Sabtu, 02 Agustus 2008

Doa Sebagai Gaya Hidup

Ryan Sugiarto

Sebuah papan reklame besar di Kawasan Lippo Karawaci, sebelum tol, bertuliskan “Doa Sebagai Gaya Hidup”. Sungguh sebuah ajakan, (begitukan inti dari setiap iklan?) yang menarik. Mengajak kita semua , menjadikan Pray as a life style. Sebagaimana mode, elektroik booming, sebagaimanamakanan.

Bukan hal baru memang seruan ini. Sejak berpuluh tahun yang lalu, ajakan seperti ini, meski tidak sama, sudah muncul dikota-kota metro, terutama di barat. Kenapa? Apakah orang kota sudah sangat susah menciptakan trendsetter lain diluar dirinya? Ataukah ajakah orang-orang kota untuk mengkomersiilkan Tuhan dan segala sesuatu yang mengikutinya?

Apa yang saya ungkap ini tentu tak sendirian, di Roma, Itaia Andreotti, mantan Perdana Mentri bernah berkata: di Italia tak ada malaikat atau setan, yang ada hanyalah pendosa-pendosa kecil. Jangan mencari malaikat di Kota ini meski disini banyak gereja. Jangan pula mencari setan, Patung malaikat bisa ditemukan dan dibeli disembarang tempat, termasuk di tepi jalan. Tetapi patung setan, tak usahlah dicari.”

Seorang teman yang nyaris filosof, pernah menulis dalam jurnal mahasiswa “Kota yang Menyingkirkan Allah, tentang Tuhan dalam masyararakat Metropolis Modern”. Ia mengatakan, manusia kota tak lagi memerlukan Tuhan, jikapun ia memerlukan itu ia menjadi komersiil dan diperdagangkan. Mereka tidak lagi memersepsi Tuhan sebagaimana manusia duluar kota, atau sebagaimana pemeluk ajaran-ajaran agama masa lampau.

Teman ini dengan bahasa filosofis, paling tidak untuk menyebut istilah-istilah yang agak susah dicerna dengan pemikiran sederhana, menulisnya “hiruk pikuk metropolis modern, tanpa pernah benar-benar kita sadari, ternyata sanggung menistakan, memuntahkan, membuhun, dan mencampakkan kelura dari mistis metafisis (Tuhan) dari rumah adanya”. Begitu ia membaca Tuhan di Kota.

Namun dalam saat yang bersamaan, berduyun-duyun ajakan untuk mengingat Yang Maha Tak terpermanai ini. Berduyun duyun orang-orang kota berlatih Yoga, sebagai pelariah atas kesumpekan hatinya di Metropolitan. Beramai-ramai, memenuhi masjid pada pengajian-pengajian yang mampu meneteskan air mata. Atau berduyun-duyun ke tempat persekutuan bersama. Atau seperti tulisan siatas menjadikan doa sebagai gaya hidup.

Kota memang selalu terfragmentasi. Di Kota satu hal bis bermakna dua ambigu.

Seorang teman lain, antropolog gaya hidup, menusikan pada jurnal yang sama menulis sebuah judul besar “ Geliat dugem sebagai Ritual Baru pada Tubuh Kaum Urban”. Teman ini melakukan analisis kasus pada pra clubbers. Dan ia membaca setiap bentuk aktifitas clubbers adalah sebagaimana sebuah ritual agama, hingga ia memperoleh hal yang dianggap nirwana “Fly”.

Demikianlah memang satu paham yang memunculkan tafsir yang berbeda. Dan kota mengalami keterpecahan pemahaman. Tak hanya dalam pikiran, juga tindakan , dan juga konstruksi tata ruang kehidupannya.

Orang kota selalu mencari hal-hal yang lepas dari dirinya, ketika yang lekat tak lagi sanggup melekatkannya sebagai sebuah sandaran.

Nun jauh di desa, anggap saja sebagai perlawanan kata dari kota, doa adalah juga sebuah kebutuhan, dan ia tak perlu ajakan yang begitu besar sebagaimana papan reklame di Lippo Park ini. Dengan sendirinya mereka menyandarkan hidupnya pada yang Maha tak Bersandar. Sungguh sebuah kesadaran, dan juga ketaksadaran yang tak perlu di iklankan.[]

[020808]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar