Minggu, 13 Juli 2008

Gerakan 1000 Kaki Palsu

Ryan Sugiarto

Kick Andi, sebuah program talkshow di Metro TV, yang kemudian didukung pemerintah mencanangkan gerakan 1000 kaki palsu. Gerakan ini terinspirasi oleh dua orang difabel yang justru bangkit dari ketidaksempurnaannya. Salah Satunya “komendan” Sugeng.

Lalu sehari setelah tayangan gerakan ini, seorang pemuda datang menghampiri saya distasiun senen, jakarta. Maksudnya adalah menginformasikan kepada saya bahwa ada gerakan seribu kaki palsu. Pemasanga kaki palsu secara geratis.

Teman itu sebenarnya sedang mengantar teman ceweknya yang hendak ke Jogja, dengan maksud yang sama. Memberitahukan “kabar gembira” ini kepada para difabel-difabel yang ada di jogja, terutama bantul. Terutama yang difabel karena bencana gempa yang melanda jogja dan jawa tengah.

Teman itu berbicara agak hati-hati, begitu yang saya temui tentang kebanyakan orang ketika berbicara dengan orang-orang difabel, seperti saya. Pikir saya menebak-nebak, dia takut menyinggung perasaan saya, dan saya menjadi sedih karenanya. Dalam hati saya tertawa saja mengamati teman yang baru saya kenal di stasiun ini. “Mas, maaf bisa ngobrol sebentar. Ini, saya nganter temen yang hendak kejogja, dan mengabarkan bahwa ada gerakan 1000 kaki palsu,” katanya lirih dan sangat berhati-hati.

“Barangkali mas juga berminat, segera saja mendaftar,” lanjutnya. Jawab saya hanya singkat, “Oooo…yang di Kick Andi itu ya. Mungkin akan saya pertimbangkan. Kemudian teman itu sedikit menelusur saya dan berrtanya ada apa keperluan ke Jogja? Apakah sekolah disana. Tetapi pertanyaanya sangat sangat spesifik bagi saya, “Sekolah di SLB mana?”

Saya agak geli saja mendengar kata SLB (sekolah Luar Biasa), diluar sekolahnya orang biasanya, begitu kira-kira maknanya. Pikiran saya sesaat waktu itu, ya, orang yang difabel, atau cacat atau apapun itu, memang banyak orang harus ke SLB. Karena ia perlu bantuan khusus dalam belajar, pikirku membaca pikiran orang “biasa” tentang pendidikan orang difable.

Saya hanya tersenyum-senyum saja, dan geli setelah mengetahui raut wajahnya ketika bersekolah dan pernah kuliah dimana. Kami berbincang hanya beberapa menit.

Saya sempat berpikir untuk mengikuti gerakan ini, yang bagi mentri yang mencanangkan gerakan ini, waktu itu menyebut sebagai “gerakan kebangkitan yang sesungguhnya”. Namun hingga kini, tidak [belum] berniat mengikuti “gerakan kebangkitan yang sesungguhnya” ini.

Bagi saya, ada atau tidak adanya gerakan seperti ini, hidup harus terus dilalui. Tak ada yang aneh pada kehidupan, jika memang kita memandangnya demikian. Yang terpenting bukan sekadar mengalihkan hambatan, dalam hal ini punya kaki tapi tidak berfungsi optimal, atau bakhan tidak punya kaki. Tetapi, yang terpenting, adalah tetap maju tanpa disibukkan oleh menghilangkan atau menyingkirkan hambatan itu.

Seorang teman saya, yang juga difabel, satu universitas, pernah satu gerakan, dan kini mengasuh yayasan umar kayam, pernah berkata, “Kita ini, masih mendapat nasib baik. Bisa belajar diuniversitas formal seprti ini. Bagaimana dengan, (dia menyebutnya), kaum kita yang berada dijalanan, dan menggunakan kekurangannya untuk belas kasihan?” tuturnya.

“Dan sebaiknya kita membantu mereka. Siapa lagi!” Tandasnya.

Teman ini memang akhir-akhir ini konsen untuk memperjuangkan kaum difabel yang menurut dia dianak tirikan oleh negara. “difabel hanya konstruk sosial dalam masyarakat kita yang mengerak”, begitu kata penulis buku sekitar filosofi kaum difabel ini.

Pernah satu siang dia, mengorganisir teman-teman difabel untuk demonstrasi menentang kebijakan kampus tentang difabel. Mereka dihadang petugas keamaan kampus. Setelah berorasi panjang lebar, dan keamanan kampus tetap tak memberi jalan bagi mereka untuk masuk menemui rektor mereka berdoa.

Ini yang membuat geli semua orang yang sedang menyaksikan aksi ini, baik wartawan atau mahasiswa dan orang umum. Doa mereka begini “Ya Tuhan Jika mereka tidak mengijinkan kami masuk dan menghalani kami masuk, maka biarlah anak dan cucu mereka mengalami nasib seperti kami, cacat.”

Belum diamini oleh yang lain, barisan keamanan kampus ini berlarian bubar dan menyingkir pontang-panting.

Cerita ini dengan bangga dia ceritakan kepada saya dan kawan-kawan yang biasa di B21. kontan kami tertawa terbahak-bahak. Menertawakan kegelian dan juga kekurangan, serta mungkin kelancangan kepada para aparat ini.

Anehnya setelah itu, justru saya yang kemudian dicerma bermacam pertanyaan dan diajak berdiskusi tentang difabilitas dikampus oleh orang-orang rekatorat. Bahkan dalam perbincangan yang agak santai seorang mantan humas kampus sampai menadaskan langkah-langkah yang sudah ditemput tentang isu yang diangkat teman-teman tadi.Dan dianggapnya saya yang menggerakkan. Lucu.

Bagi saya menertawakan kekurangan ini adalah hal biasa. Dan menjadi aneh ketika orang yang dianggap biasa, justru berhati-hati berbicara dengan kami.

Kembali ke gerakan tadi, sepertinya memang menjadi obat bagi teman-teman yang tertimpa depresi berkepanjangan karena tak punya kaki yang berfungsi, atau tak punya lagi kaki sama sekali. Namun lebih penting dari itu adalah tetap menatap hari depan caranya sendiri, tanpa disibukkan menghilangkan hambatan. []

[060708]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar