Ryan Sugiarto
Menyebar buku (ahmadiyah) adalah kekerasan. Itu salah satu komentar dari Kiayi Nurr yang sempat terekam dalam televise dalam acara debat soal SKB.
Pernyataan itu tentu adalah satu kejutan tentang buku. Adakah kekerasan dari sebuah penyebaran buku? Sebenarnya juga pertanyaan yang usang, pernyataan bahwa penyebaran buku, dalam hal ini adalah buku-buku ajaran ahmadiyah, adalah kekerasan adalah hal yang familiar dengan tradisi pemikiran orde baru.
Saat dimana sebuah buku dan juga pemikiran seseorang dikekang oleh sebuah kekuasaan.diman sebua buku yang tida dikehendaki oleh pemerintah dibakar dan dihilangkan dari peredaran.
Sama seperti buku-buku Karl Marx, dimasa orde baru, buku ini dilarang peredarannya. Justru yang demikian, mungkin juga kpelarangan atau pernyataan itu, adalah kekerasan dalam bentuknya sendiri terhadap buku.
Dijogja, ketika masa buku dilarang beredar, buku-buku Marx juga dilarang disana. Meski demikian, karena pengertian akan buku yang luarbiasa dri Sultan waktu itu, buku-buku terkait komuniske ini tidak dibakar. “hanya: diruangkan diperpustakaan daerah, malioboro, dengan gembok yang luarbiasa besar. “melindungi agar setiap buku tidak hilang. Karena ia begitu berharga bagi sebuah pemikiran”
Kekerasan terhadap karya intelektual semacam ini sangat disayangkan, apalagi oleh pemuka agama dan atauh bahkan intelektual.
Bukankah setiap tulisan adalah seperti halnya berdiri sendiri. Ia tidak terikat oleh apapun. Ia mulai hidup ketika dibaca dan dipahami. Maka disinilah dibutuhkan pencerdasan pembacanya. Tidak hanya soal buku yang dibaca, tetapi juga pematangan manusia akan keadaan.
Dan itulah yang selaiknya diberikan pencerdasan. Kepada manusiannya. Bukan pada buku yang kemudian dilarang. Jika seperti itu berpolemiklah. Tulisan dibalas dengan tulisan. Tesa dengan antitesa. Dan seterusnya. []
[070708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar