Ryan Sugiarto
Sejumlah 43 partai politik baru dan 15 partai yang mempunyai kursi di parlemen mulai menyiapkan ancang-ancang untuk memuluskan langkahnya di kursi-kursi kekuasaan. Berbagai cara sukses mulai disiapkan dan digodok.
Konsolidasi akar rumput, anak organisasi dan sayap-sayap kepentingan juga digerakkan. Termasuk tim kreatif kampanye. Selebaran, spanduk, foto hingga produksi rekaman audio-videopun tak ketinggalan. Termasuk juga strategi kampanye gelap. Saling serang, dan saling jegal mulai diterapkan. Begitulah cara-cara para peserta pentas perebutan kekuasaan merebut hati pemilihnya.
Anehnya dulu pemilu disebut-sebut sebagai pesta rakyat. Kenapa rakyat berpesta dan menghamburkan suara? Konon karena rakyat menghamburkan suarannya untuk menentukan arah kemajuan negaranya. Begitukah? Ah tidak juga rasanya. Ia, paling tidak, hanya membantu yang mananya orang-orang partai menggapai kuasa negara.
Tak ada pesta yang sesungguhnya bagi rakyat. Memberi suara pada pemili justru sering menjadi dilema. Kadang menjadi ajang perselisihan antar kelaurga dan handai tolan, jika diantara mereka tak ada kematangan soal perbedaan cara pandang saol pilihan politik.
Pun juga tak jarang menjadi ajang pertengkaran fisik yang berlebihan atas nama warna bendera partai. Atau merayakan tebaran jani-janji para suksesor paratai. Selebihnya tak ada. Setelah selesai? Akar rumput yang cuci piring, dalam pesta semu baginya.
Yang tersisa ingatan, mereka berbeda pilihan dengan saya soal warna bendera paratai. Dan begitu tertanam dalam benak.
Kemudian para partai mulai membagi-bagi kuasa yang dibangun oleh suara-suara pemilihnya. Dan yang diatasnamakan rakyat mulai ditinggal, tak diikutkan dalam gerbong perencanaan kemenangan.
Begitulah pemilu selalu bergulir. Belum memberikan pesta yang sesungguhnya bagi rakyat. []
[080708]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar