Golput hanya soal warna. Prof.Himawan Sulistyo dengan tegas menyuarakan partainya golongan putih. Alias tidak percaya lagi pada partai politik. Menurutny ini adalah tindakan yang paling cerdas yang dilakukan oleh masyarakat sebagai reaski atas dua kali pemilu terakhir yang dianggap demokratis.
“ini adalah tempelengan paling keras bagi partai-partai,” ungkapnya dalam acara debat sebuah tv Swasta. Tempelengan paling keras. Karena menurutnya tulisan dan demonstrasi tidak lagi bermakna bagi elit yang maju mellui partai politik. Cara komunikasi yang seprti apa lagi yang bisa diajukan kepada para elit dan parata politik.
Hal senada juga disampaikan oleh Arbi Sanit juga. Golput tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan dalam system domokrasi substantive. Ia adalah bentuk kekecewaan dan juga yang pada saat bersamaan adalah pilihan politiknya sebagai bangasa.
Tidak memilih adalah juga sebuah pilihan bukan?
Rasanya dari sekian pilkada pengikut golongan warna putih ini selalu berada di kisaran 35 persenan keatas. Jadi Ia adalah pemenang dari setiap pemilihan ungkap mas Kiki.
Ini adalah bentuk dari tidak adanya orang yang bisa dianggkat menjadi pemimpin bagi sebuah bangsa ini.
Dengan nada agak emosional, megawati menyerukan “orang-orang tang tidak memilih dan menjadi golput, selayaknya ia bukan warga Negara Indonesia,” ungkapnya dalam sebuah safari politik. Rasanya ini adalah lontaran yang krontroversial justru juga ditengah demokrasi yang konon diperjuangkan olehn ya.
Setiap orang mempunyai pilihan sadar atas pemikiran politiknya.
Tetapi ada juga argument yang penting juga. “jika bukan kita yang merebut, kepemimpinan itu akan beralih kep para berandal negara,” tutur seorang kawan. Karena system tak lagi memihak, yang memberikan suara, maka selayaknya tak hanya tempelengan yang bisa diberikan kepada partai, yang mendapat dana segar dari pemerintah, tetapi juga tendangan dan juga upercut telak. []
[110708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar