Ryan Sugiarto
Seorang teman mengirimkan pesan pendek dalam rangka berbagi maaf, pada hari lebaran. Begini smsnya:
“banyak penyair muncul dihari lebaran. Tapi saya hanya mau jadi pemohon maaf atas dosa dan salah, sekecil apapun itu…..”
Bersamaan pula untuk saling berbagi, atau lebih tepatnya menjadi pemohon, aku kirim bertubi-tubi permohonanku pada sasaran yang berbeda. Kutulis demikian: “ijinkan aku penjadi peminta sejati bagi kata maafmu. Pun ku ingin menjadi pengasih sejati untuk itu……”
Sejatinya pada saat aku membuat kalimat itu, rasanya gamang. Tiap tahun, bahkan untaian kata ndakik-ndakik dibuat untuk menyertakan sebuah permohonan maaf. Mulai dari bahasa jawa ndakik-ndakik, bahasa dan tulisan arab, sampai pada puisi yang bersajak a-b-a-b.
Kepikiran dalam otakku, kenapa tidak dengan satu kata saja ku kurim “maaf”, atau “maafin ye..” atau “maaf yack…”. Seperti juga seorang teman yang hanya pendek mengirimkan kata “MAAF”
Tapi kok ya, rasa-rasanya memang saat itu adalah sebuah euforia. Mendadak menjadi penyair. Atau lebih tepatnya pemohon yang bersyair. Karena setiap permohonan, mungkin lebih indah jika didahului dengan rayuan, dan juga menyenangkan diri kepada termohon. Harapannya, termohon dengan senang hati dan dada terbuka akan meberikan permohonan yang diminta sang pemohon, dalam hal ini adalah “maaf”.
Sedangkah, kata “maaf” saja kok ya rasa bahasannya agar kering. Satu, mungkin kerena terlalu terbisa membaca untaian yang berbunga-bungan, yang ndakik-ndakik tadi.kedua, mungkin juga kerena kita terbiasa membayangkan bahasa tulis dengan bahasa lisan orang yang mengirimkannya. Membayangkan cara dia melisankannya. Jadi agak terasa aneh saja.
Kira-kira hanya itu perbedaannya. Yang satu adalah pemohon yang bersyair, yang satu adalah pemohon saja. Toh kedua-duannya adalah sama-sama sebagai pemohon. Juga sama-sama sebagai pengharap maaf.
[101008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar