Penulis : Agus Rois, Arif Kurrniarahman, Aris Suhariyanto, Eka Suryana Saputra, Ginanjar Tamimi, Kelik Supriyanto, Ryan Sugiarto
Penyunting : Niam, dkk
Penerbit : Komunitas Kembang Merak (K2M), Yogyakarta
Cetakan : Juni, 2009
Hal : Xi +150
ISBN : 978-979-19964-0-2
Harga : Rp.32.000
Apakah itu Jawa? Barangkali kata ini, Jawa, sanggup menggeledah sibuk hasrat “mereka” hingga berani mengungkapkan sebuah pertanyaan: bagaimanakah cara menaklukkan Jawa? Atau dengan bahasa yang lebih santun: bagaimanakah agar Jawa bisa dimengerti dengan mudah sampai ke serat-seratnya? Boleh jadi inilah seperangkat pertanyaan yang kerap diajukan. Dan orang-orang barat sangat mahir, begitu pandai, sungguh cekatan, amat tangkas dalam menerapkan amsal dominasi tersebut.
Van Zoest dalam Culturstelseel di tahun 1869 lewat karya babbonnya itu menggambarkan suatu zaman keemasan bangsa Hindia Belanda pada abad ke-15 dan ke-16. Masa dimana kolonialisme Belanda belum lagi mengakar. Suku Melayu di Indonesia, seperti tulisnya, “adalah pedagang-pedagang giat, ulet kala di perantauaan. Suku Bugis itu setia serta berjiwa patriotik. Dan Suku Jawa lebih cenderung rajin, berani, menguasai diri, juga sangat mengagungkan pertanian.” Sedangkan Thomas Raffles, bangsawan Inggris yang pernah menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda, dalam karyanya The History of Java, juga ikut mengungkapkan rasa keterpukauannya terhadap Jawa. “Sebuah bangsa yang besar dengan pelaut-pelaut terlatih dan berpengalaman hingga mampu mengarungi samudera luas. Dan berlayar sampai ke Kaap De Goede Hoop dan Madagaskar merupakan nilai lebih tersendiri,” tulis Raffles. Pandangan ini tak jauh berbeda dengan apa yang sudah disinyalir P.J. Veth lewat karyanya Java yang diterbitkan pada tahun 1875. “Bahwa rakyat Jawa,” demikian ungkapnya, “di samping mahir dalam pertanian dan perdagangan. Mereka juga pandai meracik tembaga, ahli mengecor logam dan memahat. Kesemua itu dijalankan dengan semangat harimau!”
Rasanya sah-sah saja, jika kita lantas bertanya atau melakukan sebuah gugatan: apakah penafsiran di atas benar-benar kebal dari hasrat kolonial, sungguh-sungguh imun dari naluri untuk merampok? Atau justru permenungan itu merupakan bagian dari politik memecah-belah, politik divide et impera? Dan lebih jauh lagi adalah mau dicari jawaban dari pertanyaan berikut ini: Apakah komunitas subaltern sanggup berbicara secara lantang “Can The Subaltern Speaks?” dalam sejarah panjang imperialisme/kolonialisme yang terjadi di Jawa? Melampaui itu: mendengarkan intensi yang diberikan Gayatri Chakravorty Spivak dalam salah satu eseinya, yaitu “Question of Multiculturalism.” Tulis Spivak, “bagi saya, pertanyaan siapa mesti berbicara? tidak seberapa krusial dibandingkan siapa yang mau mendengar? Kalau saya akan bicara bagi diri sendiri selaku orang dunia ketiga adalah posisi penting bagi terciptanya mobilisasi politik masa kini. Tetapi tuntutan riilnya adalah ketika saya berbicara dari posisi itu, saya mesti di dengar serius; bukan dengan cara murah hatinya imperialisme.”
Inilah interpretasi-reinterpretasi, permenungan atas kegelisahan, dan suara-suara hening tentang jawa, dengan kacamatannya manusianya sendiri. Membaca jawa bukan oleh “yang liyan”. Tetapi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar