu komunikasi searah, anak tidak diberi kesempatan untuk keinginannya
sendiri. Dalam kebudayaan Asia, anak-anak di Asia tidak pernah didorong untuk
mengekspresikan pendapat atau berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
(ditingkat apa saja). Anak-anak secara umum dianggap sebagai harta orangtua,
orang yang harus dihormati dipatuhi. Secara
tradisional anak-anak harus menghormati dan mematuhi orangtuanya. Anak-anak
dianggap sebagai orang yang tidak berdaya dan tergantung pada orang dewasa.
Maka sungguh penting
memahami dunia anak sebagai dunia yang luarbiasa. Bukan sebagai dunia
ketergantungan kepada orang dewasa. Orang dewasa perlu memahami anak-anak
sebagai anak-anak. Bukan dengan pikran orang dewasa. Hal ini juga berlaku pula
pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sebab semua anak itu istimewa. Orang
dewasa, orang tua, dan guru hanya perlu berperan sebagai pencari bakat yang
hebat.
Untuk
menjadi penemu bakat yang hebat orang dewasa harus menggunakan bahasa anak. Bahasa
anak adalah bahasa kasih dan kelembutan. Bahasa kemengertian. Bukan bahasa
kekerasan, bentakan, atau olokan. Sebab bahasa pada mula-mula akan menunjukkan
bagaimana ia akan menjadi manusia dewasa. Dengan indah Dorothy Law Nolt,
seorang konselor keluarga yang sekaligus
penulis mengatakan:” Bila seorang anak hidup dengan kritik, ia akan
belajar menghukum. Bila seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan. Bila seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu. Bila
seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Bila seorang
anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Bila seorang anak hidup
dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan. Bila seorang anak hidup
dengan ketenteraman, ia belajar tentang iman. Bila seorang anak hidup dengan
dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri. Bila seorang anak hidup dengan
penerimaan dan persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia”.
Lewat itu
semua, Nolt sadar bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan bahasa yang digunakan
orang dewasa disekitarnya. Setiap anak mempunyai cara menunjukkan kelebihannya sendiri. Orang
dewasa sudah semestinya paham dan memahami bahasa anak, bukan sebaliknya anak
dituntut memahami bahasa orang dewasa. Dengan begitu potensi yang ada dalam
diri anak bisa dimunculkan. Sebab setiap anak melahirkan potensinya sendiri.
Sebuah
film dengan sangat apik menggambarkan betapa setiap anak, sekalipun
berkebutuhan khusus mempunyai potensi kekuatannya sendiri. Betapa komunkasi dan
kemengertian penting untuk mengenali dan menggali potensi. Taree zameen par, judul
film ini. Judul film arahan Amir Khan sekaligus menjadi kesimpulan penting dari
film ini. Karena setiap anak spesial. Berkisah tentang seorang anak bernama
Ishaan Nandkishore Awasthi, yang didiagnosa mengidap dyslexia saat berumur 9 tahun. Namun kondisinya tidak
pernah disadari oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. Ishaan pun berjuang
sendirian dalam kesendiriannya, ketakutannya, kegagalannya, kebingungannya, dan
rasa depresinya.
Ishaan yang diperankan dengan sangat bagus oleh
Darsheel Safari sulit membedakan anara ‘b’ dan ‘d”, ‘e’ dan ‘a’, bahkan ketika
diminta membaca, ia berkata “hurufnya menari-hari sehingga tidak bisa dibaca”.
Ishaan tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ia mengalami kesulitan
akademik. Untuk mengalihkan dari ketidakmampuannya ishaan terkesan menjadi anak
yang pemberontak. Akibatnya ia dicap seagai anak bodoh, tukang berkelahi, dan
pemberontak.
Tapi kita bisa menyaksikan bagaimana imanjiasi
ishaan yang luarbiasa. Kekaguman ishaan terhadap dunia luar, diluar sekolah dan
keluarga. Ia berjalan, berlari menysusuri jalan-jalan besar dan mengagumi
dunia.
Namun,bukankah orangtua jarang mengerti kebutuhan
anak? Atas alasan itu Ishaan pun dikirim ke asrama oleh ayahnya. Bagi Ishaan itulah
puncak ketakutannya, kesendirian. Jauh dari ibu, jauh dari keluarga. Dicemooh
teman, dibentak guru. Tidak ada tempat mengadu. Sampai suatu ketika, guru seni
datang. Ia lah Guru Ram, dimainkan oleh Amir Khan, yang mulai mengerti keadaan
Ishaan. Ram bahkan menemukan bakat ishaan.
Guru Ram mengenali Ishaan sebagai anak dyslexia ketika melihat semua buku pelajaran miliknya
terdapat banyak kesalahan yang merupakan pola anak dyslexia. Ram melacak sampai
rumah Ishaan, untuk mengetahui lebih tentang Ishaan. Ram menemukan kelebihan
Ishaan yang tidak dimiliki anak lain terutama di bidang lukisan dan
imaginatifnya. Ram pun menjelaskan kondisi Ishaan kepada kepada keluarga
Ishaan. Tapi sang ayah belum bisa menerima kenyataan tersebut.
Dengan bantuan guru Ram, Ishaan kemudian belajar
menulis, membaca dan berhitung. Dan Isan akhirnya BISA. Dan atas jasanya juga
Isan diberi kesempatan untuk memperlihatkan kemampuannya di bidang melukis.
Lukisan Isan yang sangat luar biasa pun jadi juara di kompetisi melukis
tersebut bahkan menjadi sampul buku tahunan sekolahnya.
Film ini satu dari sedikit film yang menjadikan
anak berkebutuhan khusus, sebagai sentral cerita. Ishaan menunjukkan pada
semua, bahwa sesungguhnya tidak ada halangan untuk menemukan diri di tempat
yang hebat, skalipun ia dyslexia, difabel, atau anak berkebutuhan khusus
lainnya. Sutradara dengan jeli menggambarkan kisah hidup keluarga inti dengan
anak dyslexia. Tentu bsia dibayangkan anak ini, Ishaan, menjadi semacam kambing
hitam dan tak pernah diharapkan akan membanggakan keluarga. Bagaimana
memposisikan anak berkebuthan khusus ini dalam struktur kehidupan keluarga,
ataupun struktur sosial. Sutradara dengan detail memotret kesulitan belajar
yang dialami anak dyslexia, seperti halnya Ishaan, dan bagaimana para guru
memperlakukan mereka.
Film ini adalah film pendidikan, menggugah dan menggerakkan
setiap orang dewasa, orangtua, guru, dan lingkungan untuk memahami setiap karakter
anak-anak. Sebab setiap anak special, diperlukan cara menddik yang spesial
pula. Yang demikian itu adalah harapan agar setiap anak menemukan dirinya,
dengan imajinasinya yang tersalurkan. Ishaan dalam film peraih penghargaan Academy Award sebagai Best Foreign Film, mengabarkan
perayaan imajinasi anak-anak yang sungguh luarbiasa. Tanggungjawab lembaga
pendidikan semestinya memfasilitasi, menghidupi imajinasi semacam ini agar
kehidupan anak tidak jatuh pada cara berfikir orang dewasa.
Sangat sedikit karya yang menampilkan peluang si
anak untuk menampilkan sudut pandangnya, film, buku, atau karya lainya. Dari
yang sedikit itulah bisa di terakan, Taree zameen par garapan Amir Khan ini
sebagai salah satu karya dengan perspektif anak itu. Menggambarkan anak dengan
perspektif kehidupannya, imajinasinya.
Di dunia ini, semua yang besar jumlahnya selalu
memberikan label kepada “yang lain”. Label itu disematkan dengan kekuasaan
mereka, sebagaimana orang dewasa merasa paling tahu apa yang cocok untuk
anaknya. Mereka memberikan identitas diri pada yang kecil itu. Termasuk
orang-orang “normal” memberikan identitas pada anak-anak, dan orang
berkebutuhan khusus atawa difabel.
Identitas-identitas itu mereka berikan tanpa tahu
dan apalagi mau tahu tentang yang senyatanya dirasakan dan dialami oleh para
difabel. Sehingga identitas itu kerap kali meleset, cenderung stereotype,
berprasangka,bahkan terjebak dan jatuh pada diskriminasi. Guru Ram, sebagaimana
ulasan diatas adalah satu contoh kecil bagaimana orang dewasa menyelami diri
anak-anak. Dengan begitu, ia tahu bagaimana membantu anak berkembang dan
menemukan dirinya ditempat yang hebat.
Anak-anak berkebutuhan khusus, dan difabel pada
umumnya, hanyalah butuh cara untukmembesarkan dirinya, meskipun diantara bayang-bayang
orang dewasa dan masyarakat pada umumnya yang menganggap meraka kecil dan tidak
ada artinya. Cara, dan tentu saja, kepercayaan itulah yang akan menempatkan
difabel menemukan tempatnya untuk menjadi besar, mandiri, dan tidak menjadi
beban bagi orang lain.
Film diatas menggambarkan kepada kita semua bahwa
proses adalah hal penting untuk menemukan identitas diri. Kemampuan anak-anak
difabel untuk menemukan identitas dirinya adalah hal paling mendasar bagi
terbangunnya kemandirian, dan kesetaraan anak berkebutuhan khusus, maupun
difabel pada umumnya. Dan setiap orang, setiap difabel berhak menentukan
identitasnya sendiri, tanpa harus dilabeli oleh orang lain. Dan itu semua
memerlukan proses,dimana orang tua, keluarga, sekolah, dan masyarakt pada
umumnya memberikan dukungan yang baik kepada difabel.
Kehidupan ini kian lama kian ditentukan oleh
“hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem.
Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup
dibuat beku. Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” sebagaimana
kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry, “menyukai angka-angka”.
Orang dewasa hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar
yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan
kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya adalah sebuah
penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi
bebas jadi paradigma. Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauladankan
oleh keasyikan anak-anak. Sebelum de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan
hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan
keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di
sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan benda-benda sepele itu.
Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya
menyiksa diri sendiri dengan segala detail.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar