Ryan Sugiarto
Konon, seseorang bisa dibaca dari bagaimana cara dia menulis. Sebagaimana apa yang sering dia baca. Dan seorang kawan berkomentar “bagaimana jadinya kalau pemimpin seperti ini?” katanya mengomentari tulisan Riziek Shihab, ketua FPI. Tulisan ini sejatinya, hak jawab dari Tulisan GM dalam catatan pinggir Tempo edisi 22 Juni 2008. Oleh karena sangat sarkas dan tidak etik sebagai sebuah bacaan umum, maka ia tak ditayangkan rasanya.
Dalam citra bahasa saya, bahasa santun yang mempertanyakan dan menayakan komitmen ke-Indonesia-an Riziek Shihab oleh GM sangat Indah. Tetapi justru balasan tulisan yang disampaikan oleh Riziek, melukai pencitra bahasa yang saya miliki, meski disatu sisi menggelikan. Hingga terlontas juga “kok pemimpin nulisnya kayak gini?”.
Apakah Riziek, beliau ini tak pernah belajar menuis? Atau bahkan tak pernah mengenal kesantunan dalam keanekaragaman? Entahlah. Namun demikian tulisan kedua orang ini terasa jauh benar bedanya. Ini hanya soal pencitraan rasa bahasa saja.
Memang demikian, setiap bahasa, dalam hal ini tulisan menunjukkan seperti apa pikiran penulisnya. Lebih jauh, barangkali, seperti apa penulisnya.
Seperti yang dituliskan oleh Isaac Bashevis Singer “Every writer has an address.” Pernyataan ini, dikutip oleh Chynthia Ozick, seorang sastrawan Amerika dalam sebuah intervie dengan The New York Times. Dan ia juga mengutip Shakespeare bahwa kehidupan bermoral mempunyai “a habitatuin and a name”, bertempat tinggal dan bernama. Ozick menegaskan seorang penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan, ini saya kutip dari tulisan R.William Liddle, rumah seorang penulis, dalam catatan pinggir 3.
Demikian tiap tulisn justru menunjukkan diri, dan setiap penulis menunjukkan peradaban yang dilaluinya dalam kehidupannya. Mungkin juga tilisan, saya, ini juga menunjukkan dimana rumah saya, dan bagaimana peradaban (baca) kecenderungan saya. []
[300708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar