Sabtu, 14 Juni 2008

Seragam

Ryan Sugiarto


Front Pembela Islam (FPI), dan laskar islamnya, Anda pernah melihat mereka tak memakai seragam di layar TV anda? Saya sih belum pernah. Dan oleh sebab itu kemudian saya menjadi tidak tahu, saya rasa Anda juga demikian tidak tahu, seperti apa mereka tanpa seragam ini.

Seragam mereka adalah jubah putih, surban yang dipake dikepala atau kupluk biasa, juga surban yang dikalungkan dileher. Atau kadang-kadang kaos lengan panjang yang bertuliskan BESAR “FPI, FRONT PEMBELA ISLAM”. Begitulah yang mereka tampilkan dengan PeDe dilayar TV.

Dan begitulah kaitan psikologis, saya pikir, antara seragam dan kondisi Psikologis pemakainya. “Rasanya yang demikian belum pernah menjadi bahan skripisi atau tesis psikologi kan?” selidik teman saya.

Asumsi kami sementara adalah, seragam berkorelasi positif terhadap waham kebesaran seseorang. Siapapun mereka. Tapi dalam hal ini kita sedang bicara soal seragamm FPI dan juga waham kebesaran para pemakai seragam itu. “Mereka dengan PeDe lhoh, melakukan tindakan-tindakan yang mereka lakukan yang sempat di tangkap TV.” Mereka merasa sangat besar dan orang lain menjadi kecil. Merasa sangat besar dan mengecilkan orang lain. Merasa sangat besar dan juga merasa berkuasa. Itulah kewahaman mereka yang besar.

Dengan kewahaman yang besar dan meluap-luap seperti ini tentu para pemakainya tak ingin merasa kalah, atau mengalah. Dan mereka bisa melakukan apapun, ingat apapun yang mereka anggap benar, mempertahankan seragam mereka. Termasuk petentang-petenteng dengan Penthungan kesana-kemari.

Begitulah korelasi positif dari seragam dan waham kebesaran bagi para pemakainya. Juga korelasi positif lainnya, sebagai ekses lanjutan, adalah waham kebesaran dan korelasiya dengan sikap (dan juga sifat) semau gue, tak mau kalah, dan atau memaksakan kehendak. Korelasinya juga postif.

Bagi Anda yang sedang mencari ide skripsi dan atau tesis, barangkali ini menarik. Psikologi belum merambah kesana untuk itung-itungan ilmiah kualitatif maupun kuantitatif. Lumayankan?

Contoh lainnya begini, lah. Mahasiswa-mahasiswa baru, kalo sudah memakai jas almamaternya, mereka tampak sangat pede ketika masuk kampung. Semua rasanya begitu, tak terkecuali saja dulu. Meskipun lama-lama menjadi risih dan malu memakainya.

Pikiran mereka kira-kira demikian:

“ini lho aku dari universitas ***” “, “ini lho aku anak kuliahan”, atau “ini lho aku PNS”, yang paling terlihat dikeseharian masyarakat “ini lho aku POLISI”, “ini lho aku tentara (dengan baju loreng-lorengnya)”, kira-kira begitu mereka mengatakan kebanggaan dengan berlebih pada seragamnya. Anehnya masyarakat kita menaruh respek yang besar terhadap manusia manapun yang memakai seragam.

Begitulah kekuatan seragam. Menimbulkan kewahaman yang besar terhadap pemakainya, mereka berlebihan memaknai kebesaran seragam dan juga institusi yangdiseragamkan.

Bukankah pada dasarnya manusia lahir tanpa keseragaman. “individual deverences” begitu dalam istilah ilmu perilaku. Maka, seharusnya juga tak akan ada pemaksaan kehendak dan kepentingan. Apa lagi hanya soal seragam, atau “menyeragamkan kepentingan”. []

[140608]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar