Ryan Sugiarto
Seorang senior dari persma kampus, kini bekerja di media nasional, melontarkan pertanyaan yang asik dan sekaligus menggugah pikir saya. “ Apa yang menggerakkan teman-teman sekarang ini seperti berlomba menulis buku? Fenomena ini dulu tidak ada”
Saya merasa perlu memahami benar pertanyaan asyik ini. Dan lalu dengan retoris mengatakan : “Saya nggak tahu persis ya mas, tapi barangkali karena tanggungjawab intelektual , sebagai alasan pertama-tama. Buku kan anak sah dari intelektual. Tetapi bukankah menulis bisa dilakukan kapanpun dan oleh siapapun. Wartawan, pengusaha, dll bisa menulis. Apalagi mereka yang menjatuhkan pilihan hidupnyanya untuk menjadi penulis. “
Layarnya mati. Tak berapa lama ia mengirim teksnya kembali.
“Ok. Maaf bergeser ruangan. Perbincangan yang menarik nanti dilanjutkan” dia meninggalkan ruang percakapan. Mungkin diburu rapat redaksi atau apa saya tidak tahu. Ia meninggalkan ruang perbincangan dengan memberi perenungan yang besar juga saya kira. Ya, beberapa teman keluaran B21 sekarang lebih banyak yang menjadi penulis, atau menulis. Fenomena ini memang menarik, tapi juga belum ketemukan jawaban yang memadai. Pegiat era awal 90an, terobsesi menjadi wartawan, jurnalis. Berbeda dengan pegiat akhir 90an atau awal 2000an. Muncul nama-nama yang tercetak dalam buku. Tidak sedikit jumlahnya.
Apa yang menggerakkan ini? Selain motif intelektual, hidup dari buku bisa jadi alasan juga kan? Atau membesarkan nama dari buku? Tentu jalan yang agak lempang untuk kesana, membesarkan nama, paling tidak dikenal sebagai penulis oleh mereka yang mengetahui dan membaca bukunya. Tetapi diluar itu semua, semangat ini tentu menggembirakan. Menulis dan mengetahui banyak orang ramai-ramai menjadi penulis, membuat buku, memberikan warna bagi dunia bukan?sekaligus meninggalkan warisan kelak. Bukankah manusia mati meninggalkan nama?
Bekasi, 10 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar