Ryan Sugiarto
Setelah beberapa waktu yang lalu, kolega saya bertanya “berapa lama kamu menyelesaikan skripsi?” katanya melalui sms pendek.
Ini cerita tentang suatu waktu dimana saya harus mempertahankan sikap ilmiah terhadap karya akhir dalam sebuah jenjang yang disebut kuliah. Ujian skripsi. Dengan sedikit bumbu dramatis…..dan perlu verifikasi daripihak lain. Tapi tidak untuk menyudutkan. Inilah reportase pribadi.
Karena harus segera menuntaskan masa kuliah, dan demi mengalihkan berbagai desakan hidup. Ekonomi, biaya perkuliahan yang tinggi, juga desakan “sosial” kok ga lulus-lulus, dari orang lain, serangkaian kegiatan ilmiah “skripsi” harus segera dituntas-paripurnakan. Dilakukanlah ujian pendadaran.
Segepok naskah jadi, sekira
“Ya. Mana saya tandatangani,” jawab pembimbing itu sembari mengeluarkan bolpoin dari kantong sakunya. Seingsut kemudian, tanda konsultasi itupun ditandatangani sebagai bukti “mahasiswa ini sudah selesai mengerjakan skripsi dan siap untuk diuji”.
Begitu, pertemuan singkat dengan dosen pembimbing yang dengan sabar menunggu anak didiknya menyelesaikan tugas akhirnya satu persatu. Kenapa? Total waktu dari mendaftar hingga akhir sebenarnya sekitar tiga semester. Tapi secara serius dikerjakan tak lebih dari satu semester….begitu pada umumnya mahasiswa mengulur waktu kuliahnya. Dengan alasan apapun.
Lain hari berikutnya, sesi mencari dosen penguji untuk naskah ilmiah ini. Meski harus mencari penguji sendiri,tak mudah ternyat mencocok waktu untuk menguji naskah saya. Beberapa dosen terpaksa tidak bisa, karena benturan waktu dengan jadwal mereka masing-masing.
Sedangkan waktu hampir habis untuk mengejar bulam Mei.
Satu, dua dosen sudah tidak bisa. Tapi tak ada waktu lain selain hari selasa yang sudah saya buat janji dengan pembimbing saya. Biro skripsi kemudian mengusulkan mana Prof. X. “Bagaimana kalo dengan Prof. X, Yan. Berani enggak,” tanya ibu ini.
“Memangnya kenapa bu? Kok pake kata-kata berani tidak,” tanyaku menyelidik.
“Ga papa. Kalo berani langsung saya telponkan,” lanjutnya lagi.
Jawaban OK segera saya lontarkan. Tanpa memperhatikan kembali dan mengusut kembali pernyataan berani tidak itu. Dan gayung bersambut. Sang Profesor bersedia menguji naskah saja. Dan satu lagi, Ibu W , biro skripsi tadi menawarkan diri untuk menguji saya.
Lengkap sudah penguji yang saya butuhkan untuk segera mengakhiri masa kuliah yang begitu menyenangkan itu.
Dosen pembimbing saya, Profesor X dan Ibu W. Seingsut kemudian bertemu dengan dosen yang tadinya diusulkan untuk menguji saya.
“Siapa pengujimu, Yan,” tanyanya sambil menjelaskan alsan dia tidak bisa menguji nskah sapa pada hari tyang sudah ditetapkan.
Saya menjawan Profesor X. dan agak terkejutlah dia. “kenapa berani. Saya tidak mau semeja dengan dia ketika menguji, soalnya dia pasti keas dan agak kasar dalam setiap ruang persidangan akhir” tambahnya.
Hari berikutnya, pun kabar itu merebak ketelinga saya. Tentang bagaimana sepak terjang Prof. X di lapangan ujian Skripsi. Intinya sangat ganas. Dalam pikiran saya, seolah mereka berkata, “kok berani-beraninya menjadikan Prof. X sebagai penguji”. Justru itu yang kemudian mejadikan otak saya menjadi liar dan penasaran tentang bagaimana kegansan prof. X dimeja sidang akhir. Meskipun pikiran saya juga menjalar pada pertaruhan nilai yang bakai saya dapat usai ujian nanti.
Hari H siap. Saya melihat Prof X menuju ruanganny sambil menenteng naskah yang saya serahkan seminggu sebelum ujian dimulai.
Seingat saya ada sekitar sepuluhan teman yang menyaksikan sidang terbuka itu. Baik dari fakultas dari luar atau teman dari luar universitas, menjadi saksi bagi akhir perjalanan saya di universitas formal ini. Setelah ketua sidang mempersilahkan saya menjelaskan dengan singkat maskah saya, giliran Prof. X yang mendapat kesempatan pertam menguji naskah saya.
“Pertama,saya suka keliaran Anda,” ungkapnya pertama membuka pernyataan. Keliran tentang tema dan juga metodologi yang saya gunakan. Tema ini, memang agak asing ditelinga fakutas waktu itu. Tema yang tidak biasanya diangkat oleh mahasiwa tingkat sarjana ataupun mungkin juga tingat magister. Tentang multikulturalisme, dan agama. Atau tepatnya modernissi dan agama. Sebuah tema yang rsanya sangat asig dalam ranah psikologi waktu itu.
Penuturan berikutnya adalah pertanyaan demi pertanyaan, sembara nada memojokkan tentang naskah saya yang terlontar dari suara sang profesor. Bertubi-tubi. Dan untuk bertanggung jwab atas apa yang saya tuliskan tugas saya hanyalah menjawab berdsarkan apa yang saya tulis dan kerangka ilmiah metodologis yang saya pakai. Saya jawab setiap pertanyaan Prof. X.
“Anda bicara soal agama, tapi anda hanya mengambil referensi dari satu agama,”tukasnya. Pertanyaan itu saya bantah dengan menunjukkan bukti-buksi kutipan dan pustaka yang saya gunakan. Prof X hanya menunjukn Ulumul Quran, jurnal dengan nama Islam itu. Seolah-olah itulah refrensi islam.
Lainnya lagi, cap telah mendeskriditkan salah satu ormas islam besar dalam tulisan saya. Dan saya menyatakan tidak melakukan yang demikian. Pertengkaran dimeja sidang terjadi, dan munculkah kata-kata yang menurut saya sangat tidak etis untuk dilontarkan dalam forum ilmiah yang mulia itu. Kata-kata yang semestsinya tidak keluar dari mulit “suci” seorang yang dianugerahi dengan keilmuannya, hingga mencapa level Profesor. Tetapi sikap ilmiah tetap berusaha saya pertahankan, saya jawab semua pertanyaan dan saya mempertanggungjawabkan setiap kata dalam naskah saya. Tak luput kami mempertentangkan soal paradoks atas nama agama.
“Ia menutup sesinya dengan Mas, kamu inngi ngeyelan,” dari sang profesor.
Saya hanya tersenyum sembari, menahan rasa geli, mempertahankan argumen saya dari serangan bertubi-tubi Prof. X yang memang terkenal kiler di meja persidangan akhir. Dari sumber teman-teman lain, mengatakan beliau ini tipe orang yang harus mendapat jawaban “IYA” dan “Terimakasih Koreksinya, nanti saya perbaiki” dari mahasiswa yang diujinya.
Tak banyak yang bisa dilakukan oleh pembimbing saya. Ia lebih banyak diam menyaksikan”pertengkaran ilmiah” saya dengan prof X. yang terlontar dari mulutnya yang saya ingta sampai sekarang adalah “Saya suka cara menjawabmu” tuturnya. Pikirku ini adalah tonjokkan Upercut dari dosen tua kepada profesor ini. Singkat tapi telak.
Ujian selesai. Prof X, langsung meninggalkan ruang ujian tanpa ada tanda perdamaian”salaman tangan”. Ruangan tinggal kami bertiga, Ibu W, pembimbing saya dan saya. Teman-teman yang menyaksikan peristiwa ini sudah keluar, berdasarkan atuaran sidang.
“Tak ada sebelumnya mahasiswa yang berani menjawab dan sekaligus dengan tenang mempertahankan argumennya, seperti kamu,” ungkap ibu W. Tapi, setelah ini berpikirlah untuk tidak sembrono ketika berhadapan dengan beliau, jika tidak ingin wisudamu terundur gara-gara ukuran standar S2 menimpamu dari profesor.
***
Itulah, watak keras dan waham yang kadang melekat pada diri orang muda yang merasa berhasil menyalip tetuanya, muda menjadi profesor dan sekaligus guru besar. Tentu tidak ingin begitu saja pendapatnya bisa dipatahkan atau paling tidak terjawab oleh bocah kemarin sore yang (hampir) baru menyelesaikan srata satu.
Tetapi demikianlah kuasa ilmu. Ketika hinggap dan tersandang pada level tertinggi menimbulkan waham kebesara? Bukankan dalam ilmu juga mengenal filosofi padi. Semakin berisi ia semakin menunduk. Tidak membusung, juga tidak mendongak.
Beberapa hari selanjutnya, santer masuk dalam pendengaran saya membicarakan tentang prof X. “Sori yang membicarakan Prof X, memalui perantara skirpsimu,” ungkat teman ketika bergerombol di kantin belakang kampus. Demikian, mereka ngerumpi tentang keganasan profesor di setiap ruang sidang, hingga menyebabkan bebeapa mahasiswa yang diujinya menangis, tak jarang gebrak meja, dan meninggalkan sidang begitu saja, tak terkecuali untuk mahasiswa yang dibimbingnya sendiri.
Terbersit dalam otak nakal saya, lumayan juga bisa terjaga dan menahan gempuran dari Prof. X dengan kepala tegak, tak ada tangis atu kecil hati. Meskipun ternyata pertaruhan nilai harus kalah. Tapi bukanlah nilai semata yang harus dikejar dalam setiap ujian, ujian akhir sekalipun, tetapi barangkali harga diri sebagai manusia dan terlebih mahasiwa tetap terjaga, dengan tidak sekadar berani berkata “IYA”, “maaf” “nanti saya perbaiki”. Bukankan pendidikan seharusnya mengajarkan untuk memberi keberanian berbicara, tidak untuk membisu dan membeo saja. Apalah arti pendidikan jika demikian. Meski tak terberi disana secar format, paling tidak kita bisa memperoleh keberanian itu sendiri.
Itulah salah satu yang bagi saya menjadi ha mendasar dalam pendidikan. “Membuat panda berkicau”, “melatih bersuara pada yang sebelumnya tidak berani bersuara”. Tidak untuk diam dan membungkam.
(310508)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar