Ryan Sugiarto
Siapa yang tak menaruh harapan pada masa depan? Semua kiranya menaruh harapannya pada mada depan. Tapi siapa yang menaruhnya pada buku? Tak semuanya.
Adalah anak kecil berusia 14 tahun yang menggauli hidupnya berhari-hari dengan buku harian. Hanya di buku harian ia menaruh harapannya. Tak ada yang lebih ia harapnya sekain segera menuliskan apa yang ia alami hari ini dibuku hariannya. Ia setelah ibu yang dia cinta pergi meninggalkannya. Dan setelah tak ada lagi yang mencium keningnya ketika berangkat sekolah. Dan memanggilnya lagi selelah beberapa meter hanya untuk mencium keningny dan berujar “selamat belajar ya nak. Jaga dirimu” begitu yang ibu menghiasi pagi hari dengan sesuatu yang indah itu.
Setelah dan ada sang ibu, ibunya berganti dengan ibu baru berparas cantik tapi berwajah “setan” sebitu narrator cerita ini menyebutnya.
Dan ia hanya bergantung dan melampiaskan kerinduan pda ibu kandungnya dengan lembar-lembar buku harian yang tak luput ia tuliskann tiap malam. Setelah seharian ia menjadi pembantu bagi ibu dan saudara titinya, juga ayahnya sendiri. Dipojok, ruang yang seperti kadang kambing itu, ia menuliskan kisa-demi kisahnya hari ini. Dan seterusya.
Ia sadar hanya buku harian ini yang menjadi tujuan masa depannya.
Siapapun bisa dan pasti bisa menggelayutkan salah satu harapannya pada sebuah buku, atau juga buku harian. Karena ia adalah manifestasi dari diri kita, investasi dari diri sehari-hari.
Dalam kasaha ilmu psikologi sekalipun, buku harian adalah alat yang paling ampuh untuk memngungkap kesejatian seorang manusia, penulisnya. Hanya buku harian ia dapat bermesra-mesraan dengan sangat intim dan sangat pribadi setelah Tuhan. Dan mungkin juga membantu dirinya keluar dari apapun yang namanya penyakit psikologi. “Membongkar realitas yang terpendam dan menggunung dalam diri dan rasa manusia”, begitu perlunya buku harian bagi seorang psikolog,
Demikian juga, konon, orang bisa dibaca dari buku apa yang ia tenteng. Buku apa yang ia baca. Itu juga menunjukkan bobot pemikirannya. Bobot intelektualnya. Semua orang berhak menggelayutkan harapan dan penandanya pada buku.
Lebih dari masa depan. Buku adalah sejarah, kekinian, dan juga pada saat yang bersamaan adalah hari depan, bahkan masa depan. []
[020709]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar