Sabtu, 07 Juni 2008

Dalam Sebuah Conference

Ryan Sugiarto

Dalam sebuah conferen melalui Yahoo Masanger, pada bulan mei. Ada teman yang berseloroh kepadaku, ketika kami sedang saling depend tentang dimana posisi kerja kami masing-masing. Begini

“Saya mengalami kutukan Balairung” katanya mengingat sebuah Ormas (kali ini untuk menyebut organisasi mahasiswa) dimana kami dulu sempet berpaut dengannya.

“Kenapa? Kok begitu?” tanyaku agak menelisik. Rupanya sisa-sisa menjadi wartawan untuk sebuah koran dan jurnal mahasiswa terbesar di dunia yang berbahasa Indonesia ini masih ada padaku.

“Aku sekarang bekerja di sebuah jurnal *** di Ibu kota,” lanjutnya.

Pertanyaan yang menggelitik dalam diriku, kenapa dia menggunakan kata kutukan untuk mengalamatkan pekerjaan dia sekarang? Bukankah itu hal yang sajar saja, ketika pengalaman memberikan alamat untuk hidup selanjutnya. Pengalaman menulis akan membantu menemukan dunia menulis yang baru, jika ia mau.

Kemudian saya teringat juga bahawa ia akan segera wisuda untuk jenjang strata duanya. Barangkali ini yang dia anggap dengan kata “kutukan” itu. Calon Magister sebuah jurusan medis, menjadi penulis untuk jurnal medis pula.

Tapi, dahiku mengkerut lagi. Bukankah itu jutga sesuai? Apalagi yang dia inginkan sebagai imbalan dari pendidikan yang yang hampir menelan wisuda yang kedua di erguruan tinggi itu? Bukankan menjadi penulis yang hebat itu bukan perkara mudah. Perlu disiplin ilmu yang tinggi. Perlu penguasaan materi yang dalam. Maka, menurutku dia sudah berada dalam track yang benar dalam karirnya. Menulis untuk sebuah jurnakesehatan internasional.

Bukanlah diluar sana menjadi seorang profesor bahkan menerjunkan diri menjadi wartawan? Masih ingat ceritanya hamid Basaid (semoga tidak salah ketik) katika dia harus mendampingi seorang profesor Susumu Nakamura (Mungkin salah), ketika mencari informasi tentang pergulatan kaum muda di Indonesia. Ia , Hamid berkata, atau tepatnya bertanya dengan nada penasaran.

“Kepana anda menjadi profesor hanya untuk menjadi wartawan?” kira-kira demikian pertanyaannya. Dan kemudian penjelasan demi penjelasan keluar dari mulut prof tadi.

Mungkin singkatnya demikian. Menjadi penulis, apakah itu jurnalis, wartawan, tidak mudah. Ia kudu memiliki yang namanya pengetahuan yang luas, pengetahuan yang mendalam, dan memiliki seperangkat metoda pengumpulan informasi laiknya peneliti.

Dan oleh karena itu pula seorang PU kami, ketika saya masih angkatan pertama diasana, menulisnya “wartawan dan atau ilmuan”. Ia adalah seoarang intelektual.

Demikian yang dikeluhkan teman YM-an saya waktu. Justru sebenarnya tracnya sudah benar, pikirku. Dan itu yang sebenarnya menjadi harapan dari penulis yan mumpuni.

Semua orang bisa menulis. Persoalannya adalah apakah dia juga sudah menerapkan seperangkat metode dan analisisnya, agar tidak dikatakan sebagai “pengrajin” semata.

[310508]----untuk rumah kata-kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar