Ryan Sugiarto
Pencarian “yang satu” oleh para filosof Yunani hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Ibrahim ketika mencari-cari Tuhannya.
“Yang Satu” ini mula-mula bagi para filosof Yunani ditafsirkan berlainan.Thales misalnya menamakan yang satu ini adalah air, segalanya berasal dari air. Air yang mengalirkan benih-benih ke seantero jagat dan membuatnya tumbuh. Parminedes menyebut yang satu ini adalah api, yang bergulung-gulung, yang setelah sekian lama berpencar, yang sifatnya pekat menjadi matahari, bulan dan bintang dan yang agak longgar menjadi bumi. Lainnya, filosof yang maih terkait denga filsafat alam “Anaximenes” menyebut yang satu ini adalah udara. “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain dari pada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini menjadi satu,” demikian kata Anaximenes.
Dan filsofor terakhir menyempurnakan ketiganya, Empedokles” dengan menyebutkan keempat unsurnya, ditambah dengan tanah, dan menyebut keempatnya adalah hanya anasir saja. Dan itu akan timbul dan hilang. Dan yang satu bagi Empedokles adalah cinta.
Begitulah filosof-filosof awal masa Yunani mencari tahu tentang “yang satu”. Persis apa yang dilakukan oleh ibrahim ketika harus mendaki puncak gunung tinggi, hanya untuk mencari siapa tuhan itu. Ketika melihat bulan, ibrahim berkata “oh, inilah tuhan bulat sempurna, dan indah luarbiasa” tapi ketika pagi menjelang dan bulang menghilang, ia berkata “ini bukan Tuhan, Tuhan tidak pernah hilang.
Ketika bulan berganti dengan Matahari Ibrahim berkata “ ya…ya…inilah Tuhan, ini lebih besar dan lebih bertenaga. Lebih terang”.
Namun ketika malam menjelang, dia pun juga berkata “ Tuhan Tidak mungkin hilang”
Itulah pencarian-pencarian “yang satu” yang berasal dari manusia itu sendiri. Berasal dari akal pikiran yang bekerja. Dari pemuasan rasa keingintahuan yang di-terpuaskan. Pikiran yang tidak tidur dan terus mencari.
Ibrahim, dan juga pencari “yang satu” lainnya, hingga para filosof Yunani awal melakukan demikian.
Kini “yang satu” setelah berabad-abad dari zaman Yunani ini telah terberi. Yang satu telah terberi oleh mereka yang menamakan orang tua. Atau bahkan keluarga.
Tak ada yang mencari yang satu dari akal pikirnya sendiri. Demikianlah agama dengan tuhan yang terberi. Yang terberi seringkali hanya (bahkan) menjadi konsumsi. []
[050708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar