Sabtu, 14 Juni 2008

Pak Joko

Ryan Sugiarto


Saya memiliki tiga referenci tentang sebuah nama diatas. Dan masing-masing dari mereka memiliki karakteristik unik.

Pertama, Pak Joko. Yang satu ini adalah salah satu dosen eksentrik yang sempat mengajar dikelas kami, kelas pengantar filsafat. Dia lebih sering memakai jeas saat mengajar , dengan baju tali pada pundaknya. Baju yang sering dipake oleh Jojon di layar tipi. Tapi jangan salah, wataknya sanga disiplin. Ia adalah salah satu pakar etika bisnis yang ada di universitas ini.

“Begini saudara-saudara. Kita buat aturan sendiri saja dalam kelas kita. Pertama, kita masuk tepat waktu dengan toleransi sepuluh menit,” begitu dulu dia memulai perkenalan pertamanya dikelas pengantar filsafat.

“Jadi, kalo saudara-saudara merasa datang diatas batas waktu yang itu, sebaiknya saudara tidak usah masuk. Sebaliknya jika saya juga datang diatas jam itu, silahkan saudara-saudara pulang. Perkuliahan kita batalkan saja. Bagaimana? Setuju” ada tawaran laen,” begitu selanjutnya.

Dan sebagian besar dari kamu berteriak setuju. Begitu dia membuat sebuat aturan yang saling menyenangkan keduanya. Dan dia benar-benar menaatinya. Tapi beliau untuk hal-hal yang lain masih sangat toleran kepada mahasiswanya.

Pernah satu, seorang teman terpaksa harus masuk ruang kuliah dengan tanpa sepatu. Alias nyeker.

“Pak kami minta maaf, jika kami mengikuti perkuliahan ini tanpa sepatu,” begitu mahasiswa ini ijin kepada pak Joko.

“Kenapa saudara tdiak pake sepatu?” tanyanya.

“Sepatu saya hilang saat saya sedang solat di mushola bawah. Rupanya ada yang berminat dengan sepatu saya pak.” Kata mahasiswa itu member alasan.

Walah kok ya ada yang berminat dengan sepatu to mahasiswa itu. Dan ia memperbolehkan masuk.

Kedua adalah Pak Joko. Beliau yang satu ini adalah salah seorang yang saya kagumi. Seorang seniman Tulen yang punya idealisme mengajarkan seni lukis, kria kepada setiap siswanya. Beliau adalah satu dari sekian seniman yang tersohor di jwa timur. Ia mengajarkan cara melukis, tidak hanya pada kanfas dan juga kertas. Tapi melatih bagaimana seorang anak melukis jalan hidupnya sendiri. Memunculkan apa yang ada dalam pandangan sang anak didik. Ia memabantu menemukan karakter dan jati diri anak didiknya untuk diekspresikan dalam karya-karya lukis.
Beliau pelukis sekaligus guru moral yang konsisten dengan sikapnya. Menentang yang tidak benar. Sikapnya yang keras dan gigih membuatnya disegani sesama seniman dan juga pemda disana.

Rumahnya adalah tempat dimana ia menuangkan segala pandangan hidupnya dalam sebuah kanfas. Juga tempat ia memberikan pelajar lukis pepada anak didiknya. Keluarga ini adalah keluarga para pelukis. Dalam darah anaknya semua mengalir batak lukis yang luar bisa. Dimsa kecil mereka, hampir tak ada yang mengalahkan tenkin dan cara melukisnya.

Pak Joko. Pelukis dan pendidik yang memandang hidup harus dengan tangannya sendiri.

Yang ketiga adalah Pak Joko. Yang ini adalah penjuan soto ceker ayam di sebelah timur makam dosen sawit sari. Pengikut salafi tulen. Dan berkeyakina teguh pada apa yang menjadi dasar hidupnya saat ini. Dulu pak joko seorang pengusaha yang sukse. Membuka bengkel mobil dan mempunyai cabang di beberapa daerah.

Namun, penghianatan seorang teman, menyebabkan roda hidup Pak Joko saat ini berada di bwah. Taoidia mengiklaskan tindakan yang dilakukan temannya. Tidak melakukan tindakan hukum apapun. Bagi dia semuanya adalah urusan yang kuasa.

Kini pak Joko, tinggal di timur makan keluarga civitas akademika. Dan berjuang untuk menggelindingkan rodanya kembali agar berda diatas.

Dari ketiganya saya menemukan satu kesamaan. Kerasa dalam memandang hidup dan konsisiten dengan apa yang diyakininya. []

[070608]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar