Jumat, 15 Januari 2016

Anak Difabel, Imajinasi, dan Dunia yang Dibentuk

“Tidak ada yang cacat kecuali mereka yang jahat,” kata shakespeare

Dunia anak adalah dunia imajinasi. Dunia bermain, dan kegembiraan. Dunia yang penuh warna, dengan bahasa yang berbeda dari bahasa orang dewasa. Dunia anak adalah dunia yang diselimuti banyak pertanyaan filosofis, yang justru tidak mereka sadari.  Oleh karena itu, tidak salah jika Novelis kaliber Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie, mengatakan anak-anak adalah filsuf.
   Anak-anak selalu melemparkan pertanyaan yang berawal dari rasa terpukau terhadap dunia dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir. Bahkan bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa berpikir. “Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga rasa penasaran itu” kata Gaarder.
   Tetapi sayang, tidak semua orang dewasa memahami anak  dengan cara pandang seperti Gaarder memaknai anak-anak. Orang dewasa, dan orang tua pada umumnya, melihat anak adalah miliknya. Sebagai objek yang dengan mudah dibentuk menjadi apa, sesuai kemauan orang dewasa (orang tua). Orang dewasa seolah tahu segalanya, dan merasa paling tahu
kebutuhan anaknya. Maka tidak jarang orang tua mendidik, menyekolahkan, dan memperlakukan anak sebagaimana keinginannya, agar anak kelak menjadi apa yang dicita-citakan orang tuanya.
Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Disemua lini hidup anak. Di layar televisi, mereka dibuat menyanyi seperti para biduan komersial bernyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing. Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri, tetapi mereka dibentuk. Mereka dikepung. Di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan. Si bocah mesti menuruti tatanan simbul-simbul yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.
   Orang dewasa selalu merasa benar ketika berhadapan dengan anak-anak. Maka yang terjadi selalu komunikasi searah, anak tidak diberi kesempatan untuk keinginannya sendiri. Dalam kebudayaan Asia, anak-anak di Asia tidak pernah didorong untuk mengekspresikan pendapat atau berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan (ditingkat apa saja). Anak-anak secara umum dianggap sebagai harta orangtua, orang yang harus dihormati dipatuhi. Secara tradisional anak-anak harus menghormati dan mematuhi orangtuanya. Anak-anak dianggap sebagai orang yang tidak berdaya dan tergantung pada orang dewasa.
   Maka sungguh penting memahami dunia anak sebagai dunia yang luarbiasa. Bukan sebagai dunia ketergantungan kepada orang dewasa. Orang dewasa perlu memahami anak-anak sebagai anak-anak. Bukan dengan pikran orang dewasa. Hal ini juga berlaku pula pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sebab semua anak itu istimewa. Orang dewasa, orang tua, dan guru hanya perlu berperan sebagai pencari bakat yang hebat.
   Untuk menjadi penemu bakat yang hebat orang dewasa harus menggunakan bahasa anak. Bahasa anak adalah bahasa kasih dan kelembutan. Bahasa kemengertian. Bukan bahasa kekerasan, bentakan, atau olokan. Sebab bahasa pada mula-mula akan menunjukkan bagaimana ia akan menjadi manusia dewasa. Dengan indah Dorothy Law Nolt, seorang konselor keluarga  yang sekaligus penulis mengatakan:” Bila seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum. Bila seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan. Bila seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu. Bila seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Bila seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Bila seorang anak hidup dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan. Bila seorang anak hidup dengan ketenteraman, ia belajar tentang iman. Bila seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri. Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia”.  
   Lewat itu semua, Nolt sadar bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan bahasa yang digunakan orang dewasa disekitarnya. Setiap anak mempunyai  cara menunjukkan kelebihannya sendiri. Orang dewasa sudah semestinya paham dan memahami bahasa anak, bukan sebaliknya anak dituntut memahami bahasa orang dewasa. Dengan begitu potensi yang ada dalam diri anak bisa dimunculkan. Sebab setiap anak melahirkan potensinya sendiri.
   Sebuah film dengan sangat apik menggambarkan betapa setiap anak, sekalipun berkebutuhan khusus mempunyai potensi kekuatannya sendiri. Betapa komunkasi dan kemengertian penting untuk mengenali dan menggali potensi. Taree zameen par, judul film ini. Judul film arahan Amir Khan sekaligus menjadi kesimpulan penting dari film ini. Karena setiap anak spesial. Berkisah tentang seorang anak bernama Ishaan Nandkishore Awasthi, yang didiagnosa mengidap dyslexia  saat berumur 9 tahun. Namun kondisinya tidak pernah disadari oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. Ishaan pun berjuang sendirian dalam kesendiriannya, ketakutannya, kegagalannya, kebingungannya, dan rasa depresinya.
Ishaan yang diperankan dengan sangat bagus oleh Darsheel Safari sulit membedakan anara ‘b’ dan ‘d”, ‘e’ dan ‘a’, bahkan ketika diminta membaca, ia berkata “hurufnya menari-hari sehingga tidak bisa dibaca”. Ishaan tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ia mengalami kesulitan akademik. Untuk mengalihkan dari ketidakmampuannya ishaan terkesan menjadi anak yang pemberontak. Akibatnya ia dicap seagai anak bodoh, tukang berkelahi, dan pemberontak.
Tapi kita bisa menyaksikan bagaimana imanjiasi ishaan yang luarbiasa. Kekaguman ishaan terhadap dunia luar, diluar sekolah dan keluarga. Ia berjalan, berlari menysusuri jalan-jalan besar dan mengagumi dunia.
Namun,bukankah orangtua jarang mengerti kebutuhan anak? Atas alasan itu Ishaan pun dikirim ke asrama oleh ayahnya. Bagi Ishaan itulah puncak ketakutannya, kesendirian. Jauh dari ibu, jauh dari keluarga. Dicemooh teman, dibentak guru. Tidak ada tempat mengadu. Sampai suatu ketika, guru seni datang. Ia lah Guru Ram, dimainkan oleh Amir Khan, yang mulai mengerti keadaan Ishaan. Ram bahkan menemukan bakat ishaan.
Guru Ram mengenali Ishaan sebagai anak dyslexia  ketika melihat semua buku pelajaran miliknya terdapat banyak kesalahan yang merupakan pola anak dyslexia. Ram melacak sampai rumah Ishaan, untuk mengetahui lebih tentang Ishaan. Ram menemukan kelebihan Ishaan yang tidak dimiliki anak lain terutama di bidang lukisan dan imaginatifnya. Ram pun menjelaskan kondisi Ishaan kepada kepada keluarga Ishaan. Tapi sang ayah belum bisa menerima kenyataan tersebut.
Dengan bantuan guru Ram, Ishaan kemudian belajar menulis, membaca dan berhitung. Dan Isan akhirnya BISA. Dan atas jasanya juga Isan diberi kesempatan untuk memperlihatkan kemampuannya di bidang melukis. Lukisan Isan yang sangat luar biasa pun jadi juara di kompetisi melukis tersebut bahkan menjadi sampul buku tahunan sekolahnya.
Film ini satu dari sedikit film yang menjadikan anak berkebutuhan khusus, sebagai sentral cerita. Ishaan menunjukkan pada semua, bahwa sesungguhnya tidak ada halangan untuk menemukan diri di tempat yang hebat, skalipun ia dyslexia, difabel, atau anak berkebutuhan khusus lainnya. Sutradara dengan jeli menggambarkan kisah hidup keluarga inti dengan anak dyslexia. Tentu bsia dibayangkan anak ini, Ishaan, menjadi semacam kambing hitam dan tak pernah diharapkan akan membanggakan keluarga. Bagaimana memposisikan anak berkebuthan khusus ini dalam struktur kehidupan keluarga, ataupun struktur sosial. Sutradara dengan detail memotret kesulitan belajar yang dialami anak dyslexia, seperti halnya Ishaan, dan bagaimana para guru memperlakukan mereka.
Film ini adalah film pendidikan, menggugah dan menggerakkan setiap orang dewasa, orangtua, guru, dan lingkungan untuk memahami setiap karakter anak-anak. Sebab setiap anak special, diperlukan cara menddik yang spesial pula. Yang demikian itu adalah harapan agar setiap anak menemukan dirinya, dengan imajinasinya yang tersalurkan. Ishaan dalam film peraih penghargaan Academy Award sebagai Best Foreign Film, mengabarkan perayaan imajinasi anak-anak yang sungguh luarbiasa. Tanggungjawab lembaga pendidikan semestinya memfasilitasi, menghidupi imajinasi semacam ini agar kehidupan anak tidak jatuh pada cara berfikir orang dewasa.
Sangat sedikit karya yang menampilkan peluang si anak untuk menampilkan sudut pandangnya, film, buku, atau karya lainya. Dari yang sedikit itulah bisa di terakan, Taree zameen par garapan Amir Khan ini sebagai salah satu karya dengan perspektif anak itu. Menggambarkan anak dengan perspektif kehidupannya, imajinasinya.
Di dunia ini, semua yang besar jumlahnya selalu memberikan label kepada “yang lain”. Label itu disematkan dengan kekuasaan mereka, sebagaimana orang dewasa merasa paling tahu apa yang cocok untuk anaknya. Mereka memberikan identitas diri pada yang kecil itu. Termasuk orang-orang “normal” memberikan identitas pada anak-anak, dan orang berkebutuhan khusus atawa difabel.
Identitas-identitas itu mereka berikan tanpa tahu dan apalagi mau tahu tentang yang senyatanya dirasakan dan dialami oleh para difabel. Sehingga identitas itu kerap kali meleset, cenderung stereotype, berprasangka,bahkan terjebak dan jatuh pada diskriminasi. Guru Ram, sebagaimana ulasan diatas adalah satu contoh kecil bagaimana orang dewasa menyelami diri anak-anak. Dengan begitu, ia tahu bagaimana membantu anak berkembang dan menemukan dirinya ditempat yang hebat.
Anak-anak berkebutuhan khusus, dan difabel pada umumnya, hanyalah butuh cara untukmembesarkan dirinya, meskipun diantara bayang-bayang orang dewasa dan masyarakat pada umumnya yang menganggap meraka kecil dan tidak ada artinya. Cara, dan tentu saja, kepercayaan itulah yang akan menempatkan difabel menemukan tempatnya untuk menjadi besar, mandiri, dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Film diatas menggambarkan kepada kita semua bahwa proses adalah hal penting untuk menemukan identitas diri. Kemampuan anak-anak difabel untuk menemukan identitas dirinya adalah hal paling mendasar bagi terbangunnya kemandirian, dan kesetaraan anak berkebutuhan khusus, maupun difabel pada umumnya. Dan setiap orang, setiap difabel berhak menentukan identitasnya sendiri, tanpa harus dilabeli oleh orang lain. Dan itu semua memerlukan proses,dimana orang tua, keluarga, sekolah, dan masyarakt pada umumnya memberikan dukungan yang baik kepada difabel.
Kehidupan ini kian lama kian ditentukan oleh “hasil”, “guna”, “perhitungan”, “efisiensi”, dan aturan-aturan yang pakem. Orang ingin terus menerus menguasai ruang dan waktu. Maka, yang semula hidup dibuat beku. Pada saat itulah kalkulasi jadi paradigma. “Orang dewasa,” sebagaimana kata sang Pangeran Kecil dalam karya de Saint-Exupéry, “menyukai angka-angka”. Orang dewasa hanya mampu melihat setangkai mawar sebagai eksemplar dari mawar yang lain. Dengan kata lain, “mawar” telah jadi konsep yang abstrak, bukan kehadiran yang singular dan tak terbandingkan.
Pangeran Kecil sebenarnya adalah sebuah penyesalan. De Saint-Exupéry menyesali hilangnya sebuah dunia di mana imajinasi bebas jadi paradigma. Imajinasi bebas itu, bagi para penyair, ditauladankan oleh keasyikan anak-anak. Sebelum de Saint-Exupéry, Rilke sudah mengemukakan hal itu, di tahun 1901: hanya anak, bukan orang dewasa, yang dapat menemukan keindahan “dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu, atau di sehelai daun birka”. Orang dewasa tak mungkin merayakan benda-benda sepele itu. Mereka, tulis sang penyair, hanya “berkisar dalam urusan dan kecemasan, seraya menyiksa diri sendiri dengan segala detail.”[]

Ryan Sugiarto, difabel, Penulis buku  Perang Tubuh, Memoar Seorang difabel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar