Ryan Sugiarto
Untuk hal-hal positif semua orang pasti mendoakan. Tanpa saya sadari semua orang akan medoakan saya, meski kadang hanya setengah-setengah dalam doaanya. Saya pikir Tuhan akan selalu tahu, meskipun doa itu setengah-setengah. Bukanlah tuhan juga akan melihat setiap doa dalam hati manusia? Pikirku demikian.
Doa selalu sebagai sebuah ketundukan dalam diri manusia. Di saat itulah keadaan paling menghamba manusia kepada sang pencipta. Doa selalu dibawakan dengan nada yang meminta-minta. Menyanjung-nyanjung, memuja-muja dan pada akhirnya jatuh pada urusan meminta. Tetapi bukankan memang begitu, setiap sebuah ketundukan diajukan pada yang tak tertunduk kapanpun.
Doa mungkin bagiku serupa kekuatan kedua setelah mimpi-mimpi, ia yang akan menopang setiap impian. Ia, sebagaimana kekuatan-kekuatan motivasi yang lain, menghambur dalam ketundukan-ketundukan yang menghamba. Maka saat-saat menghamba hanya beberapa doa yang saya hambakan kepadanya. Bukan berangggapan Tuhan akan lupa pada setiap doa yang teruncat dari mulut, bukan juga berpikir tuhan sibuk mengurusi yang mana dulu dari doa-doa hambanya dimuka bumi. Tetapi hanya sekadar mengingatkan hamba itu sendiri, saya, doannya sudah terkabulkan belum oleh Yang tak Menghamba. Memfokuskan pada setiap doa, dan agar tuhan kemudian berpaling kepada doaku, karena intensitas dan kualitas ketundukan yang terpasrahkan.
Doa memang mengandung ketegangan. Ketengangan meengharap, dan sekaligus tarikan berprasrah secara total kepada setiap keputusannya. Saya pikir ,lagi, begitulah ilmu dan juga kondisi psikologi dari setiap doa-doa. []
[140809}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar