Ryan Sugiarto
Begitu kira-kira bahasa populer yang bisa menggambarkan memang demikian sebuah kehidupan. Beriklan. Esensi dari beriklan tentu mengenalkan. Dan kita sudah belajar beriklan semasa kecil. Bahkan dalam kandungan seorang ibu. Nama menjadi satu dari sekian bentuk cara beriklan yang telah turun temurun diwariskan oleh anak manusia.
Nama wati dan budi adalah langkah iklan pertama untuk mengenal seseorang. Begitulah teknik sederhana yang sebenarnya lekat dalam kehidupan kita.
Menginjak masa kecil, kitapun diajar untuk bersaing di sekolah, mendapat nilai baik. Ranking dikelas, pertasi dalam olah raga, dalam karya ilmiah, dalam lomba azan sekalipun, agar nama kita dikenal. Prestasi, kompetisi, dan segala macam pendidikan adalah bentuk dari cara mengenalkan diri. Cara mengiklankan diri.
Bagi seorang penulis, menulis adalah cara mereka mengiklankan diri kepada manusia lainnya. Seorang pekerja, bekerja dengan keras, rajin dan berpreestasi adalah bagian dari cara mengiklankan diri mereka.
Hidup, bahkan, adalah cara beriklan kita kepada yang maha konsumtif. Yang maha melakukan penilaian. Dialah yang menciptakan hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh pengiklan.
Maka, tak heran manusia senantiasa mengiklankan diri mereka. Baik secara naluriah untuk hidupnya atau iklan untuk iklan dirinya. Dalam kamus politik tanah air, gaya-gaya iklan ini kemudian diadaptasi untuk tak sekedar menyiasati dirinya dalam lingkaran survei, tapi juga votting suara rakyat.
Lalu muncul padanan lainnya “tebar pesona”, “hidup adalah perbuatan”, “bersama saya save our nation”, “bersama kita bisa”, dan lainnya- dan lainnya.
“Lha yang sedang saya lakukan ini adalah juga bentuk dari pada iklan”. Memang tak luput dari hal yang demikian, iklan tentang ide dan gagasan. Karana jika tidak, gagasan akan teronggok dan menyebabkan kita tak bisa beriklan pada yang Maha lain. Mati. []
[140608]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar