Sabtu, 07 Juni 2008

Question are The Creative Acts of Intelligence

Ryan Sugiarto

Tak semua orang berani untuk mengangkat jari dan kemudain mengajukan pertanyaan. Sekolah sejak mula hanya mengajarkan kepada anak-anak didik untuk sekadar berani menjawab. Tidak untuk bertanya. Bertanya kadang bahkan menjadi hal mewah, dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang “cerdas”.

Dan yang terjadi sebagai lanjutannya adalah budaya takut untuk angkat bertanya. Bisik-bisik menjadi alternatif, karena tak ada keberanian mengangkat suranya. Untuk yang bidang yang satu ini adalah kebalikan dari survei yang silakukan oleh Star time, yang menyatakan bahwa “kebanyakan orang Asia adalah orang yang senang ngobrol dan bercakap-ckap”, begitu laporan mereka. Itu untuk urusan yang santai dan tidak formal dalam lingkugan sekolah, pendidikan atau forum yang dinilai resmi. Orang Asia konon senang ngobrol dan berbincang-bincang, bertutur, dalam istilah gaulnya adalah ngerumpi kesana-kemari.

Namun dalam forum yang resmi yang menuntuk pemikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas, tak ada rumpia yang ramai. Tak ada rumpio yang gumuruh. Semua menjadi diam seribu bahasa. Padahal sebenarnya bahasa kan untuk diucapkan dan diperdengarkan menjadi bahsa tutur dan percakapan.

Keberanian untuk bertutur dan berbahasa percakapan dalam sebuah sekolah atau formun ini tak terbiasa terajar dalam ruang diskusi dan pendidikan di nergara ini. Yang nampak kemudian adalah menyurakan secra beramai-ramai, beruebut dan saling mendahului ketika bersama, sama. Maka ruang menjadi gemuruh dan justru menjadi tidak jelas apa pertanyaan. Mana pertanyaan yang bisa jadi adalah lontaran kecerdasan yang luar biasa dari seorang anak manusia. []

[050608]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar