Ryan Sugiarto
Setiap orang yang pernah berpaut dengan Jogja, konon selalu berkeinginan untuk menyambangi kota itu lagi.
Kebersahajaan Jogja kental dalam pengalaman batin bagi para peziarah ilmu dan juga kebudayaan. Siapa yang tak mengingat, kekhusukan keraton dan dua alun-alun yang mengapitnya. Tak membedakan malam apapun, manusia dari berbagai arah iseng-iseng mencoba membaca nasib mereka dengan berjalan menuju gerbang yang diapit dua pohon beringin. “jika kami berhasil, jalanmu akanlurus, hatimu bersih,” begitu kata penjaga alun-alun ini. Tak jarang orang yang melenceng jauh dari sasarannya. Tidak bersihkan hatinya?
Juga Pakualaman, kebersahajaan kala senja dan malam hari. Kau bisa menikmati lesehan, diantara beringin yang berumur ratusan tahun, ditemani nyanyian pengamen yang eksotik. Nan cerdas.
Keramaian Angkringan Tugu yang mencapai puncaknya pada jam satu malam. Bisa kau rasakan kopi JOSS. Perpaduan kopi yanag dicelup kedalamnya mowo, yang panas. Juga pengamen yang silih berganti dan bunyi kereta.
Hiruk-pikuknya Malioboro dikala siang. Nol km yang makin ramai manusia baik seniman, muda-mudi atau pelancong saja. Juga acara-acara budaya dan seni yang kerap tergelar dikota ini.
Atau kali code, karena jasa Romo Mangun, yang mulai tertib dan tertata rapi.
Juga toko-toko buku dari kelas nominal tiga ribu hingga kelas ningrat berkantong tebal. Kota pameran buku, saking seringnya jogja menggelar event ini. Yang para penggilanya memilih kelaparan, dari pada tidak memborong buku-buku santapanya.
Begitulah Jogja membentuk ruang tersendiri bagi para peziarah ilmu dimasa mudanya. Membentuk berkas-berkas ingatan yang suatu saat akan dijumpainya lagi, jika jogja tak berpaling dari tradisi. Jika masih kental dengan budayanya. “Kebudayaan adalah kunci utama untuk bisa memahami peradaban. Juga ia berguna buat memahami manusia sebagai person.” Tulis Ruth Bennedict. []
[220608]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar