Senin, 15 Maret 2010

Perang Tubuh, Melawan Lupa

 Ryan Sugiarto


Judul Buku: Perang Tubuh (Memoar Seornag Difable)
Penulis: Ryan Sugiarto
Penyunting: Aat Hidayat
Penerbit: PIM Jogja
Hal: 147
ISBN: 978-979-026-341-3
Cetakan: 1 2009


Dalam memerangi hambatan fisiknya karena kecacatan, buku ini menerangkan secara jelas dan mendalam tentang pendekatan psikologis bagi orang-orang yang mengalami kecacatan. Karya ini dapat menjadi tambahan bagi perkembangan psikologi difable yang belum  banyak dikupas di Indonesia. Sebuah terobosan  baru dalam bidang Psikologi Indonesia" (Prof. M.Noor Rochman Hadjam, Mantan Dekan Fakultas Psikologi dan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM)

Pada mulanya adalah teriakan-teriakan kecil, ingatan-ingatan yang membayang yang kemudian membuat saya untuk menuliskan perihal kecacatan ini. Seperti halnya sebuah pengalaman, pengalaman yang baik konon adalah pengalaman yang datang dari banyak orang, dan dialami sendiri. Demikian halnya catatan ini adalah dalam upaya berbagi gambaran. Sekaligus sebuah upaya melawan lupa. Dan bukankah ingatan harus selalu dihidupi, agar kita tahu dimana posisi kita? Dan atau juga mau kemana kita?

Perang tubuh, usaha untuk itu semua. Memfasilitas teriakan-teriakan keciil, letupan-letupan ingatan dan sekaligus upaya mengingat. Pengalaman yang saya maksud dalam buku ini pengalaman untuk menyambangi seperti apa alam pikir dan alam rasa orang-orang yang mengalami kecacatan. Bagaimana mereka memandang hidup dan meneruskan kehidupannya, yang senantiasa didampingi kesetiaan dari kecacatan? Setiap manusia, dan juga orang-orang cacat di dalamnya, tentu tidak satu rasa, satu alam pikir, tetapi paling tidak apa yang saya tuliskan dalam buku yang anda baca ini, menjadi satu dari sekian banyak itu.Literasi yang sangat sedikit tentang difable di negeri ini, yang salah satunya mendorong saya untuk menuliskan buku ini. Disamping beberapa kritik terhadap system apapun di masyarakat kita yang senantiasa menomor belakangkan kecacatan, dalam perspektif ini. Rasannya minim literasi semacam ini dari negeri sendiri. Kaualupun toh ada, kebanyakan memandang sebab sebagai muasalnya. Tetapi kita jarang melihatnya sebagai perspektif akibat. Ini salah satu dari yang sedikit itu.

Paling tidak berusaha membagi pandangan bahwa yang berbaju kecacatan adalah sesuatu tdak selalu menjadi objek pertolongan. Objek yang selalu pasif dan menimbulkan keibaan semata. malahan sesungguhnya ada hal besar yang dimiliki tubuh cacat dalam kehidupannya. Energinya tentang hidup jauh lebih besar dari “yang liyan”. Cara bertahan dan menghidupi eksistensi tubuh cacat adalah cara yang masih jauh ingin melampauai kemanusiaan itu sendiri.

Namun ini hanya menjadi penambah bagi cerita-cerita yang perah ada dalam khasanah perbukuan kita. Karena semuannya tak pernah selesai dalam satu buku.

Seorang difable masih berada dalam peri-peri. Meski sesungguhnya, tak bisa disangkah, perannya dalam menciptakan dan berpikir tentang kehidupan bersama tidak dapat disangsikan. Karya ini boleh juga dianggap sebagai gugatan terhadap system kehidupan kita yang sungguh tiran ini, bahkan tidak disadari oleh siapapun. Kondisi social dan bernegara bahkan belum berani menjamin kesetaraan dalam wiyalah ini. Diskursus normal dan tidak normal juga semakin menampar keberadaan difable. Bahkan ilmu pengetahuan yang yang konon mengkondisikan kemanusiaan tak melirik kajian ini.

Inilah bagian yang juga hendak disampaikan dalam catatan ini, sembari mengusulkan sebuah kajian bersama tentang difable. Juga membuka wacana bahwa kecacatan tidak selalu semuram itu. Selalu ada kondisi baik dan membaikkan bagi individu, “penerima” kecacatan. Siapa lagi yang mau bersuara, menyuarakan keganjilan dirinya, menghadapi alam, dan sosial yang bertentangan, jika bukan dirinya sendiri. Selalu ada optimism. Kegairahan hidup, dan kekuatan besar di balik bungkus kecacatan itu. Inilah sedikit representasi itu.

Karya ini lahir dari banyak persinggungan yang mengesankan. Persinggungan kepada teman-teman masa kecil, di sekolahan watubonang II, sekolah menengah pertama, yang pada tahun pertama, ku tempuh jarak 4 km PP dengan jalan kaki.persinggungan dan petualangan yang mengasikkan di Madrasah aliah Negeri Yogyakarta I, persinggungan, perdebatan, dan segala perseteruan masa kuliah.

Terutama untuk temen-teman sepengurusan Balairung, dimana saya berhutang banyak ilmu disana. Pada tahab apa lembaga itu sekarang? Pegiat komunitas kembangmerak, yang mulai merangkak lagi: karya ini adalah bagian dari wacana poskolonial yang tengah kita hidupi, bernyanyi dalam sunyi. Kawan-kawan wisma hasyim asyarie, Karangmalang. Untuk kawan-kawan wisma kamboja, sepetak ruangan di tepi barat pemakaman UGM, beserta seisinya yang nampak dan tidak nampak. Komunitas satu atap yang dengan segala pepujiannya membawa damai dihati, “aku panjatkan segala doa bagi kalian semua”.

1 komentar:

  1. Waaa.... siki wis dadi penulis buku to......
    Mantap.... lanjutkan.......
    Mampir nang webku yo..!
    www.skakmatgraphic.com

    BalasHapus