Ryan Sugiarto
Seorang anggota DPR yang menjadi ketua panitia Hak Angket BBM menyatakan siap menjadi martir. Lontaran itu ia sampaikan dalam sebuat acara televise. Dan itu yang kemudian ditangkap oleh lawan bicaranya waktu itu Ichsanudin Norsi, dengan perntanyaa: “martir yang mana”?
Bagi bang Ichsan martir itu ada empat. Martir secara politik, martir secara ekonomi, martir secara psikologis, dan martir secara hokum. Dan sang ketua hak angket ini tak sempat memjelaskan martair yang mana yang akan dia ambil untuk kasus BBM ini.
Terlepas dari itu, dulu kami sering menjadi martir. Martir bagi sebuah organisasi mahasiswa yang besar, tapi tak punya dana. Martir bagi sebuah kegiatan besar tapi loyo secara sumberdaya. Dan martir untuk agenda-agenda lembaga yang sedabrek demi kebangsaan pada lembaga.
Itu semua sudah kami lakukan dan kamui jalani pada tiap pergantian tahun. Dan juga kepengurusan. Bagi kami martir tak saja membawa lembaga kearah yang lebih baik dan diinginkan kemajuannya, tetapi juga menjag akesinambungan dan “kebesaran” lembaga. Waktu itu untuk sebuah persma terbesar didunia yang berbahasa Indonesia.
Martir. Barangkali dalam bahsa lainnya adalah allout. Bekerja dengan sepenuh apapun yang kita miliki. Hanya untuk tujuan organisasi dimana kita berada didalamnya. Ada sukannya dapula kepayahannya. Memang begitulah suatu hal. Seperti sisi keping koin.
Martir, seprti ada ketakjuban pada hal kerja. Yang kadang tidak ada dalam diri orang lain. Ia juga suatu kepenuhan dalam menjalankan kerja. Dan ia menghadirkan kepenuhan, karena ia menyajikan berbagai hal yang mungkin tak dimiliki orang lain. Karena ia menjalankan lebih banyak dari orang lain, sekali lagi dengan kepenuhan tindakan, dengan sukarena atau bisa jadi dengan keterpaksaan niat.[]
[240708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar