Ryan Sugiarto
Menulusurii sms-demi sms lampau, kutemukan satu istilah menerik dari seorang kawan yang nyaris filosof.
Ketika kutanya, sebuah pertanyaan yang sebenarnya paling tidak boleh diutarakan,: sudah luluskah? Ia dengan semangat berjawab: lulus, lulus dari jeratan si wati dan Jeni. Manusia pasca putus cinta. Begitu jawabnya.
Menariknya ungkapan itu adalah pelabelan yang senantiasa berawal dari diskursus-diskursus yang menguras energi untuk menulisnya. Pelabelan yang sekarang digunakan pada kata, yang sebagian orang dianggap paling akrab ditelinga manusia, yang laing mudah dicerna, yaitu cinta.
Kombinasi yang sederhana dan agak rumit. Manusia pasca putus cinta.
Terlepas dari bagaimana seorang kawan tari rengkontruski bahasa psikologisnya dan menelorkan istilah manusia pasca putus cinta, sesungguhnya ia terbebas. Terbebas dari cinta yang selalu menuntut. Menuntut untuk mengejar, dan seolah-olah sangat membutuhkan.
Tak usahlah membahasa apa itu cinta dan bagaimana peran psikologi cinta dalan hidup manusia. Tetapi mencermati manusia putus cinta, hanya ada dua jalan yang membedakanya. Mengalami lumpuh layu dan menganggap hidup tak berjalan tanpa dia. Kedua, menganggap memperoleh hidup baru, kesempatan baru untuk memulai hal baru. Tanpa terbebani tuntutan-tuntutan perasaan untuk mengejar atau dikejar.
Manusia pasca putus cinta adalah manusia yang merdeka. Seyogyanya. Merdeka dari kelemahan yang mendera ditiap malam. Terlepas dari ingatan yang menjerat. Dan terbebas lekas dari romantisme manusia. Meski bisa dikenang keindahan dan kesakitannta. Manusia pasca putus cinta adalah manusia baru dengan bekal baru.dan tentu langkah baru.
Menjadi kiai atau pendeta suci.[]
[180908]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar