Sabtu, 14 Juni 2008

Karawaci

Ryan Sugiarto


Begitulah nama untuk kota ini tampak megah dan mentereng. Dan mungkin juga keren. Tak banyak terlihat kekumuhan-kekumuhan yang menumpuk dilingkunganya. Daerah industri dan juga pemukinan yang tertata rapi.

Jalan-jalan bulevar tampak lebar dan dan menyenangkan untuk dilihat. Dan ada keramaian yang berarti. Hanya tampak bergerombol disana-sini. Mungkin baru itu yang sempat aku intip dari karawaci.

Tapi yang yang jelas, dalam ruang-ruang perumahan yang tertata rapi ini, masyarakat tampak agamis. Rumah ibadah, gereja, mendekat pada rumah masing-masing. Tak seperti rumah ibadah pada umumnya. Tempat sembahyang ini seperti rumah pada umumnya, atau bahkan seperti ruko (rumah toko). Dan mungkin orang tak akan mengira bahwa itu adalah tempat ibadah. Kecil dimuka, tapi luas didalamnya. Rumah ibadah justru mendekat disela-sela aktifitas manusia. Mendekat dilingkungan manusia.

Tampak seperti itulah, perumahan dilingkungan karawaci menyemangati religinya. Membangun rumah ibadah seperti tempat pada keseharian pada umumnya.

Tapi apalah arti kemegahan sebuah bangunan tempat ibadah. Tak perlu dengan kubah yang menjulang tinggi, tak perlu gedung tinnggi yang menunjukkan keagungan seperti katedral.

Kemegahan dalam rumah ibadah kdang justru menjadi wisata. Beberapa menyebutnya wisata religi.

Bukankah religi justru timbul dari keheningan dan juga kesederhanaan. Muhaamad menerima wahyu pertamanya di Gua Hiro, sang Budha dibawah pohon Gobi yang rindang.

Kira-kira itu yang ingin dibangun dari keinginan karawaci. Mungkin juga karena desakan dan juga rumitnya pembangunan tempat ibadah, selain masjid. Bisa jadi. Kemungkiinan Tirani semacam ini tak terjadi baru-baru saja bukan?[]

[110608]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar