Ryan Sugiarto
Sepanjang hari ini (02/08), nampak jelas paradoks dari sebuah aturan. Dan perkataan, Konon “aturan itu ada untuk dilanggar” nampak jelas. Atuaran, siap lagi kalau bukan pihak berwenang yang juga pejabat-pejabat itu. Akhirnya mereka juga yang melanggarnya bukan? “sepagi dan sesiang ini iring-iringan pejabat melintasi jalan-jalan kota. Al hasil setiap jalan ditutup, dan praktis terjadi kemacetan dimana-mana.
Olok-olok lama, lagu joshua terulang lagi. “Macet lagi-macet lagi. Gara-gara Si Komo lewat”, beitu lagu anak-anak ini dulu kita kenal. Ini bukan lagi Si Komo yang lewat. Bahkan lebih dari itu. Hingga lampu hijau, dimerahkan.
Inilah yang saya sebut sebagai paradok. Ada untuk dilanggar. Sang prajurit hukum di negeri inipun juga tak berani pada hal-hal kecil. Seperti pake hel tidak pengendarannya? Motor dibelakang ada stikernya tidak? Kalo ada ditilang saja. Dan yang kecil-kecil saja. Sementara, ya siapa beranidari mereka menghadang para pejabat yang membuat lampu merah menjadi lampu hijau begitu saja.
Tetapi barangkali memang begitulah, hukum hanya untuk dipatuhui orang-orang biasa saja. Rombongan bejabat bebas dari aturannya.
Ini bukan pesimisme tentang aturan dan juga hukum di negeri ini. Hanya realita menunjukkan yang demikian. Wacana kita memang sudah jauh melambung pada, upaya penegakan hukum. Tetapi pada level yang sangat dasar tak a da wacana yang menggaungkan mereka.
Memang selalu ada dua wacana yang prioritas pendahuluan di dunia ini. “hajar yang besar dulu, baru yang dasar ikut tunduk”. Untuk contoh ini, dalam perang misalnya matikan pimpinan dulu, prajurit akan tunduk. Kedua, “mulailah dari yang kecil”. Berbagaii kutbah selalu menyerukan ini.
Tetapi, selalu dalam pelaksanaan tiap wacana yang mendasar tak selalu bisa mendamaikan keduannya.[]
[020808}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar