Ryan Sugiarto
Jika dimulai dengan baik-baik. Maka akhirilah dengan baik-baik pula. Seorang teman agak dekat pernah bercerita, lebih tepatnya curhat. Curhat tentang bagaimana hubungannya dengan kekasihnya sekarang. Kabarnnya sudah hampir setengah tahunan ini mereka tidak berkomunikasi. Konon penyebabnya sepele. Sms agak genit yang harusnnya disampaikan kepada kakak keponakannya, tanpa dia sadari terkirim kepada kekasihnya.
Kontan, tanpa babibu…sang kekasih marah. Karena telah menganggap, teman tadi sudah selingkuh. Atau paling tidak dikira menggoda cewek lain. Maka pacar teman tadi marah-marah…tanpa perlu konfirmasi lagi. Dan segala macam sms mesra yang ditulis kawan tadi, semasa aktif pacaran, dikembalikan pula dalam bentuk sms seketika itu pula. Sejak saat itu maka komunikasi ini tak terjalan.
Sang teman tadi menjadi berpikir dua kali. Jika harus meneruskan hubungan dengan ceweknya. Ia berkata padaku:”saya bahkan takut membayangkan membina hubungan keluarga, jika disertai dengan letupan amarah yang seperti ini. Apalagi sebuah hubungan yang tidak dilandasi dengan kepercayaan,” begitu kayannya serius.
Hampir setengah tahun itu, dia menganggap bahwa mustahil hubungan itu diteruskan. Meskipun mereka telah memperkenalkan diri kepada masing-masing keluargannya.
Tetapi gambaran menakutkan tadi yang mengalahkan rasa sayangnya kepada pasanngannya. Begitu katannya selanjutnya. “Ah Bukan cinta sejati kamu ini,” selorohku.
“Entahlah. Tipe Ekstrovet seperti aku ini memang tidak mudah ditebak-tebak. Bahkan oleh pasanganku waktu itu. Ia tak pernah memahami diriku sepenuhnya,” begitu alasannya dari lontaran singkatku tadi.
“maka kami tak pernah berkomunikasi lag. Hanya pada ulangtahunnya aku menyapannya. Meskipun tanpa jawaban. Juga pada hari raya lebaran lalu. Juga tidak ada balasan yang menandakan amarahnya mereda,” terusnnya.
Lalu tiba-tiba dia melontarkan sms yang isinnya dia juga harus minta maaf kepada kdua orang tuannya. Teman tadi masih merasakan amarah yang begitu besar dari pasangannya. Dia mencoba beralasan tentang kemangkirannya selama berbulan-bulan.
Bukankah memperbaiki hubungan tidak hanya dari satu pihak saja. “toh selama ini dia juga tidak menunjukkan gelagat untuk memperbaiki hubungan. Posisinya hanya menunggu-dan menunggu. Entah apa yang dipikirkannya, dirasakannya” begitu paparnya panjang lebar. Waktu itu kami memang sedang menyedup kopi di salah satu kafe, di ibu kota. Ia tampak berserius dengan apa yang dialamminya.
Teman tadi sempat berterimakasi kepada ceweknnya, oleh sebab telah menghubunginya walaupun dengan nada marah. “Ia mempertanyakan bagaimana sekarang? “ lanjutnya. Dia katakan, alasan-alasannya yang panjang lebar. Dan pada bagian akhir ia menulis “baik kalau begitu sekarang kita berjalan sendiri-sendiri (barangkali kamu lebih menyukai kata putus).” Alasan salah satunya adalah kepercayaan. Pasangan temen tadi membalikkan. Pacar temen tadi menyebarkan sms salah kirim itu kepada teman-teman, pasangannya. Juga memberitahu urusan orang muda ini kepada orang tua sang lelaki.
Aku mendengarkannya dengan sangat bosan. Serius aku dibosankan oleh curhatan teman ini yang berlama-lama. Sampai-sampai kami memesan cangkir kedua untuk biaya curhat.
Kini teman ini, katanya akan membiarkan semua mengalir saja. Barang kali lain waktu ia akan memperbaiki hubungannya. Meskipun, tentu saja, sedikit banyak reputasinya, kalau dia punya, telah lain dimata teman-temannya sendiri. Oleh sebab penyebaran kesalahan yang tidak berdasar.
Ini yang terpenting.
Curhatan teman tadi adalah satu dari sekian masalah anak muda. Yang saya herankan, kenapa seorang lelaki dewasa seperti teman tadi menjadi begitu sendu menghadapi persoalan cintannya. Saya baru menemui seorang teman, yang bisa curhat ndakik-ndakik. Berjam-jam. Dan seolah ia telah dihadapkan pada pilihan yang semuannya buruk saja. Aneh saja bagiku.
Tapi paling tidak teman tadi, berani dan tanpa malu-malu mengeluarkan persoalan cintannya kepada orang lain. Satu hal yang barangkali, sebagai cowok jarang terjadi dan berani. Termasuk saya.
Apakah begini tipe kedua manusia pasca putus cinta. Merasa nelangsa, dan jika ia mersa sedikit bersalah, ia telah merasa hancur. “Ahh…begitulah cinta, deritannya tiada akhir” begitu kata Pathkai, murid ke dua biksu Thong dalam pencarian kitab suci.
Konon dia kini tak belum akan berpikir soal kehidupan cintannya. Ia ingin mewujudkan rencana-rencana besarnya. Merengkuh dunia. Membahagiakan orang tuanya.
Di akhir perbincangan ia tak meminta saran apapun pada saya. Ia tahu, aku tak pernah berpengalaman dalam hal cinta. Meski lulusan psikologi, yang konon katannya tempat orang curhat.
Dan saya harus menyadari itu. Menyadari untuk tidak memberikan komentar atau saran soal cinta. Disamping, tak banyak pengalaman. Juga saya ini bukan konsultan psikologi, seperti yang ada di koran-koran itu. Tapi toh demikian, saya tetap bersedia menjadi bak sampah bagi kegelisahannya itu. Bagi kotoran hatinya itu, bagi hatinya yang terluka itu.
Meskipun begitu, toh dia juga yang membayar empat gelas kopi ini. Hargannya lumayan. Saya memandang dibalik matannya yang sendu karena baru saja diterpai badai putus cinta, ia merasa lega. Dan “siap memulai merengkuh dunia,” katanya.
Manusi pasca putus cinta jilid dua adalah mereka yang mengalihkan rana hatinya utnuk merengkut yang lebih besar. Masa depan yang lebih besar, dari (sekadar) cinta erotisnya.
Sekali lagi aku menemukan tipe kedua, manusia pasca putus cinta.[]
[081008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar