Ryan Sugiarto
Dalam sebuah perbincangan sembari makan siang, di warung “silahkan ambil sendiri dan makanlah sepuasnya, cukup bayar dikit”, kami berbincang tentang “teori kebablasan”, begitu setidaknya saya menyebut untuk perbincangan ini. Atasan saya, sebutlah begitu, mennganggap kelompok muda yang terlibat dalam islam liberal itu sudah kebablasan. Dan kebablasan itu, baginya, hanya untuk mencari ketenaran.
“Anak muda kan memang hanya mencari ketenaran, agar diakui. Seperti islam liberal yang sudah kebablasan itu,” begitu ungkapnya.
Saya jadi berpikir, jika ada hal yang disebut kebablasan, maka ada yang “rata-rata” atau mungkin “datar-datar saja”. Dan term kebablasan ini saya pikir mengacu pada sebuah kecepatan pikiran, analisis, dan juga berakhir dengan postulat, dibandingkan dengan kecepatan cara pikir, analisis, orang kebanyakan.
Harus diakui bahwa dinamika pemikiran keagamaan modern begitu cepat. Dan yang dianggap datar-datar saja menjadi jauh ketinggalan. Tafsir agama menjadi hak bagi setiap pemeluknya. Maka jika ada penafsiran yang melesat jauh dari zamannya, itu adalah pemikiran yang melampaui zamannya, meski dianggap sebagai keanehan “kebablasan”.
Pemikiran yang melampaui zamannya, paling tidak bagi saya, adalah salah satu kecemerlangan tafsir manusia soal agama. Dan kecemerlangan tafsir, bagi sebagian orang yang memahami agama dalam keadaan “datar-datar saja” menjadi dianggap aneh. Dan begitulah kecemerlangan adalah sebuah keaslian, orisinlitas tafsir yang bedasar.
Saya jadi teringat ketika membaca Caping-nya GM, 22 Januari 1977, “surat nyonya Wignyo kepada Sri Bumi (anaknya)”, dua paragraf terakhirnya:
“Kita generasi tua, memang tak berhak merasa memiliki generasi nuda. Kita tak berhak memiliki siapapun. Cinta itu membebaskan, nduk. Yang muda tak harus menjadi proyek bagi yang tua. Tapi bukan maksudku, Sri, akan mencampuri hakmu mengasuh anak.Anggaplah surat ini bukan surat seorang eyang kepada cucunya, tapi surat seorang ibu yang ingin melihat generasinya nanti generasi yang bebas membuat sendiri—bukannya memfotokopi sejara.”
Dalam dua kata terakhir “memfotokopi sejarah”, adalah linier dengan apa yang saya sebut diatas dengan yang “datar-datar saja”. Sebuah pemikiran yang selalu reproduksi. Ia ia adalah satu bentuk duplikasi semata, yang kadang tereduksi dalam perjalanan komunikasi.
“Sebuah generasi yang bebas membuat sendiri—bukannya memfotokopi sejarah”. Pemikiran yang cemerlang adalah pemikiran yang tidak memfotokopi sejarah pemikiran pada masa lalu. Dan atau sekadar memakainya saja tanpa sikap kritis.
Demikian juga bagi sebuah teks atas nama agama. Ia selalu terbuka untuk segala tafsir. Atas segala kemapuan manusia, yang oleh Yang maha Pandai, diberikan akal untuk berpikir dan menafsir. Meskipun tak ada yang tahu pasti tentang tafsir tuhan pada kalimat-kalimatnya dalam kitab suci. Dan dengan begitu, sesungguhnya terma kebablasan hanya istilah bagi mereka yang tertinggal. Bagi mereka yang hanya berdiam pada yang “datar-datar saja”.
Dan sayangnya itu justru berada di negeri barat. Karena merekalah yang memboyong seluruh teks-teks dari kejayaan Islam masa lampau, yang sebagian ditenggelamkan dalam laut hitam. Dan tak aneh pemikiran barat tentang apapun jauh lebih maju dari asia timur. Karena mereka mempunyai tradisi keilmuan yang melampaui zamannya.
Dengan alsan itu Syahrir pernah berkata “pemuda yang bersemangat, menolehlah kebarat”.[]
[270708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar