Ryan Sugiarto
“Aduh, anak ini seharian kok ga ada suaranya,” demikian kata seorang senior di kantor pda sebuah petang. Itulah, kenapa dalam setiap keriuhan obrolan kantor, saya tetap dianggap saja sebagai pendiam. Kira-kira menang demikian saya adanya.
Pendiam. Tak banyak bicara.
Sanggahan saya, harusnya, apa yang saya kerjakan di sini, tidak ada hubungannya langsung dengan sebuah obrolan. Kedua, konon, sebuah komunikasi yang aktive hanya bisa terjadi jika sama frekuensi, demikian Jurgen Habermas.
Maka, tidakkah diam adalah bentuk komunikasi? Barang kali kita perlu bicara tentang gramatika kebisuan atau kediaman. Disaat dua mulut atau lebih saling lontar suara, kediaman adalah sebuah penengah.
Komunikasi tidak selalu hanya dengan dua mulut nerocos sahut menyahut. Dan salah satu tokoh yang paling lihai menggambarkan ini adalah Ivan Illich. “the eloquency of silence”, kefasihan dari diam. Ilich menyatakannya dengan, “kata-kata dan kalimat yang terdiri atas diam lebih bermakna dari pada bunyi sahut menyaut,” demikian katanya.
Dengan demikian bahasa sesungguhnya adalah seutas tali kebiasuan, dan percakapan atau bunyi hanyalah simpul-simpul dari kediaman.
Anehnya dalam urusan seperti ini, orang menjadi sangat aneh dengan menyebut, “orang yang dian ada dan tidak adanya sama”.
GM dengan sangat indah menuliskannya: kata-kata itu tak Cuma menempel di bibir, dan karenanya tak kita harapkan akan bisa menempel pada diri orang-orang lain. Sebab mereka adalah bagian integral dari laku.
Orang-orang yang sering banyak nerocos sebagai obrolan ringan, ngalor-ngidul dari pada diamnya, konon kata orang justru melemahkannya. Melemahkan kediriannya. Karena ia (bisa jadi0 tidak sampai padatingkat filosofi tinggi, yang oleh sokrates disebut sebagai retorika.
Barangkali tak semua orang bisa mempelajari gramatikannya ke-diam-an. []
[120708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar