Sabtu, 07 Juni 2008

The Black (tentang Cahaya)

Ryan Sugiarto

Anda pernah menonton film Black. Karya keluran inggris dengan pemain-pemain India. Ada Amitya Bachan, ada juga Ayshwara Rai. Inilah salah satu film yang menceritakan tentang cara seorang anak manusia, yang lahir dengan keadaan tak sebagaimana mestinya anak yang lahir. Seorang anak perempuan yang lahir dalam keadaan buta dan tuli, maka dengan demikian ia sekalus bisu. Apa yang bisa ia pelajar dari benada-benada siekitarnya dengan demikian?

Perlakuan orang tua padanya seperti selaiknya binatang. Dibiarkan begitu saja, kana dengan mulut, berteriak-teriak tidak jelas. Tak ada satu satu gurupun yang sanggup mengajarkan pada anak yang, dengan bahasa halu khalayak menamainya dengan anak berkebutuhan khusus, anak cacat dan atau difabel sejak lahir.

Hingga suatu hari ada seorang guru yang bersedia mendidiknya dan mengajarkan bahasa manusia kepadanya. Dialah Sang Guru. Dia berpengalaman mengajar pada pendidikan inklusif, pendidikan untuk anak-anak cacat.

Sang Guru meminta perjanjian dengan keluarga anak ini untuk tidak turut campur denga caranya mengajar dan mendidiknya untuk menjadi manusia, seperti manusai pada umunya. Tan mudah memang, tpi perjuangan sang Guru bukan untuk gagal.

Innilah film yang mengajarkan kepada difabel komplek tentang arti sebuah bahasa. Semua indramnya mati. Hanya satu, ia belajar dari indra kulitnya, indra perabanya. Dan dari sana ia belajar bahasa.

Kata pertama yang berhasil dilakukannya adalah “Water” , “Air”. Setelah berminggu-minggu. Dalam dunia gelap, yang sebenar-benarnya gelap anak ini tumbuh menjadi dewasa dan belajar banyak bahasa. Hanya dari indra perabanya.

Air adalah bahasa pertama anak yang tak berindra kecual perabanya. Dan kegelapan adalah dunia dimana ia belajar tentang cahaya. Cahaya itu adalah sang Guru. Ia memberikan bahasa sebagai cahaya. Ia mengajarkan bagaimana menggunakan satu-satunya alat belajar, kulit, sebagai media mencari cahaya.

Dari terbuang, seperti binatang, ia menjadi anak yang mebahagiakan orang tuanya, membanggakan keduanya.

Film ini sejatinya juga sebuah jawaban dari perdebatan kecil di bawah beringin rindang di seputaran B21. tentang pertanyaan menggelitik seorang kawan,”Bagaimana car belajar bayi yang sejak kecil dibuang di hutan. Jika tidak mati dimangsa harimau?”

Simaklah film ini.

Tak seorangpun manusia yang tidak bisa menemukan cahaya hidupnya. Meskipun ia dalam kegelapan yang sesungguhnya. Meskipun ia cacat, meskipun ia terhalang denga kekuranganya. Namun tak ada rintangan untuk menujudkan diri menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, pada akhirnya.

Kekurangan atau bahkan kecacatan bukan halangan bagi semuanya untuk maju. Tak ada yang tidak bisa jika kita berkata bisa. Anda Lihat “Sugeng, sang motivator ulung bagi sesama penyandang cacat, dan pelaksanan gerakan kebangkitan 1000 kaki palsu yang bulan lalu populer di Kick Andi. Atau Dede peraih tiga penghargaan dari guines book recor dunia setelah berhasil mendaki tiga gunung tinggi dengan satu kakinya.

Dan tentu tiba bagi kita “lainya” saat-saat yang membahagiakan orang tua. Tak ada yang tidak bisa. []

(310508)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar